IHSG. MI/Panca Syaukarni.
IHSG. MI/Panca Syaukarni.

Kinerja Bursa Indonesia di Tengah Sentimen dari AS

Dian Ihsan Siregar • 29 Desember 2016 16:48
medcom.id, Jakarta: Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang 2016 cukup berfluktuatif. Sempat menembus rekor baru, IHSG akhirnya mengalami penurunan yang tajam akibat sentimen dari luar negeri, dengan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS dan kenaikan suku bunga The Fed di tahun ini.  
 
Tingginya peningkatan indeks mulai terasa sejak awal Januari hingga November 2016. Peningkatan tersebut bisa dibilang mencapai belasan persen, bila dibandingkan pencapaian di akhir 2015. Selama 2016, posisi tertinggi indeks sempat mencapai 5.472 di awal Oktober 2016. Sedangkan titik paling rendah sebesar 4.414 pada pertengahan Januari 2016.
 
baca : OJK: Tax Amnesty Dorong Kinerja IHSG di 2017

Pada Januari 2016, IHSG ditutup berada di 4.525. Kemudian pada perdagangan Maret 2016, indeks ditutup pada 4.845,37. Pada akhir April 2016, indeks berada pada 4.838,58. Pada akhir Mei 2016, indeks bermukim pada level 5.016. Pada Juni, indeks ditutup menyusut ke posisi 4.971,58. Kemudian pada akhir Juli, indeks menjadi 5.215,99.
 
Selama Agustus 2016, indeks sempat jatuh bangun, walau akhirnya menutup catatan akhir bulan dengan berada pada level 5.386,08. Masuk bulan kesembilan di 2016, indeks ditutup kembali dengan mengalami pelemahan ke level 5.334,55. Pada September 2016, indeks bertenggar di posisi 5.364,80. Pelemahan kembali terjadi pada Oktober 2016 dengan  anjloknya indeks  ke 5.422,54. Kemudian pada November, indeks ditutup pada level 5.148,91.  Keperkasaan indeks semakin menysut menjelang akhir tahun. Banyak tekanan yang membuat indeks sempat turun ke posisi 5.111,39 per 21 Desember 2016. Indeks pun hampir menurun ke level di bawah 5.000.
 
Pergolakan IHSG karena efek yang terjadi di global  memengaruhi keadaan ekonomi dalam negeri dan nilai tukar rupiah. Sebagaimana diketahui, nilai tukar rupiah hampir menyentuh posisi Rp13.000 per USD, walaupun akhirnya sempat turun tajam ke posisi Rp13.600 per USD. Saat ini posisi rupiah berada di posisi Rp13.400 per USD.
 
Bayang-bayang keamanan dalam negeri dan aksi demonstrasi yang terjadi pada tahun ini menjadi momok bagi pergerakan indeks. Deputy Head of Equity Research Mandiri Sekuritas Tjandra Lienandjaja menyebutkan, keamanan di Indonesia harus ditingkatkan agar bisa menarik investor lebih banyak lagi ke Indonesia. Selain itu, stabilitas politik juga harus dijaga agar tidak menimbulkan perselisihan yang bisa membuat keresahan masyarakat. 
 
Menurut Tjandra, anjloknya indeks juga karena adanya aksi jual oleh investor asing. Dia mengatakan, bahwa investor asing mulai mengembalikan uangnya ke AS karena adanya beberapa kebijakan, seperti suku bunga The Fed dan realisasi janji-janji yang akan ditepati oleh Donald Trump di awal 2017.
 

Kinerja Bursa Indonesia di Tengah Sentimen dari AS
"Investor emerging market, kalau saya lihat mereka banyak lari lagi ke AS. Profitnya mereka mungkin sudah cukup jadi dikembalikan ke negara asal. Jadi mereka take profit, itu yang memberikan sentimen ke bursa pada akhir-akhir ini," terang Tjandra.
 
Melihat kondisi yang terjadi belakangan ini, diakui Tjandra, nampaknya indeks tidak akan melesat jauh lagi ke posisi 5.300. Paling tidak, dengan waktu yang tersisa hanya beberapa hari lagi di tahun ini, IHSG diproyeksikan bisa berada pada level 5.100-5.200.
 
"Posisi perkiraan indeks tersebut juga harus di bantu dengan window dressing. Meski sempat turun, dan akan ke posisi tersebut, indeks sepanjang tahun ini masih tumbuh positif lah bila dibanding perolehan 2015," ujar Tjandra.
 
Baca : IHSG dan Rupiah Jadi Indikator Penyusunan Asumsi RAPBN 2017
 
Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio berpendapat, pertumbuhan IHSG selama 2016 cukup gemilang. Pasalnya, IHSG bertengger di nomor dua tertinggi bila dibanding bursa yang ada di ASEAN. IHSG lebih baik ketimbang dengan indeks Thailand yang mengalami penurunan hingga 28 persen.
 
Dia mengaku bursa tidak terlalu mengkhawatirkan semua sentimen negatif indeks yang datang menjelang akhir 2016 karena  BEI telah memiliki banyak pengalaman yang sudah terjadi sebelumnya. 
 
"Efek The Fed sudah kita restore (bursa), pasar modal kita naik mendahului ekonomi kita. Dan turunnya mendahului turunnya ekonomi kita, pasar modal selalu gitu," jelas Tito.
 


 
Tito menambahkan, bahwa pelaku pasar tidak lagi memikirkan sentimen yang datang dari bank sentral AS dan efek terpilihnya Donald Trump, tapi investor sangat memperhatikan keadaan ekonomi Tiongkok.
 
Analis Senior Bina Artha Securities Reza Priyambada menjelaskan, gerak IHSG hingga akhir tahun ini akan berada di kisaran 4.900-5.150. Dia optimis, IHSG tidak akan melebihi dari perkiraan tersebut.
 
Indeks yang sempat melesat belakangan ini, Reza menceritakan, karena dampak positif dari program pengampunan pajak (tax amnesty) yang sedang didorong oleh Pemerintah hingga akhir Maret 2017.
 
Reza menekankan, bahwa paket kebijakan ekonomi sama sekali tidak memberikan efek yang positif bagi kinerja IHSG di 2016. IHSG malah mendapatkan berkah dari program tax amnesty yang dinilainya berhasil. 
 
“Tanpa tax amnesty, sampai akhir tahun IHSG akan berada di level 4.900-5.000. Ini karena ada sentimen tax amnesty yang mendorong ke posisi saat ini,” papar Reza.
 
Sentimen negatif yang membayangi indeks sepanjang tahun ini, Reza berpendapat, karena kebijakan suku bunga The Fed dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS. Isu nasional seperti demonstrasi di 4 November dan 2 Desember 2016 tidak memberikan dampak yang besar bagi indeks.
 
"Itu sama sekali tidak ada pengaruhnya, kan memang aman dan dijaga oleh aparat. Pengaruhnya Trump Effect yang sangat besar, selain juga dari kenaikan suku bunga The Fed," papar Reza.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SAW)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan