Hal itu disampaikan oleh Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Budi Tampubolon. Ia menyebut jumlah pemegang polis di Indonesia sempat bertahan selama beberapa tahun di kisaran 17 juta hingga 18 juta.
"Tapi tahun lalu (2022) untuk pertama kalinya tembus 20 jutaan dan tahun ini (2023) pun sudah 22 juta hampir 23 juta. Jadi terlihat terus meningkat gitu ya, untuk polis perorangan," kata Budi seperti ditayangkan program Metro TV Kick Andy, Minggu, 22 Januari 2023.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Namun jika dibandingkan dengan populasi Indonesia yang mencapai 275 juta jiwa, lanjut Budi, masih terdapat pekerjaan rumah yang sangat besar dalam menjangkau mereka. Kemudian menjadi tugas banyak pihak untuk melakukan edukasi dan literasi keuangan dan asuransi secara intensif.
Dalam hal ini, AAJI melakukan serangkaian sosialisasi di berbagai tempat dan komunitas. Di antaranya universitas, sekolah dan komunitas. Termasuk di dalamnya media sosial agar pemahaman masyarakat semakin meningkat.
"Kami tidak berharap bahwa seluruh masyarakat memiliki proteksi asuransi jiwa ya, kalau memang menganggap 'Oh saya belum perlu. It's okay'. Tapi paling tidak tanggung jawab kami memastikan sebanyak mungkin masyarakat Indonesia paham apa itu proteksi? Apa itu perencanaan keuangan masa depan? Dan bahwa beberapa risiko mungkin tidak bisa cegah, tapi bisa kita siapkan dampak keuangannya," kata Budi.
Pentingnya memiliki perencanaan keuangan masa depan dengan memiliki asuransi dirasakan langsung oleh Niwa Adhe Saputra. Pria yang kini menjalani profesi sebagai agen asuransi ini pernah merasakan keuangan keluarga yang hancur lebur. Berawal dari kakaknya didiagnosa kanker tulang yang membutuhkan biaya perobatan dan perawatan sekitar Rp1 miliar.
.jpeg)
Namun keluarga Niwa, ayah dan ibunya, tidak memiliki uang sebanyak itu dan akhirnya berutang. Semua anggota keluarga memutar otak untuk mencukupi semua kebutuhan dengan melakukan berbagai hal.
"Beberapa aset harus kita jual. Ada kendaraan mobil, tanah dijual, rumah yang kita tempati itu akhirnya harus digadaikan juga, dijadikan jaminan karena ngejar nyawa ya," ujarnya mengenang.
Nasib berkata lain, kakak Niwa akhirnya meninggal dunia. Saat itu pula, Niwa dan keluarga baru menyadari semua harta benda yang mereka miliki lenyap dan ditambah sang ibu harus juga dirawat karena kista.
"Jadi sesudah menjual barang-barang, menggadaikan rumah, masih harus menanggung utang," ungkapnya.
Pengalaman Niwa dan keluarga membuktikan bahwa sakit, apalagi tergolong kronis, bisa memiskinkan siapapun secara mendadak. Oleh karena itu, Niwa mengambil pelajaran penting agar kejadian serupa tidak terulang lagi di masa depan.
"Pengobatan yang terus-menerus bahkan dampaknya bukan hanya di kita sebagai yang sakit gitu tapi ke keluarga itu dampaknya sangat luar biasa banget karena punya aset seperti apapun akan terasa tidak berharga. Kenapa akhirnya sekarang setelah ekonomi saya mapan dan lain sebagainya, keluarga saya belikan asuransi semuanya. Karena yang ngabisin duit itu bukan kalau meninggal, tapi kalau sakit," ucap Niwa.
"Meninggal cuma sekali, tujuh harian selesai (Yasinan). Tapi kalau kita bicara sakit itu check out dari rumah sakitnya kapan saya enggak pernah tahu. Kalau punya asuransi bisa dikatakan orang itu enggak egois, karena kalau orang egois, biasanya kan dia tidak akan pernah memikirkan kalau sakit. 'Ya udah lu enak nih tidur di ranjang rumah sakit tapi enggak mikirin keluarga bagaimana bayarnya, terus dia harus investasi waktu nungguin di rumah sakit gitu. Makanya saya biasanya ngajak ke teman-teman, yuk punya asuransi dengan lu punya asuransi berarti kamu tuh tipe orang yang enggak egois. Saat elu sakit, yaa sudah, lu cuma minta waktu keluarga buat nungguin tapi semua biaya lu di-cover sama asuransi," sambung Niwa.

Susana Hakim
Dampak positif memiliki proteksi asuransi sejak dini juga dirasakan oleh Susana Hakim. Meski menjalani pola hidup sehat, ia tiba-tiba didiagnosis mengidap osteosarcoma atau kanker tulang dan kakinya harus dipasang implan titanium. Susana kaget lantaran jenis kankernya biasa diidap laki-laki di bawah usia 17 tahun.
Sementara dirinya seorang perempuan dan berusia 40 tahun ke atas. Susana harus bolak-balik berobat ke Singapura. Namun ia tidak terlalu khawatir soal biaya karena sudah memiliki polis asuransi.
"Kanker itu adalah sebuah misteri dan penyebabnya multifaktor. Dokter saya sendiri, yang saya enggak nanya, dia bilang setiap manusia punya sel kanker. Tinggal pemicunya atau memang Tuhan izinkan itu terjadi," ujarnya.
"Untuk pengobatan, kebayang ini kan suatu penyakit yang serius ya dan panjang. Jadi memerlukan biaya yang sangat tinggi dan bersyukur banget saya tuh walaupun ya dalam kondisi pola makan, pola hidup sehat, tetapi saya mengambil asuransi yang plan-nya sampai ke Singapura," katanya.