Ilustrasi Medcom.id.
Ilustrasi Medcom.id.

Skema Pembatasan BBM Bersubsidi Dinilai Lebih Rasional Jaga Daya Beli Rakyat

Juven Martua Sitompul • 24 Agustus 2022 19:31
Jakarta: Pemerintah seharusnya memilih opsi pembatasan ketimbang penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Penaikan harga BBM bersubsidi diyakini berdampak pada inflasi.
 
"Kalau saya, pilihan pemerintah pada pembatasan saja, tidak menaikkan. Karena kalau menaikkan dampaknya ke inflasi. Inflasi kita sudah 4,9 persen sekarang. Ini 4,9 persen karena pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan ojol berpengaruh (inflasi) naik jadi 4,9 persen. Kalau BBM itu naik bisa jadi 8 persen nanti," kata pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah kepada wartawan di Jakarta, Rabu, 24 Agustus 2022.
 
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya menyatakan segera melaporkan skema alternatif harga BBM ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pertama, pemerintah menaikkan subsidi sampai mendekati Rp700 triliun dengan risiko semakin membebani fiskal.

Kedua, pengendalian volume konsumsi BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar dengan menentukan kategori yang berhak mengonsumsi BBM bersubsidi. Ketiga, menaikkan harga BBM bersubsidi. Hal itu didasari atas sejumlah pertimbangan, terutama soal inflasi.
 
Menurut Trubus, kebijakan pemerintah dalam penaikan tarif ojek daring atau ojol hingga 30 persen pada akhir bulan ini turut menyebabkan kenaikan inflasi. Kebijakan itu tertuang dalam Keputusan Menteri (KM) Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 Tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor.
 
Alokasi volume subsidi BBM jenis Pertalite dan Solar diperkirakan habis pada Oktober 2022, sehingga akan membengkak sampai 29 juta kiloliter hingga akhir tahun. Harga BBM bersubsidi berpeluang naik untuk mengantisipasi naiknya anggaran subsidi energi hingga Rp700 triliun dari Rp502 triliun.
 

Baca: DPR: Pemerintah Harus Berani Sesuaikan Harga BBM!


Trubus mengungkapkan pemerintah patut menghindari memilih opsi penaikan BBM subsidi. Trubus mengungkapkan kekhawatiran jika pemerintah memilih opsi penaikan BBM subsidi. Ini dinilai bisa memunculkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.
 
"Saya khawatir dampak lanjutannya terjadi public distrust. Situasi sosial politik jadi kacau. Karena ini ekonomi nanti jadi politik, itu repotnya. Karena ini menjelang 2024, partai-partai akan berlomba untuk mencari massa dengan memanfaatkan kenaikan BBM. Jadi pemerintah harus prudent," ujarnya.
 
Trubus berpandangan pemerintah perlu membuat kebijakan bersifat khusus dengan memberikan langsung pada masyarakat yang terdampak. "Jadi maksud saya masyarakat kategori miskin yang ada di DTKS. Itu saja dulu," kata dia.
 
 

Selain itu, pembatasan konsumsi BBM subsidi diterapkan pada kendaraan dengan kategori sektor esensial dan non esensial. Seperti transportasi publik, kendaraan logistik, sepeda motor di bawah 150 cc, dan mobil berkapasitas mesin 1.000 cc.
 
"Menurut saya semua mobil dialihkan ke Pertamax. Kalau mau subsidi yang 1.000 cc. Jadi saya tidak setuju dengan My Pertamina, tambah rumit itu. Kasihan orang yang tidak tahu," tegasnya.
 
Trubus mengajukan skema lain agar pemerintah bisa menyelamatkan keuangan negara tanpa membebani masyarakat kecil. Dia menyarankan pemerintah membeli minyak dengan harga murah, menunda proyek ambisius, dan mengefisiensikan anggaran birokrasi.
 
"Ada cara lain, yaitu pemerintah harus mencari sumber penghasilan lain, misal membeli minyak dari Rusia. Kan ada diskon 30 persen. Pemerintah menunda dulu proyek ambisius, PSN yang ambisius. IKN kan belum urgen, infrastruktur yang kira-kira tidak strategis dicoret dulu, ditunda. Efisiensi di birokrasi, jadi misalnya anggaran-anggaran yang tidak perlu, pejabat negara yang suka jalan-jalan, itu dipangkas semua," kata dia.
 
Trubus berharap pemerintah saat ini memberi perhatian lebih pada upaya menjaga daya beli masyarakat. Terpenting, mempertahankan kestabilan harga.
 
"Pemerintah fokus saja menjaga kestabilan harga dengan memberikan insentif pada masyarakat untuk bisa menjangkau harga-harga," tegas dia.

Inflasi terkendali

Sementara itu, Ekonom Bank Mandiri, Faisal Rahman, mengatakan opsi untuk menaikkan harga BBM secara berkala dinilai tidak efisien. "Kalau berkala tapi ujungnya tetap akan ke 10 ribu maka dampak inflasi diujung tahun ya akan tetap sama ya. Mungkin sedikit lebih rendah karena dampak second round nya tidak sebesar kalo langsung dinaikan ke 10ribu," kata Faisal.
 
Dalam proyeksi Office of Economist Bank Indonesia, jika pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi Pertalite ke Rp10.000 dan Solar ke Rp8.500, potensi kenaikan inflasi hanya berada di 6 persen. Lalu dengan kenaikan harga BBM, potensi minus pertumbuhan ekonomi hanya -0.17 persen.
 
Bank Mandiri masih optimistis meski masih ada sejumlah tantangan misalnya geo politik, potensi kenaikan harga BBM bersubsidi, namun proyeksi pertumbuhan di 2022 disebut masih mampu tumbuh di atas 5 persen.
 
"Jadi ini memang pelonggaran PPKM yang meningkatkan mobilitas publik serta kinerja ekspor yang baik karena masih tingginya harga-harga komoditas masih mampu menopang pertumbuhan. Tetapi kalau BBM harganya dinaikkan pasti ada dampaknya ke growth. Namun secara net momentum pertumbuhan ekonomi 2022 masih lebih baik," tegas Faisal.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan