Namun di sisi lain, penggunaan AC juga punya dampak signifikan terhadap lingkungan, karena AC menjadi produk elektronik yang tinggi terhadap penggunaan energi listrik, dan karena itu AC menjadi produk yang banyak meninggalkan jejak karbon (carbon footprint).
Terkait dengan hal ini, maka kebijakan Kementerian ESDM untuk mewujudkan produk AC yang hemat energi, patut didukung karena merupakan kebijakan yang baik dan strategis. Persoalannya, apakah kebijakan ini cukup efektif untuk mendorong perubahan perilaku konsumen dalam menggunakan produk AC-nya? Survei Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) terhadap konsumen di area DKI Jakarta membuktikannya.
"Berdasar hasil survei, diketahui rata-rata jenis kelamin responden yang kami temui adalah perempuan ibu rumah tangga. Kemudian dari hasil survei tersebut juga kami temukan masih sedikit sekali responden yang memiliki AC dengan label tanda hemat energi dalam rumah tangga, ada juga responden yang memiliki AC dengan label tanda hemat energi, akan tetapi mereka sendiri belum paham arti dan maksud dari label tersebut," ujar Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, dalam keterangan resmi, Senin, 1 Juli 2024.
Mereka mengatakan, ketika melakukan proses pembelian di toko dan pemasangan di rumah tidak ada upaya sosialisasi dan edukasi baik dari pemilik toko ataupun teknisi yang memasang AC di rumah tentang arti dari label hemat energi tersebut. Ini sebenarnya perlu menjadi catatan, apakah mereka sebetulnya juga memahami arti dari label hemat energi tersebut atau tidak.
Baca juga: YLKI Sarankan Pembuatan SLIK untuk Atasi Penipuan Belanja Online |
Tulus mengatakan, ada beberapa hasil yang ditemui dalam survei tersebut, antara lain:
- Jenis kelamin tertinggi dalam survei ini adalah perempuan sebesar 76 persen dan laki-laki sebesar 24 persen dari lokasi yang ditentukan di wilayah DKI Jakarta.
- Jenis pekerjaan tertinggi adalah ibu rumah tangga sebesar 38 persen dan paling rendah adalah lawyer sebesar dua persen.
- Untuk daya listrik responden yang dilakukan survei, tertinggi adalah 1.300 VA sebesar 44 persen dan 2.200 VA 38 persen. Untuk yang paling rendah adalah 3.500 VA sebesar empat persen.
- Untuk jumlah AC yang responden miliki dalam rumah tangga, mayoritas responden memiliki setidaknya satu buah AC di rumahnya sebanyak 72 persen. Kemudian responden yang memiliki dua buah AC sebanyak 14 persen, dan responden yang memiliki tiga buah AC sebanyak 10 persen.
- Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, sebanyak 53,4 persen responden memiliki AC rumah tangga dengan kapasitas ½ PK, kemudian 39,7 persen untuk AC dengan kapasitas 1 PK. Kapasitas ¾ PK sebesar 4,1 persen, sedangkan untuk jumlah 1 ½ PK dan 2 PK sebesar 1,4 persen responden.
- Untuk ruangan yang dipasang AC tertinggi ada pada ruangan tempat tidur sebesar 84 persen dan paling rendah ada pada ruang keluarga yaitu sebesar dua persen.
- Rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk membeli AC, responden tertinggi berada pada rentang harga Rp2.000.001-Rp4.000.000, yaitu sebesar 74 persen. Kedua ada pada harga lebih dari Rp4.000.000., dari hasil survei ditemukan juga responden yang membeli AC dengan harga kurang dari Rp2.000.000., yaitu sebesar enam persen.
- Untuk merk AC yang paling banyak digunakan berdasarkan hasil survei adalah merk Sharp sebanyak 24 orang, kemudian LG sembilan orang, dan paling rendah ada pada merk electrolux dan toshiba masing-masing satu orang.
- Berdasarkan hasil survei, responden yang mengetahui label tanda hemat energi adalah 54 persen dan yang tidak mengetahui sebesar 48 persen. "Namun ketika kami lakukan wawancara mendalam, sebetulnya responden masih belum mengetahui secara rinci apa makna dari tanda label energi tersebut," jelas Tulus.
- Berdasarkan hasil survei, orang yang cukup menentukan dalam proses pembelian AC tertinggi ada pada ayah yaitu sebesar 38 persen, kemudian ibu 22 persen. Paling rendah ada pada anak sebesar 10 persen dan keluarga sebesar dua persen.
- Menurut hasil survei, mayoritas responden memiliki setidaknya satu AC dengan label hemat energi yaitu sebesar 44 persen. Namun masih banyak juga responden yang memiliki AC tanpa label tanda hemat energi yaitu sebesar 36 persen. Dari hasil survei dapat disimpulkan masyarakat cenderung belum mengetahui makna dan arti dari label tersebut.
- Berdasarkan hasil survei ditemukan pertimbangan terbesar responden ketika hendak membeli AC tertinggi ada pada pertimbangan besaran daya listrik yang akan digunakan sebanyak 33 orang, kemudian harga yang cenderung lebih murah sebanyak 21 orang dan pertimbangan paling rendah ada pada iklan sebanyak tiga orang. Hal ini karena responden cenderung sudah mencari tahu terlebih dahulu mengenai merk AC apa saja yang akan mereka beli.
- Sementara untuk default setting suhu tertinggi ada pada rendan suhu 16-18 °C sebesar 44 persen, kemudian 19-21°C dan 22-25°C sebesar 18 persen. Berdasarkan hasil survei juga ditemukan responden tidak mengetahui pasti berapa default setting AC ketika awal membeli dengan jawaban tidak pasti yang cukup tinggi yaitu sebesar 18 persen.

Ilustrasi: YLKI.
Tulus menambahkan, untuk durasi penggunaan AC dalam rumah tangga tertinggi responden menggunakan AC selama 8-12 jam per hari sebesar 40 persen. Kemudian 4-8 jam per hari sebesar 30 persen dan 12-24 jam per hari cukup tinggi sebesar 22 persen. Paling rendah ada pada waktu 1-4 jam per hari sebesar dua persen.
"Untuk permasalahan yang paling sering ditemukan ketika responden menggunakan AC ada pada permasalahan AC dirasa tidak dingin yaitu sebesar 35,3 persen, kemudian permasalahan pembuangan air AC sebesar 21,2 persen, permasalahan freon habis sebesar 20 persen dan paling rendah ada pada permasalahan pada remot AC sebesar 2,4 persen," ungkap dia.
Tulus mengatakan, untuk biaya perawatan yang dikeluarkan responden tertinggi ada pada jumlah Rp100.001-Rp150.000 dan paling rendah sejumlah Rp200.001-Rp250.000. Sedangkan untuk frekuensi perawatan AC yang responden lakukan tertinggi ada pada rentang waktu 1-3 kali dalam tiga bulan sebesar 48 persen dan satu kali dalam enam bulan sebesar 44 persen. Serta menurut survei ada responden yang belum pernah melakukan perawatan AC yaitu sebesar dua persen.
Berdasarkan hasil survei, tindakan tertinggi yang dilakukan apabila AC rumah tangga rusak adalah memperbaiki sebesar 48 persen dan paling rendah adalah dibuang sebesar dua persen. Informasi yang paling dibutuhkan responden adalah terkait harga, kualitas kelebihan dan kekurangan produk yaitu sebesar 27,2 persen, kemudian informasi terkait label tanda hemat energi sebesar 26,3 persen dan paling rendah adalah informasi terkait proses pembuangan AC yang benar sebesar 3,5 persen.
"Untuk petugas pembersihan AC berdasarkan hasil survei, ditemukan responden akan menggunakan jasa teknisi untuk melakukan proses tersebut yaitu sebesar 100 persen, dan tidak melakukannya secara mandiri. Responden yang bersedia berpartisipasi dalam kegiatan sosialisasi sebesar 82 persen dan yang tidak bersedia sebesar 18 persen. Kemudian untuk jenis sosialisasi yang disukai tertinggi ada pada kegiatan webinar yaitu sebesar 32,2 persen. Selain itu juga responden tertarik adanya sosialisasi melalui iklan dan media sosial yaitu sebesar 25,4 persen," jelas Tulus.
Baca juga: Perbedaan AC Low Watt dan AC Inverter |
Saran dan rekomendasi YKLI
Oleh karena itu, Tulus memberi saran dan rekomendasi kepada Konsumen, agar lebih kritis lagi saat memilih AC yang lebih baik dengan mempertimbangkan pemilihan AC berlabel hemat energi. Peran konsumen sangat penting dalam hal ini. Konsumen juga perlu memperhatikan suhu awal saat menyalakan AC, jangan terlalu rendah, agar tidak boros energi, dan menjaga dampak negatif terhadap lingkungan.
"Sedangkan untuk pelaku usaha agar lebih aktif lagi dalam mempromosikan AC hemat energi. Label AC harus lebih jelas agar konsumen lebih mudah memahaminya. Sedangkan kepada pemerintah sebagai regulator juga harus proaktif dalam pengawasan di pasaran, agar produk AC yang beredar benar benar mematuhi aturan," tegas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News