Asosiasi Penambang Tanah Pertiwi (ASPETI) menganggap kepentingan bangsa dalam aktivitas pertambangan perlu didiskusikan. Foto: dok Aspeti.
Asosiasi Penambang Tanah Pertiwi (ASPETI) menganggap kepentingan bangsa dalam aktivitas pertambangan perlu didiskusikan. Foto: dok Aspeti.

Aktivitas Pertambangan Jadi Kepentingan Nasional

Ade Hapsari Lestarini • 11 Agustus 2023 17:55
Jakarta: Asosiasi Penambang Tanah Pertiwi (ASPETI) menganggap kepentingan bangsa dalam aktivitas pertambangan perlu didiskusikan. Negara pun perlu turun tangan dalam pengawasannya.
 
Adapun permasalahan dalam aktivitas pertambangan menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama yang harus diperbaiki. Artinya, semua pihak jangan memiliki arogansi, dan fokus dalam memiliki kebersamaan untuk bangsa.
 
Hal ini dibahas dalam Forum Group Discussion (FGD) "Kutukan Sumber Daya Alam" meneroka (mengeksplor) mekanisme dokumen pertambangan (Analisa Kasus Dokumen Terbang Merugikan Negara Rp5,7 Triliun).

Ikatan Ahli Geologi Indonesia/IAGI Yosef C.A. Swamidharma mengatakan, terkait kasus dokumen terbang yang diduga merugikan negara Rp5,7 triliun, kasus ini terjadi akibat belum adanya aturan turunan yang tuntas secara administratif. Dia mencontohkan mekanisme lelang dan wilayah pertambangan sudah memiliki inventori, serta mekanisme penugasan (untuk area-area yang belum memiliki data-data eksplorasi).
 
"Yang utama adalah niat baik, mekanisme diutamakan orang yang kompeten, dibuat transparan dengan cara di-review oleh pihak lain, supaya lebih terbuka. Kalau ada kekurangan-kekurangan yang masih ada di-list-kan. Hal ini proses maksimum yang harus dilakukan. Namun, kalau ada salah satu pihak yang memang dari awal sudah memiliki modus atau niat tidak baik dalam sistem, sebagus apapun sistem yang dibuat pasti gampang hancur. Yang paling penting adalah niat baik," kata Yosef, dalam keterangan tertulis, Jumat, 11 Agustus 2023.
 
Praktisi Hukum Arie Nobelta Kaban menjelaskan duduk perkara masalah dokumen terbang ini harus dilihat dari masalah RAKB yang tidak prosedural, yang digunakan UU Tipikor atau UU Minerba.
 
Dilihat dari kasus ini, tersangka dalam Kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT Aneka Tambang Tbk ini diduga melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 jo 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1), 56b KUHPidana.
 
"Jika dilihat dari kasus tersebut, tidak ada pasal gratifikasi," tegas Arie.
 
 
Baca juga: Kementerian ESDM Buka Suara soal Penetapan Tersangka Eks Dirjen Minerba
 

Kronologi masalah pertambangan ore nikel


Kasus ini bermula saat Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, pada 14 Desember 2021 bertempat di Kantor Dirjen Minerba Kementerian ESDM telah memimpin rapat terbatas membahas dan memutuskan penyederhanaan aspek evaluasi RKAB perusahaan pertambangan yang telah diatur dengan Keputusan Menteri ESDM nomor 1806 K/30/MEM/2018 tanggal 30 April 2018. Evaluasi tersebut sebagai upaya untuk memperingkas bisnis proses ini tanpa menghilangkan substansinya. Hal itu yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum oleh Kejaksaan.
 
"Satu siklus bisnis proses mulai dari evaluator yang paling kroco, kemudian koordinator, Kasubdit, Direktur atau Dirjen yang memproses RKAB tersebut menjadi tersangka. Dirjen ini disangkakan membuat semacam kebijakan yang berbeda, menurut dugaan Kejaksaan," jelas Arie.
 
Namun demikian, kata dia, eranya sudah berubah, yakni dahulu desentralisasi kemudian sentralisasi proses RKAB. Dengan pendekatan bisnis Kepmen nomor 1806 K/30/MEM/2018, akan memakan waktu yang lama.
 
"Kerugian keuangan Negara, menurut pandangan saya, saya tidak terlalu yakin perhitungan angka kerugian Negara Rp5,7 triliun itu benar. Itu harus ada audit investigasi BPKP atau BPK terlebih dahulu," imbuh Arie.
 
Arie menuturkan posisi kasus, modusnya dugaan perbuatan GM PT Antam dan Pelaksana Lapangan PT LAM. PT LAM menjualkan ore nikel menggunakan dokumen PT KKP. Tidak hanya dokumen PTKKP yang dipergunakan tetapi masih ada dokumen PT lain. Peran PT KKP ini meminjamkan dokumen tambang agar dapat menjual hasil illegal mining dari PT LAM.
 
"Hubungan kausalitas antara melawan hukum dan kerugian negara ini belum ada. Kita tidak tahu alat bukti yang dimiliki kejaksaan. Belum terlihat benang merahnya," kata Arie.
 
 
Baca juga: Program Hilirisasi Tak Berhenti di Sektor Pertambangan Saja
 

Dibutuhkan pengawasan negara


Pelaku usaha pertambangan Jeffisa Putra Amrullah mengatakan, dibutuhkan pengawasan dari negara dan perlu adanya grand design mining. Kultur masyarakat juga perlu diperhatikan, karena kemiskinan itu juga besar.
 
"Negara harus hadir di masyarakat bawah. Terkait kasus dokumen terbang, PT KKP harus bertanggungjawab atas dokumen tersebut. Yang paling bertanggung jawab bukan ESDM tapi PT KKP," tegasnya.
 
Moderator FGD Niko Adrian menyimpulkan terkait dengan kekayaan Negara, Negara mempunyai konstitusi, ada Pasal 33 ayat 1 sampai 3 UUD 1945 tidak berubah dari empat kali amendemen. Adapun Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 berbunyi "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan".
 
"Mudah-mudahan nilai kekeluargaan selalu bersama kita walau sedang berusaha atau berbisnis, konkritnya koperasi bisa melakukan ini, Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 'Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara', jadi negara melakukan penguasaan, bahkan Negara bukannya memiliki, lebih dari itu. Pasal 33 ayat 3 UUD1945 'Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat," tegasnya.
 
Niko menambahkan UU No. 3 Tahun 2020 Tentang Mineral dan Batubara harus jelas peraturan dibawahnya. Bagaimana petunjuk teknis (juknis) dapat diterjemahkan dalam Peraturan Menteri (permen) sehingga dapat membawa kesejahteraan bagi rakyat.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan