Seruan untuk memboikot produk-produk asal Prancis pun mengalir dari seluruh dunia, serta mengancam transaksi luar negeri dari negara yang kini dikomandoi Macron itu. Saat ini tercatat lebih dari USD100 miliar atau setara Rp1.442 triliun (kurs Rp14.423) nilai transaksi perdagangan yang dimiliki antara Prancis dengan negara-negara mayoritas Muslim.
Dailysabah pada Sabtu, 31 Oktober 2020 lalu melaporkan, menurut data yang dihimpun Anadolu Agency (AA), negara berpenduduk mayoritas Muslim memegang peran penting dalam perdagangan luar negeri Prancis. Pada 2019, ekspor Prancis ke negara-negara Islam senilai USD45,8 miliar, dengan impor mencapai USD58 miliar.
Prancis yang memiliki populasi hampir 67 juta pada 2019 itu mencatat nilai ekspor sekitar USD555 miliar, sementara impor mencapai USD639 miliar. Prancis adalah pengekspor utama produk pertanian global, dengan tiga persennya dikirim ke Timur Tengah.
Beberapa produk asal Prancis yang diekspor ke negara Timur Tengah di antaranya adalah senjata, termasuk jet militer yang dipesan Mesir dan Qatar. Selain itu, perusahaan energi Total juga hadir di banyak negara mayoritas Muslim.
Untuk label mode utama Prancis, Timur Tengah mewakili sebagian kecil penjualan dibandingkan dengan Amerika Serikat, Asia, atau Eropa. Merek besar seperti Louis Vuitton atau Chanel memiliki toko di seluruh Timur Tengah, termasuk di Arab Saudi dan Dubai.
Selain itu, salah satu target seruan boikot adalah jaringan supermarket Carrefour yang beroperasi di banyak negara Timur Tengah dan Asia Selatan melalui pengaturan waralaba dengan mitra.
Turki merupakan pasar ekspor utama Prancis di antara negara-negara mayoritas Muslim dengan nilai mencapai USD6,6 miliar pada 2019. Prancis adalah sumber impor terbesar ke-10 Turki dan pasar terbesar ketujuh untuk ekspor Turki, menurut Institut Statistik Turki (TurkStat).
Ekspor menara angin Indonesia merugikan AS
Berita selanjutnya yang menjadi primadona pada Oktober 2020 yakni Amerika Serikat (AS) merasa dirugikan oleh Indonesia. Menteri Perdagangan Agus Suparmanto yang saat itu masih menjabat mengatakan kerugian yang dialami industri menara angin di AS dinilai tak tepat setelah dialamatkan kepada produsen di Indonesia. Langkah ini memberikan bea masuk produk tersebut merupakan bentuk perlakuan tidak adil.Masalah ini muncul saat Departemen Perdagangan Amerika Serikat (US Department of Commerce/USDOC) pada 29 Juni 2020 mengeluarkan putusan akhir penyelidikan anti subsidi terhadap produk menara angin (wind tower) asal Indonesia dengan margin subsidi sebesar 5,9 persen.
Komponen terbesar dari margin tersebut, sebesar 5,7 persen, disebut berasal dari subsidi hulu atau upstream subsidy. USDOC mengklaim subsidi tersebut terkandung dalam produk cut to length steel plate (CTL) produksi dalam negeri yang merupakan bahan baku utama menara angin.
Pemerintah AS juga menerapkan margin sebesar 0,17 persen yang dihitung USDOC dari subsidi listrik. Kemudian 0,03 persen margin lainnya dari pembebasan PPh Impor.
Hasil akhir tersebut lebih rendah dari ketetapan margin subsidi sebelumnya yang mencapai 20,29 persen pada Desember 2019 yang kemudian diubah setelah penyampaian argumen lanjutan dalam legal dan rebuttal brief pascaverifikasi.
Saat itu, AS menganggap kebijakan Indonesia kepada produsen bahan baku CTL untuk menjual CTL tersebut di bawah harga wajar kepada produsen wind tower dalam negeri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News