Daniel mengatakan potensi kerugian Bulog cukup besar. Dan ini sempat diakui Dirut Bulog, Budi Waseso, saat rapat kerja dengan Komisi IV DPR. Sebagai contoh, jika 300 ribu ton beras gagal jual, kemudian harga per kilogramnya sekitar Rp8.000, maka potensi kerugian sudah mencapai Rp2,4 triliun.
"Makanya, jangan ulangi kesalahan yang sama. Itu bukan uang APBN, tapi utang bank dengan kredit komersial. Harus benar-benar dihitung dengan baik," kata Daniel.
Anggota Komisi VI DPR, Mukhtarudin, melihat wacana impor beras yang dilontarkan Kementerian Perdagangan (Kemendag), salah satunya karena kinerja Bulog. Menurutnya, keberadaan Bulog selama ini kurang begitu maksimal.
"Sampai Februari ini, baru 35.000 ton beras yang mampu diserap Bulog. Padahal, target serapan 2021 ini sebesar 1,5 juta ton," kata dia.
Ombudsman RI juga menyoroti hal yang sama. Sebab, ada stok beras yang tidak tersalurkan sehingga bisa menimbulkan kerugian negara.
"Sebanyak 300-400 ribu ton beras di gudang Bulog berpotensi turun mutu. Jika setengahnya saja tidak layak konsumsi, maka negara berpotensi mengalami kerugian Rp1,25 triliun," ujar Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika.
Sementara itu, Dirut Bulog Budi Waseso mengaku kesulitan dalam menyerap gabah petani. Musababnya, biaya penyerapan gabah beserta perawatannya menggunakan pinjaman kredit komersial dari perbankan.
"Biaya itu terus membengkak," kata Budi.
Dia menambahkan, cadangan beras pemerintah (CBP) yang tersimpan di gudang tak bisa leluasa digunakan oleh Bulog. Bulog kini juga terbebani oleh utang perbankan. Saat ini, Bulog bahkan harus membayar bunga utang hingga Rp282 miliar.
Terhadap ketersediaan beras, Budi mengatakan produksi dalam negeri diyakini masih mencukupi kebutuhan nasional. Sejauh ini, Bulog telah melakukan penyerapan gabah setara beras hingga sebanyak 902 ribu ton untuk cadangan beras pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News