Direktur Utama MRT William P Sabandar mengungkapkan hal tersebut, dalam Forum Jurnalis, yang digelar secara daring di Jakarta, Senin, 19 Oktober 2020.
Menurut William, salah satu penyebab utama adalah kondisi pandemi covid-19. Pandemi ini membuat kontraktor Jepang kesulitan mempersiapkan lelang karena ketidakpastian aktivitas akibat adanya berbagai pembatasan yang diterapkan Indonesia, khususnya Pemda DKI Jakarta.
"Pembangunan MRT fase 2A ini mengalami perlambatan karena covid-19. Kontraktor Jepang minta waktu tender dimundurkan dan juga beberapa hal terkait dengan perizinan akses masuk karena pada saat pandemi akses jalan dibatasi," ujar William.
Dia menjelaskan pembangunan fase II terdapat kendala atas pengadaan paket kontrak CP202, CP205, dan CP206. Lalu ada, faktor minimnya keterlibatan dan ketertarikan kontraktor Jepang yang menyebabkan posisi tawar khususnya untuk paket railway systems dan rolling stock menjadi sangat tinggi.
Baca: Pembangunan MRT Fase 2 Terancam Mundur
Menurut William, tahapan operasional MRT Jakarta Fase 2A telah dibagi menjadi dua, yaitu segmen 1 Bundaran HI-Harmoni akan selesai direncanakan pada Maret 2025. Sedangkan tahapan operasional segmen 2 Harmoni-Kota kemungkinan besar akan bergeser ke pertengahan 2027.
"Per 30 September 2020 lalu, paket kontrak CP 201 yang mengerjakan pembangunan terowongan dari Stasiun Bundaran HI sampai dengan Stasiun Harmoni serta membangun dua stasiun, yaitu Stasiun Thamrin dan Stasiun Monas telah mencapai 8,38 persen," ungkap dia.
William juga mengatakan, untuk target penyelesaian MRT Jakarta fase II Harmoni-Kota ini pun ditargetkan mundur ke 2027.
"Akibat adanya tender delay, tender kita ulang, di segmen 1 (Bundaran HI-Harmoni) itu sekali tender kita dapat. Di segmen dua itu ada dua kali tender delay. Sehingga segmen dua ini Harmoni Kota ditargetkan bergeser ke pertengahan 2027 atau lebih," kata William.
Dia menerangkan, sejumlah paket yang mengalami kendala memperoleh kontraktor Jepang adalah CP 202 untuk rute Harmoni-Mangga Besar, CP 205 untuk pemasangan sistem perkeretaapian dan rel, lalu CP 206 untuk pengadaan rolling stock atau kereta.
Untuk CP 202 sendiri, karena tingkat kesulitan untuk pembangunan konstruksinya tinggi, maka para kontraktor Jepang tak memasukkan penawaran sejak tender pertama, (ada 6 Agustus sampai 4 November lalu). "Selain risiko tinggi, kontraktor juga keberatan dengan deadline proyek yakni 57 bulan. Akhirnya, tender pertama itu pun gagal," ungkapnya.
Setelah itu, MRT Jakarta mengadakan tender kedua pada 7 Februari 2020, dan memperpanjang deadline proyek menjadi 68 bulan. Namun, pandemi virus corona (covid-19) menghambat proses tender. Para kontraktor pun mengalami keterbatasan SDM. Akhirnya, tender itu ditutup pada 6 Juli 2020, dan dinyatakan gagal kembali.
"Karena dua kali tender dengan mekanisme international bidding gagal, kita bersurat ke JICA (Japan International Cooperation Agency) untuk meminta arahan. Akhirnya JICA mengarahkan tiga mekanisme. Pertama limited competitive bidding, jadi dibatasi pesertanya. Kedua, international shopping, dan ketiga direct contracting atau penunjukan langsung," tutur William.
Untuk mengatasi itu, MRT Jakarta sedang melakukan proses tender dengan menggunakan mekanisme direct contracting. Harapannya dengan mekanisme itu, MRT Jakarta bisa memperoleh kontraktor untuk proyek CP 202.
Kendala kedua terjadi di paket CP 205 yakni sistem perkeretaapian dan rel. MRT Jakarta menggelar tender untuk paket tersebut pada Februari 2020, dan seharusnya selesai pemasukan tawaran pada Juni 2020. Namun, ke-6 kontraktor yang berminat mengikuti tender meminta perpanjangan tender.
"Kontraktor meminta untuk memperpanjang masa tender. Jadi panitia sudah melakukan empat kali perpanjangan. Seharusnya bidding masuk 16 Juni 2020. Tapi karena covid-19, dilakukan dua kali perpanjangan, pertama sampai 16 Juli 2020, kedua sampai 31 Agustus 2020. Kemudian kontraktor meminta perpanjangan ketiga sampai 17 September 2020, dan meminta lagi perpanjangan keempat sampai 26 Oktober 2020," urai dia.
Kendala ketiga yakni di paket CP 206 atau pengadaan kereta. Dalam paket ini, MRT Jakarta mengalami kendala karena tak ada satu pun kontraktor yang berminat mengikuti tender.
William menjelaskan penyebabnya karena jumlah kereta yang dibutuhkan. Sebab, untuk proyek MRT Jakarta fase II ini hanya dibutuhkan enam kereta. Karena jumlahnya terlalu sedikit, tak ada kontraktor yang berminat. Akhirnya, MRT Jakarta mencoba membuka tender untuk pengadaaan 14 kereta yang akan digunakan sampai proyek MRT ke Ancol Barat. Namun, karena jarak waktu penyelesaian proyek yang begitu jauh, akhirnya minat kontraktor juga masih nihil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News