Pelang tanda check point pengawasan pelaksanaan PSBB ditempatkan di Jalan Ciledug Raya, Jakarta, Kamis, 23 April 2020. Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Pelang tanda check point pengawasan pelaksanaan PSBB ditempatkan di Jalan Ciledug Raya, Jakarta, Kamis, 23 April 2020. Foto: Antara/Hafidz Mubarak A

PSBB Jakarta Ancam Gelombang PHK dan Ganggu UMKM

Al Abrar • 11 September 2020 11:22
Jakarta: Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) total DKI Jakarta dinilai akan meningkatkan kemiskinan. Penyebabnya sektor tenaga kerja dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) tersendat dan memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
 
"Yang pasti banyak masyarakat yang dirumahkan, baik yang di kantor maupun di UMKM. Minimal itu," kata Anggota DPRD DKI Jakarta Komisi D Judistira Hermawan saat dihubungi, Kamis, 10 September 2020.
 
Dampak selanjutnya, beban pemerintah kian berat. Sebab Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga akan kembali turun.
 
"Selama pandemi ini, PAD turun, pemasukan pemerintah juga turun, pajak-pajak tidak tercapai, retribusi tidak tercapai. Ini tentu menjadi suatu kekhawatiran," jelasnya.
 
Baca:PSBB Total Pengaruhi Industri Manufaktur
 
Itu tercermin dari pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020, Jakarta mengalami penurunan signifikan menjadi -8,22 persen. Angka tersebut jauh lebih rendah daripada nasional sebesar -5,32 persen sebagai imbas pembatasan aktivitas ekonomi selama PSBB.
 
Catatan Kamar Dagang dan Industri, sekitar enam juta pekerja di-PHK dan dirumahkan saat pandemi. Penyebabnya perusahaan tidak mampu membayar kewajibannya ke para pegawai dan bisnis tersendat.
 
Judistira mengingatkan menjaga perekonomian juga penting dilakukan selain sektor kesehatan. Keduanya harus berjalan beriringan.
 
"Kita perhatian secara bersama-sama, sehingga bisa bisa saling topang-menopang dan saling bantu membantu," kata Sekretaris Fraksi Golkar DPRD Jakarta ini.
 
 

Baginya, hal tersebut mesti dilakukan agar kebijakan yang ditempuh solutif dan risikonya kecil. Menurutnya, sebaiknya Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, melakukan evaluasi secara mendalam dan komprehensif sebelum memutuskan kembali memberlakukan PSBB. Sehingga, diketahui pasti penyebab tingginya penyebaran covid-19.
 
"Sebagai contoh misalnya, ada penyebaran di transportasi umum. Kalau ada, harus dievaluasi," ujarnya.
 
"Kemudian, ada enggak yang terpapar yang di rawat di Wisma Atlet. Dilihat data, mereka bekerja informal atau formal kebanyakan? Kalau formal, mungkin klaster perkantoran. Berarti kantornya diperketat atau pekerja informal apa," sambungnya.
 
Hingga saat ini, ungkap Judistira, upaya pemprov dalam menekan penularan covid-19 dinilai belum maksimal. Dicontohkannya dengan aduan masyarakat kepadanya, khususnya mengenai pasien positif tanpa gejala hingga bergejala ringan yang karantina mandiri di rumah masing-masing.
 
Selain tidak adanya perhatian dari Pemprov kepada warga-warga sudah melakukan isolasi mandiri di rumahnya. Mereka tidak mendapat asupan makanan, vitamin, dan perhatian. Saya temukan ketika turun ke masyarakat.
 
"Ketua RT/RW menyampaikan, warga itu isolasi mandiri. (Baru) empat hari enggak betah, (lalu) dia keluar tanpa ada pengawasan, tidak ada perhatian. Ini mengkhawatirkan memunculkan OTG-OTG (orang tanpa gejala)," ujarnya.
 
Dirinya mengingatkan sebagai Ibu Kota Negara. DKI Jakarta sudah sepatutnya segala kebijakan strategis yang diambil, termasuk dalam penanganan covid-19, berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan daerah penyangga.
 
"Melakukan koordinasi, sinergisitas antara pusat dan daerah. Jadi, seperti ini situasinya, mau mengambil kebijakan PSBB total. Bagaimana masukan dari daerah-daerah penyangga dan pemerintah pusat. Ini tidak bisa dipungkiri. Banyak sekali kepentingan (pusat dan daerah penyangga) di Jakarta," katanya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ALB)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan