Insolvensi adalah keadaan orang atau perusahaan (debitur) yang tidak dapat membayar utang atau kewajiban keuangannya dengan tepat waktu. Perusahaan atau orang yang terkena kondisi ini berada dalam posisi insolven.
Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Jimmy Simanjuntak mengatakan mekanisme tes insolvensi tidak relevan, bahkan sulit diterapkan di Indonesia. Dari sisi prinsip akuntansi, kata dia, penyelesaian utang debitur acuannya bukan berdasarkan nilai aset besar yang dimiliki.
Tetapi, lanjut dia, penyelesaian utang dilihat dari cash flow atau uang tunai yang dimiliki debitur untuk membayar utang kepada kreditur.
"Jadi, jika debitur punya utang, tidak mungkin bagi-bagi aset. Tapi, asetnya itu yang diubah bentuknya menjadi uang tunai. Setelah itu baru dibayar," kata Jimmy, dalam keterangan tertulis, Jumat, 19 November 2021.
Jimmy mengatakan selama ini terdapat pendapat bahwa ketika book value atau aset keuangan debitur lebih tinggi dari nilai utangnya, maka tidak layak untuk diajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atau dipailitkan. Padahal, permohonan PKPU sudah jelas diatur dalam UU Kepailitan.
Dalam Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan menyebutkan, syarat sebuah badan korporasi dapat dinyatakan pailit adalah debitur memiliki minimal dua kreditur atau utang. Selain itu, debitur tidak mampu membayar lunas satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Jimmy mengatakan mekanisme tes insolvensi dasarnya adalah laporan keuangan debitur. Sehingga, pihak kreditur yang mengajukan permohonan PKPU atau pailit harus membuktikan ketidakmampuan debitur dalam membayar utang.
Baca: Apindo: UU Kepailitan dan PKPU Ancam Dunia Usaha
Jimmy menjelaskan dengan adanya tes insolvensi, kreditur tak bisa semena-mena mengajukan PKPU atau mempailitkan debitur. Sedangkan, dalam transaksi jual beli atau bisnis yang dilakukan oleh kreditur dan debitur, kedua belah pihak tidak mungkin menunjukkan laporan keuangan usahanya masing-masing. Sehingga, ketika menagih utang kepada debitur, kreditur tidak memiliki dasar laporan keuangannya.
Alhasil, tegas Jimmy, kreditur tidak bisa membuktikan apakah debitur dalam keadaan insolven atau tidak dalam persidangan kasus PKPU. Bahkan, di industri perbankan, insolven atau tidaknya suatu debitur sangat sulit dibuktikan.
Debitur yang menarik utang banyak ke bank, menurut Jimmy, belum tentu melampirkan laporan keuangannya yang rapi atau neraca yang bagus.
"Jadi, bagaimana mungkin tes insolven yang diusulkan para pelaku usaha bisa diterapkan dalam UU Kepailitan di Indonesia," papar Jimmy.
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah mempercepat revisi UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Dalam revisi UU tersebut, Apindo mengusulkan agar poin tes insolvensi masuk dalam rumusan UU Kepailitan.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani menjelaskan perkara PKPU dan kepailitan terus meningkat akibat pandemi covid-19 berkepanjangan. Apindo mengusulkan pemerintah segera menerbitkan Perppu Moratorium UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, serta melakukan amendemen atau revisi tersebut.
Apindo berpendapat kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan. Sebab, pengajuan PKPU dan kepailitan dinilai tidak membantu menyehatkan usaha debitur. Tapi, justru berujung kepada kepailitan.
Namun, menurut Jimmy, di beberapa negara yang menganut sistem hukum serupa dengan Indonesia belum ada yang menerapkan tes insolvensi dalam kasus PKPU dan pailit. Contohnya Singapura dan Belanda.
Bahkan, di negara maju yang sudah punya sistem laporan keuangan korporasi yang bagus juga tidak menerapkan tes insolvensi.
Dia mengatakan sangat sulit bagi regulator di Indonesia untuk mengontrol jutaan korporasi yang tidak melaporkan keuangannya secara rutin setiap tahun kepada publik. Terutama korporasi yang status badan hukumnya bukan perusahaan terbuka.
Saat ini, sambung dia, prinsip yang bisa digunakan adalah presumption to be insolvent. Kreditur hanya bisa menduga bahwa debitur dalam kondisi insolvensi atau tidak. Jika debitur mampu membayar utangnya, maka harus membuktikannya dengan mengajukan proposal perdamaian yang diterima kreditur. Dengan begitu, proses PKPU bisa berakhir.
Sebaliknya, jika pihak debitur memiliki aset yang besar, tapi tidak bisa menyajikan penawaran pembayaran utang yang baik kepada kreditur, debitur menjadi insolven. Sehingga, debitur dianggap tidak mampu membayar utang-utangnya kepada para kreditur.
Baca: Moratorium PKPU Jangan Sampai Merugikan Konsumen
Hal senada diungkapkan praktisi hukum PKPU Ricardo Simanjuntak. Menurut dia, dari perspektif hukum, keadaan insolvensi terjadi ketika aset debitur lebih kecil daripada kewajiban utangnya.
Masalahnya, untuk mengetahui debitur insolvensi atau tidak, harus dilihat dari laporan keuangannya. Dan, ini yang harus dibuktikan pihak kreditur di pengadilan ketika ingin memohonkan pailit.
Menurut dia, pembuktian insolvensi akan membebani kreditur. Sebab, membuktikan insolvensi, kreditur harus punya laporan keuangan kreditur. Sayangnya, laporan keuangan itu sulit didapatkan kreditur dari pihak debitur.
"Jadi penerapan uji insolven itu menjadi suatu yang tidak memungkinkan. Karena, berapa banyak laporan keuangan debitur yang harus dimiliki kreditur," kata Ricardo.
Ricardo berpendapat, jika tes insolvensi masuk dalam revisi UU Kepailitan, akan berdampak terhadap keberlangsungan dunia usaha. Salah satu, kreditur yang memiliki piutang terhadap debitur dengan aset lebih besar dari utangnya akan sulit diperkarakan.
"Pelaku usaha kecil yang memiliki piutang ke perusahaan besar akan sulit menagih utangnya," ujar Ricardo.
Padahal, lanjut Ricardo, permohonan PKPU atau pailit yang diajukan kreditur bertujuan melihat iktikad baik dan kemampuan debitur dalam membayar utangnya. Dengan demikian, pihak kreditur dan debitur akan sama-sama diuntungkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News