Jakarta: Usulan memasukkan poin tes insolvensi (insolvency test) dalam revisi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dinilai tidak beralasan. Tes insolvensi bertentangan dengan syarat dan ketentuan kepailitan yang berlaku di Indonesia.
Insolvensi adalah keadaan orang atau perusahaan (debitur) yang tidak dapat membayar utang atau kewajiban keuangannya dengan tepat waktu. Perusahaan atau orang yang terkena kondisi ini berada dalam posisi insolven.
Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Jimmy Simanjuntak mengatakan mekanisme tes insolvensi tidak relevan, bahkan sulit diterapkan di Indonesia. Dari sisi prinsip akuntansi, kata dia, penyelesaian utang debitur acuannya bukan berdasarkan nilai aset besar yang dimiliki.
Tetapi, lanjut dia, penyelesaian utang dilihat dari cash flow atau uang tunai yang dimiliki debitur untuk membayar utang kepada kreditur.
"Jadi, jika debitur punya utang, tidak mungkin bagi-bagi aset. Tapi, asetnya itu yang diubah bentuknya menjadi uang tunai. Setelah itu baru dibayar," kata Jimmy, dalam keterangan tertulis, Jumat, 19 November 2021.
Jimmy mengatakan selama ini terdapat pendapat bahwa ketika book value atau aset keuangan debitur lebih tinggi dari nilai utangnya, maka tidak layak untuk diajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atau dipailitkan. Padahal, permohonan PKPU sudah jelas diatur dalam UU Kepailitan.
Dalam Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan menyebutkan, syarat sebuah badan korporasi dapat dinyatakan pailit adalah debitur memiliki minimal dua kreditur atau utang. Selain itu, debitur tidak mampu membayar lunas satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Jimmy mengatakan mekanisme tes insolvensi dasarnya adalah laporan keuangan debitur. Sehingga, pihak kreditur yang mengajukan permohonan PKPU atau pailit harus membuktikan ketidakmampuan debitur dalam membayar utang.
Baca: Apindo: UU Kepailitan dan PKPU Ancam Dunia Usaha
Jimmy menjelaskan dengan adanya tes insolvensi, kreditur tak bisa semena-mena mengajukan PKPU atau mempailitkan debitur. Sedangkan, dalam transaksi jual beli atau bisnis yang dilakukan oleh kreditur dan debitur, kedua belah pihak tidak mungkin menunjukkan laporan keuangan usahanya masing-masing. Sehingga, ketika menagih utang kepada debitur, kreditur tidak memiliki dasar laporan keuangannya.
Alhasil, tegas Jimmy, kreditur tidak bisa membuktikan apakah debitur dalam keadaan insolven atau tidak dalam persidangan kasus PKPU. Bahkan, di industri perbankan, insolven atau tidaknya suatu debitur sangat sulit dibuktikan.
Debitur yang menarik utang banyak ke bank, menurut Jimmy, belum tentu melampirkan laporan keuangannya yang rapi atau neraca yang bagus.
"Jadi, bagaimana mungkin tes insolven yang diusulkan para pelaku usaha bisa diterapkan dalam UU Kepailitan di Indonesia," papar Jimmy.
FOLLOW US
Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan