Biden menyebut Undang-Undang (UU) Paket Bantuan Covid-19 senilai USD1,9 triliun sebagai UU bersejarah dengan dukungan luar biasa dari orang Amerika. Biden mengatakan bahwa UU itu akan membantu membangun kembali tulang punggung perekonomian Amerika Serikat dan mengakselerasi pemulihan usai terhantam pandemi covid-19.
Undang-undang tersebut, yang dikenal sebagai American Rescue Plan Act of 2021, mencakup putaran baru bantuan langsung hingga USD1.400 untuk sebagian besar orang Amerika, USD350 miliar untuk pemerintah negara bagian dan lokal, serta pendanaan untuk memerangi pandemi secara langsung.
Ini juga memperpanjang tunjangan pengangguran federal mingguan USD300 tambahan hingga September. Paket bantuan yang diusulkan Joe Biden diharapkan bisa maksimal memulihkan perekonomian AS dan membantu mereka yang paling terdampak oleh pandemi covid-19.
Biden dan Menteri Keuangan Janet Yellen berpendapat tindakan berani diperlukan untuk mendukung pemulihan ekonomi dan menghindari luka berkepanjangan. Namun, beberapa ekonom telah memperingatkan paket bantuan baru mungkin terlalu besar, dan dapat membawa risiko, seperti memicu tekanan inflasi, dan merusak stabilitas keuangan global.
Disahkannya paket dengan jumlah fantastis itu diharapkan bisa membantu upaya pemerintah dan bank sentral AS dalam memulihkan perekonomian, termasuk meningkatkan kemampuan stimulus yang sudah diluncurkan sebelumnya. Tak hanya itu, paket tersebut turut memberikan sentimen positif, terutama berdampak langsung terhadap bursa Wall Street.
Usai diteken Biden, indeks Dow Jones Industrial Average naik sebanyak 188,57 poin atau 0,58 persen menjadi 32.485,59. Sedangkan indeks S&P 500 bertambah 40,53 poin, atau 1,04 persen menjadi 3.939,34. Indeks Komposit Nasdaq melonjak 329,84 poin atau 2,52 persen menjadi 13.398,67.
Sebanyak delapan dari 11 sektor utama S&P 500 berakhir di area hijau, dengan sektor teknologi naik sebanyak 2,12 persen, memimpin kenaikan. Sementara itu, sektor keuangan tergelincir sebanyak 0,28 persen, menjadi grup berkinerja terburuk.
Membaik
Disahkannya paket jumbo itu juga memberikan efek positif terhadap sentimen pelaku pasar terkait upaya pemulihan ekonomi. Membaiknya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat mulai terlihat dari terus naiknya imbal hasil obligasi AS. Menteri Keuangan AS Janet Yellen menekankan terus naiknya imbal hasil obligasi AS merupakan sinyal pemulihan ekonomi.
Namun, kenaikan imbal hasil obligasi memiliki efek negatif di tempat lain, misalnya, di bursa saham. Sedangkan emas dunia dan USD menikmati kenaikan tersebut. Sementara di Indonesia, kenaikan imbal hasil obligasi AS menjadi katalis negatif. Para investor saham di Tanah Air pun terus mencermati pergerakannya.
Terlepas dari itu, Mirae Asset Sekuritas Indonesia memandang para investor saham tidak perlu khawatir dengan terus melonjaknya imbal hasil obligasi Pemerintah AS bertenor 10 tahun. Selama bank sentral AS belum merespons dengan menaikkan suku bunga acuan maka efek lonjakan obligasi tersebut tak akan signifikan terhadap pasar saham.
Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia Martha Christina tak menampik imbal hasil obligasi Pemerintah AS beberapa pekan ini terus naik dan menjadi fokus utama para investor saham. Pasalnya, kenaikan imbal hasil tersebut memunculkan spekulasi apakah bank sentral AS melakukan tapering atau tidak.
Tapering adalah langkah pengurangan gradual bank sentral terhadap tindakan-tindakan yang diterapkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Tapering dilaksanakan ketika para pembuat kebijakan di bank sentral meyakini bahwa ekonomi sudah pulih dan tak lagi memerlukan stimulus.
Namun, Martha menekankan, selama bank sentral AS yakni Federal Reserve tidak menaikkan suku bunga acuan maka tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Ia memandang the Fed belum akan menaikkan suku bunga acuan karena target inflasi dua persen di AS belum tercapai dan masih ada perbaikan yang harus dilakukan pemerintah.
"Pemerintah AS sendiri masih memberikan stimulus tambahan. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi AS belum stabil atau belum sesuai seperti yang mereka inginkan. Jadi kita lihat tidak perlu khawatir berlebihan (dengan imbal hasil obligasi Pemerintah AS 10 tahun yang terus naik)," ucapnya.
Tekanan inflasi
Sebelumnya, Ketua Federal Reserve Jerome Powell memperkirakan beberapa tekanan inflasi bakal terjadi di waktu mendatang. Akan tetapi kemungkinan tidak akan cukup untuk memacu bank sentral Amerika Serikat untuk mulai menaikkan suku bunga acuan.
"Kami memperkirakan ketika ekonomi dibuka kembali dan mudah-mudahan meningkat, kami akan melihat inflasi bergerak naik melalui efek dasar. Itu bisa menciptakan tekanan ke atas pada harga," kata Powell.
Pasar saham bereaksi negatif terhadap komentar Powell, dengan saham merosot dan imbal hasil obligasi AS melonjak. Beberapa investor dan ekonom telah mencari petunjuk dari komentar Powell untuk mengatasi lonjakan imbal hasil obligasi AS baru-baru ini, dengan harapan ada penyesuaian program pembelian aset oleh the Fed.
The Fed saat ini membeli obligasi AS dan sekuritas berbasis mortgage sebesar USD120 miliar sebulan. Obrolan pasar baru-baru ini berputar di sekitar bank sentral AS yang berpotensi menerapkan versi baru 'Operation Twist', dengan menjual obligasi berjangka pendek dan membeli obligasi berjangka lebih panjang.
Menurut pejabat Fed, bank sentral AS masih jauh dari tindakan apapun untuk mencoba memengaruhi imbal hasil AS jangka panjang. Powell malah mengulangi pernyataan masa lalu yang dia buat tentang inflasi dengan mengatakan bahwa dia tidak mengharapkan kenaikan harga akan berlangsung lama atau cukup untuk mengubah Fed dari kebijakan moneter akomodatifnya.
Meski demikian, dia tak memungkiri kenaikan imbal hasil obligasi memang menarik perhatiannya, seperti halnya membaiknya kondisi ekonomi. "Ada alasan bagus untuk berpikir bahwa prospek menjadi lebih positif di margin," kata Powell.
The Fed menyukai inflasi sekitar dua persen, tingkat yang diyakini menandakan ekonomi sehat dan memberikan ruang untuk memangkas suku bunga acuan selama masa krisis. Namun, angka saat ini berada di bawah angka tersebut selama pandemi virus korona.
"Dengan ekonomi yang semakin bangkit, beberapa tekanan harga kemungkinan akan muncul," kata Powell.
Ia menambahkan menaikkan suku bunga acuan membutuhkan kondisi dengan ekonomi melihat tingkat lapangan kerja berada di kekuatan penuh dan inflasi mencapai tingkat yang berkelanjutan di atas dua persen. Tetapi, ia memperkirakan, hal itu belum akan terjadi di tahun ini.
"Ada banyak hal yang harus ditutupi sebelum kita membahasnya. Bahkan jika perekonomian AS melihat kenaikan sementara dalam inflasi tetapi saya berharap kita akan bersabar," tukasnya.
The Fed
Sementara itu, para pelaku pasar tengah menanti hasil keputusan dari pertemuan dua hari Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) oleh Federal Reserve. Bank sentral AS memulai pertemuan kebijakan moneter dua hari pada Selasa waktu setempat, diikuti oleh pernyataan dan pengarahan Ketua Jerome Powell pada Rabu waktu setempat.
Investor sangat ingin melihat perkiraan terbaru tentang prospek ekonomi AS dan panduan untuk suku bunga acuan. Selain itu, investor ingin mengetahui apakah the Fed akan mengambil sikap terkait terus melonjaknya imbal hasil obligasi AS atau tidak. Kesemuanya yang akhirnya membuat para investor melihat dan menunggu dalam berinvestasi.
Pedagang emas, misalnya, mengambil posisi, taruhan lindung nilai, dan menaikkan harga emas, karena pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal dimulai pada Selasa waktu setempat, dan akan ditutup pada Rabu waktu setempat dengan pernyataan kebijakan moneter. Tetapi analis pasar percaya investor tetap lebih peduli dengan lapangan kerja penuh daripada inflasi.
Memengaruhi SUN
Di Indonesia, langkah yang akan diambil the Fed dalam pertemuan dua harinya memberikan pengaruh terhadap minat Surat Utang Negara (SUN). Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat penawaran masuk di lelang SUN pada Selasa terbilang rendah. Hal itu disebabkan perilaku investor yang masih melihat dan menunggu dari kebijakan yang diambil the Fed.
Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kemenkeu Deni Ridwan mengatakan the Fed dalam rapat dewan kebijakan (FOMC) pada 16-17 Maret 2021 akan mengambil kebijakan terkait imbal hasil obligasi Pemerintah AS (UST).
"Rendahnya incoming bids tersebut sudah diprediksi mengingat adanya faktor eksternal yang membuat investor masih wait and see, yaitu kebijakan yang akan diambil oleh bank sentral AS dalam FOMC meeting," katanya.
Ia menambahkan fokus investor untuk lelang SUN kali ini berada di SUN seri benchmark dengan tenor 10 tahun yaitu FR0087 yang memperoleh penawaran hingga Rp12,9 triliun, dengan proporsi investor asing mencapai 22,5 persen.
"Untuk seri FR0087 tersebut dimenangkan sebesar Rp7,25 triliun dan merupakan seri terbesar yang dimenangkan pada lelang hari ini," katanya.
Menurut dia, minat investor asing masih cukup besar, yang terlihat dari keseluruhan penawaran masuk, dengan proporsi investor asing mencapai 18,2 persen atau meningkat dari lelang sebelumnya yang hanya sebesar 11,1 persen dari total bid.
Sebelumnya, pemerintah menyerap dana sebesar Rp18,9 triliun dari lelang tujuh seri Surat Utang Negara (SUN) di pasar perdana pada Selasa dengan penawaran masuk mencapai Rp40,08 triliun.
"Dari bids yang masuk pada lelang hari ini sebesar Rp40,1 triliun, pemerintah memenangkan sebesar Rp18,9 triliun dengan bid to cover ratio sebesar 2,12 kali, sebagai komitmen pemerintah untuk menjaga tingkat yield SUN yang wajar di pasar sekunder," kata Deni.
Penyerapan yang jauh dari target indikatif Rp30 triliun ini membuat pemerintah memutuskan untuk melakukan lelang SUN tambahan pada Rabu untuk lima seri SUN, yaitu FR0086, FR0087, FR0088, FR0083 dan FR0089, dengan target maksimal Rp11,1 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News