Ilustrasi. Foto: dok Kemenperin.
Ilustrasi. Foto: dok Kemenperin.

Berlimpah di Regulasi, Payah di Implementasi

M Ilham Ramadhan • 01 Juli 2024 17:41
PEMERINTAH dinilai terlambat dan salah mengambil langkah dalam menangani persoalan yang dihadapi industri pengolahan, utamanya tekstil dan produk tekstil (TPT) di dalam negeri. Alhasil, pengambil kebijakan justru tampak kalang kabut atas regulasi yang disusun.
 
Direktur Eksekutif Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Yose Rizal Damuri mengatakan industri TPT sejatinya sudah tertekan sejak medio 2022 selepas dari pandemi covid-19. Permintaan yang berasal dari luar negeri mengalami penurunan signifikan, imbas dari pelemahan ekonomi. Belum lagi produk barang jadi dari Tiongkok membanjiri pasar di Indonesia dengan harga murah setelah 'Negeri Tirai Bambu' memberlakukan zero covid policy.
 
Itu menjadi pukulan telak bagi industri TPT dalam negeri lantaran permintaan dalam negeri otomatis turut mengalami penurunan. Pemerintah merespons situasi tersebut dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

Permendag itu sendiri berulang kali direvisi lantaran menghambat geliat industri lainnya. Teranyar, pemerintah bakal kembali merevisi Permendag No 8/2024 yang merupakan perubahan ketiga dari Permendag No 36/2023. Kondisi itu dianggap menunjukkan pemerintah gagal melihat situasi dan salah langkah dalam menyelesaikan persoalan.
 
"Masalahnya, membuat aturan dan kebijakan baru itu sebenarnya tidak diperlukan karena masalahnya ada di implementasi, bukan permasalahan kebijakan," ujar Yose saat dihubungi, Sabtu, 29 Juni 2024.
 
Dia menilai peraturan mengenai impor sebelum adanya Permendag No 36/2023 sedianya telah cukup baik. Persoalan mendasarnya ialah implementasi aturan yang tidak berjalan dengan baik. Apalagi Permendag No 36/2023 itu disinyalir terbit untuk menangkal masuknya produk TPT ilegal seperti pakaian bekas.
 
Hal itu dinilainya salah alamat. Sebabnya, aktivitas ilegal tak akan terdampak oleh aturan yang berulang kali diutak-atik oleh pemerintah itu. Alih-alih terus mengubah ketentuan dan pusing sendiri menyusun kebijakan, pemerintah didorong memperkuat implementasi di lapangan.
 
 
Baca juga: Menperin Tekan Barang Impor, Asosiasi: Penguat Industri Dalam Negeri

 
"Pemerintah itu tampaknya tidak bisa menekan importasi bahan jadi atau produk jadi yang sifatnya ilegal. Barang thrifting, produk bekas, itu sangat menjatuhkan karena menekan permintaan produk jadi dari dalam negeri," kata Yose.
 
"Ini tidak bisa diatasi hanya dengan membuat aturan yang lebih ketat. Aturan yang ketat itu hanya berlaku kalau memang impornya legal. Permasalahannya, ini impornya ilegal. Ilegal itu tidak peduli dengan aturan," lanjutnya.
 
Permendag No 36/2023 juga dinilai justru menyusahkan industri secara keseluruhan karena sulitnya industri mengimpor bahan baku. Sementara itu, impor legal terhambat, impor ilegal tetap marak meski aturan dikeluarkan. Hal tersebut menjadi kontraproduktif dan jauh dari mendukung geliat industri pengolahan.
 
"Itu karena pemerintah cuma berpikir regulasi adalah solusi dari permasalahan. Padahal permasalahannya adalah implementasi, bukan di kebijakan. Jadi, kalau dianggap perubahan kebijakan akan memperbaiki permasalahan, itu salah," tutur Yose.
 
Beban yang muncul akibat salah langkah pemerintah itu, sambungnya, kian menyulitkan industri. Padahal tekanan bertubi-tubi menghampiri sektor padat karya itu sebelum adanya intervensi kebijakan impor dari pemerintah.
 
Dari sisi biaya produksi, misalnya, industri pengolahan pada umumnya telah menghadapi tantangan. Persoalan upah, kesulitan mendapatkan bahan baku, hingga biaya energi yang makin mahal.
 
"Kita ini listrik yang disubsidi adalah listrik konsumsi, sementara listrik untuk industri ditaruh di atas harga beban pokok dari produksi listrik. Padahal harusnya yang disubsidi itu listrik untuk industri," kata Yose.
 

Akibat kesepakatan ACFTA


Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad merunut lebih jauh lagi dari cikal-bakal permasalahan bagi industri pengolahan, termasuk TPT di dalam negeri. Menurutnya, hal itu bermula ketika Indonesia membuka akses perdagangan bebas besar-besaran pada 2005 melalui ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA).
 
Momen itu dinilainya menjadi awal keterpurukan industri TPT di dalam negeri. Pasalnya, produk-produk TPT dari Tiongkok masuk dengan mudah ke Indonesia sehingga membuat produk dalam negeri tak mampu bersaing dari segi harga dan kualitas.
 
"Dulu kita melarang impor barang setengah jadi dan barang jadi. Lama-kelamaan, itu ternyata akhirnya terjadi di kita, barang setengah jadi dan barang jadi banyak masuk. Mudah kita temui di Tanah Abang dan e-commerce dengan harga yang relatif murah," kata Tauhid.
 
Lantaran kadung disepakati dan berjalan hampir 20 tahun, dia menilai tak ada banyak cara yang dapat dilakukan pemerintah selain memperkuat implementasi dari peraturan yang ada terkait dengan impor. Implementasi dari kebijakan tarif dan nontarif mesti konsisten dan diperkuat untuk meringankan beban industri TPT dalam negeri.
 
Tauhid menilai kebijakan tarif yang dimiliki Indonesia sedianya relatif ideal dan mampu menahan laju impor yang dapat merugikan industri TPT di Tanah Air. Karenanya, dia mendorong ada penguatan implementasi dan penajaman kebijakan nontarif untuk memberikan perlindungan ganda bagi industri TPT di dalam negeri.
 
"Di WTO itu disebut dengan technical barrier to trade (TBT) agreement. Itu diperbolehkan oleh WTO dan itu butuh kesiapan infrastruktur dan SDM yang banyak. Jadi, bukan hanya regulasi, tapi sisi implementasi," terang Tauhid.
 
 
Baca juga: Relaksasi Jadi Karpet Merah untuk Produk Impor, Industri Dalam Negeri Dirugikan
 

Perkuat nontarif


Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja berharap pemerintah bisa memperkuat regulasi nontarif. Itu dinilai penting untuk mengimbangi kebijakan tarif yang telah diberlakukan dan akan diperpanjang oleh pemerintah.
 
Kebijakan tarif yang telah diberlakukan ialah bea masuk antidumping (BMAD) dan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP). Hanya, kata Jemmy, keduanya bersifat mendukung dalam jangka waktu pendek. Sementara itu, yang dibutuhkan ialah kebijakan pendukung yang bersifat jangka panjang.
 
"Poin yang paling dibutuhkan itu adalah kebijakan yang mendukung industri dan bersifat long term, bukan short term. BMAD BMTP itu mungkin bisa dibilang short term dalam bentuk tarif barier," kata dia.
 
"Ada kebijakan lain yang sifatnya nontarif barier, seperti PI (perizinan impor) lartas (larangan terbatas) dan pertek (pertimbangan teknis). Itu bagian dari nontarif barier. Kita berharap kebijakan nontarif ini bisa lebih kuat lagi," tambah Jemmy.
 
Dia juga berharap pemerintah melibatkan pelaku industri TPT, baik di hulu maupun hilir, dalam proses perevisian aturan yang sedang dilakukan. Itu dimaksudkan agar pemerintah bisa mendapatkan pandangan langsung dari pelaku usaha di sektor terkait sehingga peraturan yang dikeluarkan dapat produktif dan mendukung aktivitas usaha.
 
Jemmy mengatakan prospek industri TPT saat ini sepenuhnya berada di tangan pemerintah sebab kebijakan pemerintah itu bakal menentukan tumbuh atau tumbangnya industri TPT di dalam negeri ke depan.
 
"Kita sebagai pelaku industri, baik di hulu mauoun hilir, berharap bisa dilibatkan sehingga kebijakan yang keluar itu benar-benar bisa menjaga ekosistem TPT yang baik karena ini sangat dibutuhkan untuk menjaga keutuhan industri TPT nasional," tuturnya.
 
"Kita harapkan kebijakan selanjutnya proindustri, kita berikan kesempatan juga buat pemerintah untuk menepati janjinya. Baik atau buruknya tergantung dari kebijakan. Kita belum bisa menerawang (prospek) dan itu terlalu dini karena kebijakan yang kita nantikan belum ada," ujar Jemmy.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan