Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Fahmi Wibawa mengatakan, lewat kebijakan ini Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Mendag Zulkifli Hasan ibaratnya menggelar karpet merah untuk masuknya produk impor barang jadi untuk masuk ke Indonesia.
Ia khawatir industri dalam negeri akan semakin tersungkur karena membanjirnya produk jadi di pasar dalam negeri. Apalagi dampak ikutan dari relaksasi impor ini akan meningkatkan nilai impor dan memberikan dampak buruk terhadap nilai tukar rupiah yang terus merosot jatuh dalam waktu yang singkat.
“Kalau kita baca keseluruhan Permendag No. 8/2024, sepertinya memang ibarat menggelar karpet merah buat importir produk-produk jadi. Betapa tidak, terdapat tujuh substansi dalam Permendag No. 8/2024, enam diantaranya secara eksplisit menyiratkan relaksasi impor,” ujar Fahmi dilansir, Selasa, 25 Juni 2024.
Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menyebut, keluarnya aturan tersebut untuk membuka keran impor lebih besar yang di sisi lain akan sangat merugikan industri dalam negeri. Ia pun mengingatkan relaksasi impor ini segera dihentikan agar tidak merugikan.
“Permendag No. 8/2024 sebaiknya kembali direvisi dengan mengikutsertakan asosiasi-asosiasi industri dan kamar dagang, supaya duduk bersama guna mengetahui secara detail aspirasi dari kedua belah pihak. Karena jika kebijakan impor ini terelaksasi sangat luas, efek domino yang terjadi bukan main bahayanya,” kata Fahmi.
Baca juga: Ketimbang Dipuji Asing, Pemerintah Sebaiknya Utamakan Daya Saing Industri Lokal |
Fahmi juga menyoroti dalam surat apresiasi dari perwakilan kamar dagang asing yang menyatakan bahwa aturan yang merupakan relaksasi impor tersebut akan mendorong terciptanya lingkungan bisnis lebih kondusif. Bahkan kamar dagang asing ini menegaskan komitmen Indonesia dalam memfasilitasi perdagangan internasional.
Menurutnya, Menko Airlangga dan Mendag Zulkifli semestinya berperan sebagai penyeimbang. Terlebih World Trade Organization (WTO) menegaskan, negara (anggota) dapat mengambil tindakan pengamanan (safeguard) untuk melindungi industri domestik dari dampak negatif perdagangan bebas.
“Artinya dukungan terhadap perdagangan internasional tidak harus dengan membuka pintu tanpa menyaring dengan bijak. Jika pemerintah terkesan lebih mendukung produk impor, maka rencana TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) yang dari dulu digadang-gadangkan pemerintah pun menjadi sia-sia,” ungkapnya.
Fahmi juga menyoroti perwakilan kamar dagang asing yang masih meminta pemerintah Indonesia untuk merelaksasi izin impor lebih luas lagi dari yang sudah dilakukan melalui Permendag No. 8 /2024. Menurutnya pemerintah sebaiknya tidak melakukan relaksasi impor lebih jauh lagi demi melindungi industri dalam negeri.
“Bila permintaan itu dipenuhi, dikhawatirkan akan mengganggu industri tekstil dalam negeri yang sudah memberikan kontribusi ke PDB sebesar 1,05 persen dan industri barang logam sebesar 1,57 persen. Akan banyak pelaku industri yang gulung tikar, dengan konsekuensi pengangguran akan semakin besar,” ujar Fahmi.
Lebih lanjut Fahmi menjelaskan bahwa relaksasi impor yang berlebihan ini akan menghantam industri dalam negeri. Jika tidak diimbangi dengan regulasi yang saling menguntungkan dan menyeimbangkan, hal ini akan membahayakan iklim bisnis industri dalam negeri karena kalah bersaing baik dari produksi maupun harga.
“Jika pemerintah tidak bersikap imbang dengan mendukung industri manufaktur, dikhawatirkan badai manufaktur akan terjadi dalam waktu singkat di Indonesia. Perlu diketahui, tidak ada negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik dari tingginya impor di negara tersebut,” kata Fahmi.
Fahmi juga mengingatkan pemerintah akan kekecewaan beberapa asosiasi industri yang menyuarakan bahwa setelah aturan Permendag No. 8/2024 dijalankan, mereka mulai kehilangan kontrak dalam negeri. Sebab pelanggannya lebih memilih untuk melakukan impor dibandingkan produksi dalam negeri.
“Produk impor nyatanya mampu menawarkan harga yang lebih murah dengan kualitas yang sama atau mungkin lebih baik dari produk dalam negeri. Bila ini terus berlanjut, industri manufaktur dalam negeri akan berjatuhan dan pengangguran tenaga terampil industri akan meningkat,” tutup Fahmi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News