Namun, angka inflasi itu tak serta-merta menunjukkan stabilitas menyeluruh di lapangan. Tingkat inflasi itu bahkan terbilang tinggi, mengingat di tahun sebelumnya pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang berdampak pada peningkatan harga barang-barang lainnya.
Belum lagi gejolak harga pangan yang terjadi sepanjang 2023 turut menambah beban masyarakat kelompok menengah bawah. Peningkatan biaya hidup selepas pandemi covid-19 juga makin terasa lantaran pendapatan masyarakat golongan itu belum mampu mengimbangi pengeluaran.
"Inflasi memang cukup rendah, sekitar 2,5 persen, tetapi ini kan inflasi ketika harga-harga sudah tinggi. Inflasi itu bukan artinya harga-harga jadi rendah, melainkan kenaikan harganya lebih rendah dari sebelumnya, tetapi kita tahu harga ini sebelumnya sudah tinggi," ujar Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri saat dihubungi, Jumat, 5 Januari 2024.
"Sebesar 2,5 persen dari harga yang tinggi, baseline yang tinggi, itu artinya kenaikan yang tinggi juga. Jadi harga-harga ini sudah tinggi. Sementara itu, income dari masyarakat ini memang mengalami permasalahan," sambungnya.
Akibatnya, belakangan ini muncul fenomena dissavings (makan tabungan) di kelompok masyarakat menengah bawah. Itu mempertegas beban yang dihadapi mayoritas penduduk di Tanah Air kian berat. Dengan kata lain, daya beli masyarakat berpotensi terancam dan pelemahan konsumsi mulai terjadi.
Padahal, konsumsi rumah tangga masih menjadi sumber pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Dus, lesunya konsumsi masyarakat dapat berimbas signifikan pada laju pertumbuhan ekonomi di tahun ini.
"Dengan masih besarnya porsi tenaga kerja di sektor informal, mereka tidak mampu mempunyai income yang mencukupi dan pasti. Kita sudah melihat juga sebenarnya purchasing power masyarakat itu mengalami pelemahan. Ini tentunya merupakan indikasi kalau dibiarkan, masyarakat itu akan banyak yang jatuh ke dalam kemiskinan," tutur Yose.
Dorongan bagi pemerintah untuk menaruh fokus kepada kelas menengah telah banyak diserukan berbagai pihak. Menteri Keuangan periode 2013-2014 Muhamad Chatib Basri, misalnya, mewanti-wanti agar pengambil kebijakan mewaspadai gejala pelemahan daya beli kelas menengah.
Jangan sampai pemerintah menutup mata dan membiarkan situasi tersebut berlarut. Dikhawatirkan, The Chilean Paradox yang terjadi di Cile dapat terjadi di Indonesia. Pada 2019, nyaris terjadi revolusi di negara dengan pertumbuhan terbaik di Amerika Latin itu.
"Jadi, ini semakin besar middle class kita, 10 atau 15 tahun ke depan, perlu dipikirkan lagi instrumennya apa. Tidak bisa lagi cash transfer. Mereka akan butuh lebih pada kualitas pendidikan yang baik, sarana transportasi yang lebih baik. Ini yang akan menjadi isu political economy ke depan," terang Chatib, beberapa waktu lalu.
Baca juga: Fenomena Makan Tabungan di Kelas Menengah Semakin Marak, Apa Itu? |
Berikan dukungan
Kepala Organisasi Riset Tata Kelola, Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Agus Eko Nugroho mengatakan fenomena makan tabungan itu harus menjadi perhatian lantaran berpotensi menurunkan optimisme kelas menengah.
Kelas menengah, lanjutnya, perlu mendapatkan dukungan dari pemerintah. Stimulus fiskal dan peningkatan pelayanan menjadi hal yang paling relevan untuk membantu masyarakat kelompok menengah yang sejauh ini tampak dianaktirikan dari dukungan kebijakan.
Agus mengatakan, insentif atau stimulus yang spesifik ditujukan untuk mendorong peningkatan daya beli dan potensi akumulasi tabungan bagi kelas menengah menjadi hal penting. Setidaknya ada tiga kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah.
Pertama, insentif pajak penghasilan untuk pendidikan dan kesehatan. Kedua, insentif dan kemudahan akses KPR, khususnya first-home buyer dan insentif pembiayaan renovasi rumah layak. Ketiga, kemudahan untuk pembiayaan atau akses pada pension fund, terutama untuk pekerja mandiri dan kontrak.
Ketidakstabilan ekonomi dan stagnasi pertumbuhan ekonomi di angka sekitar 4-5 persen dan kontraksi perekonomian akibat pandemi covid-19 memberikan tekanan pada penurunan daya beli kelompok ini.
"Dengan situasi seperti ini, kelas menengah kita akan sulit mendapatkan akumulasi tabungan karena akan tertekan oleh kebutuhan konsumsi sekunder dan tersier, di samping pengeluaran untuk cicilan pokok dan bunga pinjaman, seperti KPR dan kredit konsumsi lainnya," jelas Agus.
Wakil Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) I Dewa Gede Karma Wisana mengatakan fenomena dissavings akan menjadi potensi masalah yang serius jika tak direspons dengan baik oleh pemerintah.
Hal yang paling mungkin dan dapat segera dilakukan pemerintah ialah dari sisi kebijakan perpajakan. Jika fenomena makan tabungan juga diikuti dengan penurunan pendapatan, ada potensi resistansi pembayaran pajak dari kelompok masyarakat tersebut.
"Penting untuk melakukan advokasi dan pelayanan pajak yang simpatik agar tidak kehilangan potensi penerimaan. Hanya dengan penerimaan pajak yang baik, pemerintah kemudian bisa membuat kebijakan-kebijakan fiskal yang sifatnya 'transfer' untuk meredam penurunan pendapatan tersebut," kata Dewa.
Baca juga: Menjaga Imun Ekonomi Kelompok Rentan |
Timpang pendapatan
Sedianya, kelas menengah juga mendominasi pasar tenaga kerja di Tanah Air. Sayangnya, banyak dari mereka merupakan pekerja informal ataupun kontrak yang rentan terhadap perubahan di dalam perekonomian. Perhatian kebijakan semestinya disasar pada segmen tersebut.
Di tengah tekanan biaya hidup yang terus meningkat, masyarakat kelas menengah kian muram. Itu disebabkan pendapatan yang diterima sedianya sebatas upah minimum, tak sedikit pula yang justru memperoleh di bawah batas minimum.
Kenaikan upah pekerja swasta secara rerata hanya tiga persen tahun ini. Jauh di bawah ketetapan penaikan upah aparatur sipil negara (ASN) yang mencapai delapan persen. Realitas itu dinilai diskriminatif dan melukai hati rakyat.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat mengatakan pemerintah secara terang-terangan telah mendiskriminasi pekerja ataupun buruh di Tanah Air. "Itu menyakiti hati rakyat, terutama pekerja buruh. Jadi, rasa dianaktirikan, dibedakan, itu terlihat sekali," kata dia.
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Edy Wuryanto juga menilai gelagat pemerintah terhadap pekerja ataupun buruh swasta menunjukkan ketidakadilan.
Karenanya, menurut dia, pemerintah perlu untuk menopang daya beli pekerja ataupun buruh swasta. Itu dapat dilakukan dengan menyubsidi harga-harga kebutuhan dasar yang saat ini mencekik bagi kelompok tersebut.
"Yang diberikan subsidi adalah pekerja dengan upah sebatas upah minimum hingga 30 persen di atas upah minimum. Bila ini diberikan APBN atau APBD, ada keseimbangan penaikan upah ASN dan swasta," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id