Ilustrasi tabungan. Foto : MI.
Ilustrasi tabungan. Foto : MI.

Fenomena Makan Tabungan di Kelas Menengah Semakin Marak, Apa Itu?

Antara • 27 Desember 2023 17:45
Jakarta: Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai fenomena "makan tabungan" di masyarakat sedang marak. Hal ini utamanya dipengaruhi oleh pengeluaran yang tak sebanding dengan pendapatan di kalangan masyarakat kelas menengah.
 
Mengacu dari beberapa indikator, Faisal membenarkan akhir-akhir ini memang ada kecenderungan masyarakat untuk menggunakan tabungannya guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.
 
baca juga:  7 Cara Mudah Mengelola Keuangan

"Kalau saya melihat dari beberapa indikator, memang ada indikasi yang cukup kuat kalangan menengah ini sudah sedemikian rupa spending-nya sehingga harus menggunakan tabungan mereka, baik untuk konsumsi maupun bayar cicilan,” kata Faisal, dilansir Antara, Rabu, 27 Desember 2023.
 
Fenomena makan tabungan yang saat ini ramai diperbincangkan merupakan suatu keadaan saat masyarakat berbelanja melebihi dari pendapatan yang diterimanya, sehingga terpaksa untuk menggunakan tabungannya.

Biaya hidup naik

Faisal menjelaskan, faktor utama yang memengaruhi fenomena tersebut, yaitu meningkatnya biaya hidup, termasuk harga barang yang kian melonjak tidak sebanding dengan pertumbuhan pendapatan masyarakat kelas menengah.

Tekanan yang dihadapi masyarakat kelas menengah juga tercermin dari indikator penduduk berdasarkan golongan pendapatan. Apabila mengacu pada indikator pembagian penduduk menjadi lima kuintil, Faisal menjelaskan saat ini tingkat pertumbuhan pengeluaran paling rendah ada di kuintil empat yang justru merupakan masyarakat dengan tingkat pendapatan menengah, disusul dengan kuintil 3, 2, dan 1.
 
“Paling rendah itu kuintil empat pertumbuhan spending-nya, disusul kuintil 3, 2, 1. Kuintil satu itu adalah yang paling rendah pendapatannya. Jadi golongan menengah ini pertumbuhan spending-nya lebih rendah daripada golongan bawah. Tapi yang paling tinggi spending-nya tentu saja adalah yang kuintil lima, itu yang paling kaya,” kata Faisal.
 
Hal itu juga diikuti dengan melambatnya tingkat tabungan di kalangan masyarakat kelas menengah.
 
"Kalau kelas bawah kan umumnya dari dulu susah nabung, tapi kalau kalangan menengah semestinya sebagian income mereka masih bisa ditabung. Kalau semakin kecil tabungannya berarti kalangan menengah semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya," ujar dia.

Penurunan simpanan

Berdasarkan survei konsumen oleh Bank Indonesia (BI), rata-rata proporsi pendapatan konsumen yang disimpan (saving to income ratio) mengalami penurunan dari 15,7 persen pada Oktober 2023 menjadi 15,4 persen pada November 2023.
 
Kemudian, proporsi pendapatan konsumen untuk konsumsi (average propensity to consume ratio) juga turut mengalami penurunan dari 75,6 persen pada Oktober 2023 menjadi 75,3 persen pada November 2023.
 
Hal tersebut berbanding terbalik dengan proporsi pembayaran cicilan atau utang (debt to income ratio) yang mengalami peningkatan menjadi 9,3 persen pada November 2023, dibandingkan Oktober 2023 sebesar 8,8 persen.
 
"Jadi yang disampaikan dari survei BI itu adalah proporsi tabungan dan juga pembayaran cicilan kredit terhadap total income, yang mana untuk tabungan semakin kecil proporsinya, sementara yang konsumsi semakin besar dan juga cicilan relatif stabil," kata Faisal.

Pertumbuhan DPK melambat

Adapun dari sisi dana pihak ketiga (DPK) perbankan, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengamini memang terjadi perlambatan pertumbuhan DPK pada November 2023 yang tercatat sebesar 3,04 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
 
“DPK itu bukan melemah, tapi pertumbuhannya tahun ini sampai Desember lebih kecil daripada periode yang sama tahun lalu, bukannya melemah. Kalau melemah itu negatif, ini tidak negatif jadi tumbuh. Tapi lebih rendah dibandingkan tahun lalu,” kata Mahendra.
 
Tercatat DPK perbankan pada November 2023 sebesar 3,04 persen yoy, mengalami perlambatan dibandingkan periode yang sama pada 2022 yang tercatat sebesar 6,61 persen.
 
Ia menilai tingkat pertumbuhan DPK direntang tiga persen tahun ini merupakan hal yang normal. Jika ingin dibandingkan, menurutnya lagi, perlu membandingkan pertumbuhan DPK pada masa pra pandemi. Oleh karena itu, ia menyimpulkan perlambatan pertumbuhan DPK tahun ini merupakan hal yang tak perlu dikhawatirkan.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SAW)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan