Ilustrasi. Foto: dok MI.
Ilustrasi. Foto: dok MI.

Kiri-Kanan Tolak Perppu Cipta Kerja

Fetry Wuryasti • 09 Januari 2023 10:52
TERBITNYA Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menuai perdebatan. Salah satunya pada substansi klaster ketenagakerjaan. Suara-suara protes pun muncul dari Partai buruh dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Mereka mempersoalkan perubahan beberapa poin, terutama terkait dengan pengupahan dan pekerja alih daya (outsourcing).
 
Menurut mereka, perubahan perihal formula penghitungan upah minimun dan pekerjaan alih daya dari yang tertulis di UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja berpotensi mengganggu iklim investasi.
 
Pada UU Cipta Kerja, formula penghitungan upah minimum hanya mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Adapun di Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, formulanya berupa akumulasi dari pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Apindo menilai formula itu akan memberatkan dunia usaha.

Terkait dengan upah minimum, Ketua Umum Apindo Hariyadi B Sukamdani berharap pemerintah menimbang dengan cermat kemampuan perusahaan, secara khusus usaha padat karya, juga kondisi angkatan kerja yang masih didominasi lulusan sekolah menengah ke bawah.
 
"Kami khawatir semakin banyak investasi padat modal yang masuk, bukan padat karya," kata Hariyadi dalam paparan menanggapi Perppu No 2/ 2022 tentang Cipta Kerja, Selasa, 3 Januari 2023.
 
Dia menyangsikan tujuan perubahan variabel tersebut bisa mendorong daya beli masyarakat. Dari beberapa studi yang dipelajari mencontoh dari histori pengupahan di Jepang dengan variabel yang menggabungkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, data menunjukkan tidak adanya korelasi antara peningkatan upah minimum terhadap PDB maupun produktivitas.
 
Inflasi tidak bisa selalu dijadikan patokan akan kenaikan UMR karena tingkat inflasi di tiap-tiap provinsi berbeda-beda. Dengan formula pengupahan terbaru yang memasukkan faktor inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu, artinya berapa pun inflasi yang terjadi di satu provinsi, angka itu yang akan menjadi kenaikan minimal dari upah minimum.
 
Pada 2022, data inflasi year-on-year di September 2002 menunjukkan rentang inflasi di Indonesia tercatat dari 4,5 persen di Maluku Utara hingga tertinggi di Sumatra Barat 8,5 persen. Artinya, seperti di Sumatra Barat, apabila nanti inflasi menjadi faktor kenaikan UMP, artinya kenaikan UMP di Sumatra Barat sebesar minimal 8,5 persen.
 
Upah minimum sesuai dengan peraturan di Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya berlaku untuk pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun pada perusahaan yang bersangkutan sebagai jaring pengaman sosial. Sedangkan, menurut Apindo, belum tentu segenap komponen dari pekerja kurang dari setahun terdaftar di inflasi. Lalu ketika upah sebesar inflasi, belum pasti bisa mengejar produktivitas sebesar persentase inflasi.
 
Diharapkan nanti PP turunan Perppu No 2/2022 bisa mendorong upah-upah di daerah yang tertinggal dari tingkat upah yang seharusnya diberikan dan menahan laju upah-upah di daerah yang naiknya sudah tidak terkendali, juga tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akademis.
 
"Maka, Apindo menekankan agar jangan sampai pemerintah hanya menggebu-gebu fokus di area upah minimum untuk mendorong hal-hal yang dianggap daya beli dan sebagainya. Sebab, sesungguhnya ketika yang didorong adalah upah minimum yang tinggi, dengan variabel apa pun yang dibuat, jangan sampai nanti akhirnya menjadi kontraproduktif terhadap hal-hal yang seharusnya menjadi fokus dari Indonesia," kata anggota Komite Regulasi dan Kelembagaan Apindo, Susanto Haryono.
 
Baca juga: Menkopolhukam: Perppu Ciptaker untuk Hadapi Ramalan Resesi 2023

Kemudian, pada pengaturan pekerja alih daya (outsourcing) terjadi perubahan di dalam Perppu No 2/2022, yakni kini pemerintah menetapkan alih daya hanya untuk pekerjaan tertentu. Apindo khawatir aturan itu akan kembali seperti UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Pembelaan Apindo, pembatasan alih daya berpotensi menghambat tujuan ekosistem ekonomi yang sehat dan fleksibel untuk menarik investor.
 
"Pada UU Cipta Kerja, alih daya tidak dibatasi sebab alih daya berperan penting menciptakan lapangan kerja. Perlu dicatat bahwa alih daya bukan untuk pekerja murah, tetapi untuk mencari pekerja terampil dan membuat kinerja perusahaan lebih efisien," alasan Susanto.
 
Menurut dia, pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan tidak lagi relevan di tengah kemunculan pekerjaan baru pada era 4.0 dan lonjakan kebutuhan pekerja terampil. Apindo meminta agar peraturan turunan Perppu No 2/2022 jangan sampai bertentangan dengan kondisi dunia yang sudah memasuki era 4.0.

Sikap partai buruh

Suara terkait pengupahan juga muncul dari kelompok buruh. Partai Buruh menyoroti sejumlah pasal di dalam Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang dinilai belum berpihak pada kepentingan buruh. Khusus di klaster ketenagakerjaan, ada sembilan isu yang mereka sorot, yaitu tentang pengaturan upah minimum, outsourcing, buruh kontrak, PHK, pesangon, waktu kerja, istirahat atau cuti, sanksi, hingga tenaga kerja asing.
 
Terkait dengan pengaturan mengenai upah minimum, Presiden Partai Buruh Said Iqbal melihat ada empat persoalan. Pertama, di dalam UU Cipta Kerja terdapat pasal yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan kenaikan upah minimum kabupaten/kota (UMK). Sementara di dalam perppu, pasal itu tidak diubah, artinya masih sama dengan sebelumnya.
 
"Dengan menggunakan kata 'dapat', maka artinya UMK bisa ditetapkan dan bisa juga tidak. Kami meminta kata 'dapat' dihapuskan sehingga bunyinya di dalam perppu menjadi gubernur menetapkan upah minimum kabupaten/kota," kata Said.
 
Kedua, perihal pasal yang mengatur formula kenaikan upah minimum. Partai Buruh melihat, di dalam perppu, formula kenaikan upah minimum menjadi semakin tidak jelas sebab kenaikan upah minimum berdasarkan inflansi, pertumbuhan ekonomi, dan variabel indeks tertentu. Said mengatakan indeks tertentu ini tidak jelas.
 
"Seharusnya cukup berbunyi 'kenaikan upah minimum didasarkan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi'. Tidak perlu indeks tertentu," kata Said.
 
Permasalahan ketiga ialah adanya pasal baru yang mengatur dalam keadaan ekonomi dan ketenagakerjaan tertentu, formula kenaikan upah minimum bisa berubah.
 
"Pasal ini semakin membingungkan karena bertentangan dengan pasal sebelumnya yang mengatur fomula kenaikan upah minimum berdasarkan inflansi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu," kata Said.
 
Baca juga: Segenting Apa Sih Penerbitan Perppu Cipta Kerja? Ini Jawaban Kemnaker

Dia menduga maksud pasal tersebut ialah bagi perusahaan yang tidak mampu menaikkan upah dalam keadaan krisis ekonomi, dibolehkan untuk tidak menaikkan upah minimum. Oleh karena itu, formulanya akan diubah. Tetapi harus disadari, dalam keadaan krisis pun masih ada juga perusahaan yang mampu membayar kenaikan upah minimum.
 
"Seharusnya bukan formulanya yang diubah, tetapi ada kebijakan, bagi perusahaan yang benar-benar tidak mampu, bisa mengajukan penangguhan dengan disertai bukti tertulis dalam kondisi merugi dua tahun berturut-turut," kata Said.
 
Adapun poin keempat dalam upah minimum ialah dihapusnya upah minimum sektoral. Partai Buruh tidak setuju upah minimum sektoral dihapus dan meminta tetap diberlakukan.
 
Sementara itu, terkait dengan outsourcing, di dalam UU Cipta Kerja dibebaskan di semua jenis pekerjaan. Di dalam Perppu No 2/2022, tampaknya pembuat perppu ingin mengubah ketentuan tersebut, tetapi menjadi semakin membingungkan.
 
Disebutkan, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksaaan pekerjaan kepada perusahaan alih daya. Artinya outsourcing tetap diperbolehkan dalam perppu, dengan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaaan alih daya akan ditentukan oleh pemerintah, tetapi tidak jelas pembatasannya berapa jenis pekerjaan.
 
"Partai Buruh menilai pasal outsourcing harus kembali ke UU No 13 Tahun 2003. Ada kegiatan pokok dan penunjang, di mana yang boleh menggunakan outsourcing hanya di pekerjaan penunjang. Itu pun hanya dibatasi untuk lima jenis pekerjaan. Katering, sekuriti, driver, cleaning service, dan penunjang perminyakan," ujarnya.

Aspirasi publik

Kementerian Ketenagakerjaan menjawab sejumlah kerisauan terkait klaster ketenagakerjaan di Perppu Nomor 2 Tahun 2022. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industri dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker, Indah Anggoro Putri, dalam konferensi pers Jumat, 7 Januari 2023 mengatakan perppu tersebut telah melalui tahap serap aspirasi publik dengan pelaku usaha, buruh atau pekerja, pemerintah daerah, dan banyak pihak lainnya.
 
Dia memaklumi bila beberapa pihak keberatan dengan penerbitan perppu ini. Ia mengatakan pihak-pihak tersebut bisa bersama pemerintah mencari win-win solution.
 
Urgensi penerbitan Perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja, lanjutnya, ialah sebagai respons dari perkembangan dinamika ketenagakerjaan dan sebagai penguatan ekonomi nasional di tengah dinamika ketidakpastian global. Tujuannya meningkatkan lapangan kerja, menyerap tenaga kerja seluas-luasnya, dan warga negara mendapat keadilan dalam hubungan kerja.
 
"Perppu ini harus dipahami secara utuh. Untuk substansi ketenagakerjaan ada dalam bab 4. Dengan terbitnya ini maka Perppu Cipta Kerja menghapus ketentuan yang diatur dalam 4 UU terkait ketenagakerjaan, yakni UU 13/2003, UU 40/2004, UU 24/2011, dan UU 18/2017. Sedangkan pasal-pasal yang ada dalam UU itu, sepanjang tidak diubah dan dihapus dalam Undang-Undang Cipta Kerja, maka pasal itu tetap berlaku," kata Indah.
 
Mengenai perubahan beberapa poin dalam klaster ketenagakerjaan dalam Perppu 2/2022, dia menjelaskan Pasal 64 UU Cipta Kerja tidak mengatur pembatasan ketenagakerjaan alih daya atau outsourcing, sedangkan Perppu Cipta Kerja mengatur pembatasan alih daya hanya dilakukan oleh sebagian pelaksanaan pekerjaan.
 
"Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan, akan kami ubah. Di UU Cipta Kerja, ini tidak dibahas sehingga efeknya luas. Alasannya untuk memberikan peluang bagi pekerja sebagai pekerja tetap sehingga ada kepastian. Kalau terlalu dibuka seperti di dalam UU Cipta Kerja maka perusahaan akan terus outsourcing saja. Jadi kami batasi agar ada kesempatan menjadi pekerja tetap. Akan kami atur dalam revisi PP 35/2021," kata Indah.
 
Di sisi lain, pembatasan alih daya juga tidak mengurangi perusahaan mengembangkan usahanya, juga akan menjamin kelangsungan bekerja dan berusaha.
 
Selanjutnya terkait upah minimum. Penetapan upah minimum melalui Permenaker 18/2022 diterapkan di 2023. Ini merespons variabel pengupahan di UU Cipta Kerja yang sebelumnya tidak dicantumkan. Maka dalam Perppu No 2 Tahun 2022, kata Indah, pemerintah menyerap aspirasi publik perihal perbaikan formula upah minimum.
 
Sampai saat ini, tambah Indah, pihaknya tengah menyelesaikan revisi PP 35/2021 dan PP 36/2021. Proses itu juga dia katakan akan melibatkan pelaku usaha dan buruh untuk mengakomodasi kebutuhan dari semua pihak. (Media Indonesia)
 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id


 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan