Tapering off adalah pengurangan stimulus moneter yang dikeluarkan bank sentral saat perekonomian sedang terancam dan membutuhkan banyak suntikan dana likuiditas. Hal ini dilakukan The Fed dengan mengurangi ukuran program pembelian obligasi yang dikenal sebagai pelonggaran kuantitatif (Quantitative Easing/QE).
Pada umumnya, indikator pengukur kapan tapering off dilaksanakan adalah ketika inflasi mengalami keseimbangan, tingkat pengangguran menuju normal, hingga pemulihan tingkat kredit atau pinjaman yang menandakan ekonomi mulai aktif kembali.
Di Agustus 2021 kemarin, The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di kisaran 0-0,25 persen dalam rapat Federal Open Market Committee. Namun, Ketua The Fed Jerome Powell sudah mengisyaratkan mulai mempertimbangkan untuk melakukan tapering off atau pengurangan stimulus besar–besaran di tahun ini.
Meskipun demikian, Powell juga memperingatkan bahwa mulainya tapering pembelian aset tidak dapat diinterpretasikan sebagai sinyal segera menyusulnya kenaikan suku bunga. Awalnya para pengamat ekonomi AS memperkirakan kebijakan tapering off kemungkinan terjadi paling cepat pada 21-22 September.

Ketua Federal Reserve AS Jerome Powell FOTO: Alex Wong/AFP
Namun kini mereka memperkirakan kebijakan ini akan mulai dilakukan pada November atau Desember 2021 karena ketidakpastian yang ditimbulkan virus covid-19 varian delta dan masih tingginya tingkat pengangguran di Amerika Serikat.
"Ini membuat The Fed dalam mode melihat dan menunggu pada rapat perumusan kebijakan mereka di September. Jangka waktu ini bisa saja lebih lama dari yang diperkirakan banyak orang, tergantung dampak varian delta dan pencapaian vaksinasi," ungkap Kepala Ekonom Grant Thornton LLP Diane Swonk, dalam keterangan tertulisnya, Senin, 4 Oktober 2021.
Tidak dapat dipungkiri, tapering off yang pernah dilakukan The Fed di 2013 lalu terbukti memicu taper tantrum yaitu sebuah keadaan gejolak pasar keuangan ketika Fed mengetatkan kebijakan moneternya. Investasi asing yang saat itu mendominasi pasar modal Indonesia pun menarik uang mereka dan memutuskan menaruh dana di pasar modal AS karena lebih menarik.
Efeknya, rupiah yang sempat berada di bawah Rp10 ribu per USD anjlok hingga ke level Rp12.000 per diikuti jatuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke level 4.200 di akhir 2013 dari sebelumnya yang berada di level 5.200. Efek kebijakan tersebut bahkan berdampak panjang pada tren pelemahan rupiah hingga melewati Rp14.000 per USD di 2015.
Bagaimana dengan risiko yang dihadapi Indonesia tahun ini? Dalam riset yang dipublikasikan oleh Nomura Research Institute, sebuah lembaga riset ekonomi terbesar di Jepang, Indonesia masuk ke daftar 10 negara rentan (fragile 10) terdampak bersama Brasil, Kolombia, Chili, Peru, Hongaria, Rumania, Turki, Afrika Selatan, dan Filipina jika tapering off dilakukan.