Ilustrasi. Foto: AFP.
Ilustrasi. Foto: AFP.

Pasang Mata Awasi Ketidakpastian Dunia

M Ilham Ramadhan • 25 September 2023 11:16
PEREKONOMIAN dunia belum pulih sepenuhnya. Perlambatan ekonomi Tiongkok dan tren penguatan dolar Amerika Serikat menimbulkan tantangan baru. Belum lagi, konflik geopolitik yang terjadi di beberapa negara masih mengancam stabilitas ekonomi global.
 
Dari AS, misalnya, tingkat inflasi yang masih terbilang tinggi, yakni di level 3,7 persen secara tahunan (year on year/yoy) pada Agustus 2023. Angka tersebut naik dari posisi bulan sebelumnya yang tercatat 3,2 persen.
 
Kenaikan tingkat inflasi AS di luar ekspektasi banyak ekonom. Itu akan mendorong kebijakan suku bunga acuan The Federal Reserve (The Fed) atau Fed Fund Rate (FFR) bertahan di posisi yang tinggi lebih lama.

Bahkan, bank sentral Negeri Paman Sam itu diyakini masih akan kembali menaikkan FFR dari posisi saat ini di angka 5,25-5,50 persen menjadi 5,75 persen di akhir 2023. Dampaknya, ketidakpastian pasar uang internasional bakal meningkat.
 
Indikasinya terlihat dari kenaikan indeks mata uang dolar AS (DXY) yang pada Sabtu, 23 September 2023 tercatat naik ke level 105,49. Menguatnya dolar AS dikhawatirkan bakal memberi dampak rembesan ke ekonomi negara-negara berkembang.
 
Pelemahan nilai tukar dan kaburnya aliran modal dari negara berkembang menjadi konsekuensi yang bakal dihadapi. Periset dari Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengkhawatirkan hal itu bakal mendorong Bank Indonesia kembali menaikkan BI 7-days reverse repo rate (BI7DRR).
 
"Jika ternyata kebijakan bank sentral AS ini mendorong depresiasi nilai tukar yang lebih dalam, Bank Indonesia akan berpeluang untuk setidaknya menaikkan satu kali suku bunga acuannya," ujarnya saat dihubungi.
 
Kemungkinan itu kian terbuka lebar sebab kinerja perdagangan Indonesia perlahan melemah. Kendati surplus, angkanya terus menyusut. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai surplus dagang di angka USD3,12 miliar pada Agustus 2023.
 
Perolehan itu jauh lebih rendah 21,12 persen dari capaian surplus dagang pada Agustus 2022 yang sebesar USD5,76 miliar. Kian tipisnya nilai surplus dagang akan memengaruhi kondisi neraca transaksi berjalan dan neraca pembayaran Indonesia.
 
Jika tren penyusutan surplus berlanjut, dikhawatirkan dua neraca tersebut akan mengalami defisit. Hal itu akan memberikan tekanan tambahan bagi nilai tukar rupiah dan depresiasi diperkirakan akan jauh lebih dalam.
 
 
Baca juga: Gegara Perang Rusia-Ukraina, Harga Pangan Global Anjlok 24%

 
Namun, Yusuf menilai kekhawatiran tersebut setidaknya dapat sedikit tertangani sebab BI telah berinovasi untuk melakukan stabilisasi rupiah. Salah satunya ialah melalui instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
 
Instrumen tersebut dianggap dapat menahan pelemahan akibat kondisi eksternal. Dari data BI, tercatat nilai yang berhasil diperoleh dari dua kali lelang SRBI pada 15 dan 20 September mencapai Rp37,72 triliun.
 
Bahkan, dari hasil monitor bank sentral, pasar sekunder untuk perdagangan SRBI telah terbentuk dengan nilai transaksi Rp2,13 triliun. Itu setara lima persen dari total transaksi di pasar perdana. Terlebih 82 persen investor yang bertransaksi di pasar sekunder itu merupakan pemain asing.
 
"Kebijakan baru inilah yang kemudian bisa didorong, terutama untuk menahan agar ketika rupiah terdepresiasi, itu tidak terjadi sangat dalam," kata Yusuf.
 
Kebijakan moneter yang menurutnya telah cukup adaptif itu sepatutnya diikuti oleh fiskal. Yusuf menilai kebijakan fiskal mesti sedikit melonggar. Pelonggaran itu dilakukan dengan pemberian stimulus untuk mendorong permintaan agregat. "Ini menjadi penting juga untuk mencapai sasaran target pertumbuhan ekonomi di jangka pendek," ujarnya.
 
Selain sisi keuangan, sumber ketidakpastian ekonomi dunia juga disebabkan konflik geopolitik yang urung mereda. Bahkan, tensi dari negara-negara terlibat kian menegang dan memanas.
 
Konflik Rusia-Ukraina, misalnya, kini menimbulkan fragmentasi pandangan politik dunia. Itu terlihat dari konferensi Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan (BRICS) yang tampak berjalan tak sesuai keinginan.
 
"Fragmentasi politik global yang tidak menentu akan menjadi hal yang menjadi sering ditemui dalam beberapa tahun mendatang," terang Yusuf.
 

Pelemahan ekonomi Tiongkok


Sumber lain ketidakpastian ekonomi dunia juga datang dari Tiongkok. Ekonomi Negeri Tirai Bambu saat ini sedang melemah akibat permintaan domestik yang melandai dan masih terpuruknya sektor properti akibat pandemi.
 
Pelemahan ekonomi Tiongkok mengakibatkan penurunan permintaan dagang. Indonesia, sebagai salah satu mitra dagang utama akan merasakan dampak tersebut pada kinerja perdagangan.
 
Kekhawatiran itu disampaikan Ekonom Makroekonomi dan Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia Teuku Riefky. Menurutnya, kondisi tersebut dapat merembes ke perekonomian Indonesia.
 
"Perlambatan ekonomi Tiongkok juga akan berpengaruh pada ekonomi Indonesia, baik dari sisi demand ekspor Indonesia maupun supply impor Indonesia. Ini perlu diwaspadai karena ini akan memengaruhi aktivitas perekonomian domestik," tuturnya.
 
Langkah yang dapat diambil untuk menangkal rembesan itu, kata Riefky, ialah melalui penguatan ekonomi domestik. Penguatan perlu dilakukan menyeluruh. Keyakinan konsumen, stabilitas produksi, dan terus menarik investasi dianggap jadi cara paling relevan.
 
"Dengan menjaga aktivitas ekonomi domestik secara menyeluruh, tentu itu akan bisa meredam dampak dari ketidakpastian global ini," kata dia.
 
Kekhawatiran mengenai kondisi ekonomi global juga disampaikan Ketua Badan Anggaran (Badan Anggaran) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebab ketidakpastian yang tinggi suka tak suka akan merambat ke dalam negeri.
 
"Itu tentu akan memberi efek rambatan terhadap perekonomian nasional kita. Kita tidak ingin situasi itu membuat perekonomian nasional terimbas secara weaker for longer, khususnya pada urusan ekspor impor, dan nilai tukar," ujarnya dalam rapat paripurna DPR, Jakarta, Kamis, 21 September 2023.
 
 
Baca juga: 5 Penanda Keberhasilan Hubungan Indonesia-Tiongkok

Terus monitor perkembangan


Pemerintah turut menyadari kemungkinan adanya efek merambat dari kondisi ekonomi dunia saat ini. Karenanya, pengambil kebijakan bakal memelototi perkembangan dunia dari segala aspek yang dapat memengaruhi perekonomian.
 
"Kita melihat dua ekonomi terbesar, Amerika dan Tiongkok, dua-duanya memiliki karakter ketidakpastian yang harus diwaspadai dan pasti memiliki dampak rambatan ke seluruh dunia," ucap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
 
Ketidakpastian kian kompleks karena sumber ketidakpastian tak sebatas itu. Sri Mulyani mengatakan disrupsi rantai pasok global yang memengaruhi harga komoditas unggulan Indonesia akan memengaruhi ekonomi dalam negeri.
 
Selain itu, kenaikan harga minyak dunia juga akan memengaruhi dinamika perekonomian nasional. Isu perubahan iklim, juga disebut Sri Mulyani, menjadi tantangan bagi Indonesia sebagai penghasil sumber daya alam.
 
Namun, setidaknya, kata perempuan yang karib disapa Ani itu, Indonesia masih memiliki modal kuat untuk menjaga perekonomian. Itu berkaca dari kemampuan ekonomi Indonesia untuk pulih lebih cepat dari pandemi covid-19 jika dibandingkan dengan negara lain.
 
Upaya untuk menjaga perekonomian dalam kondisi baik akan terus dilakukan pemerintah. Demikian halnya dengan BI. Bank sentral menyatakan akan mendukung kebijakan pemerintah untuk menjaga perekonomian melalui instrumen kebijakan moneter yang dimiliki.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan