Kekuatan teknologi dalam mengubah struktur dan perilaku pasar telah banyak dibicarakan. Berkembangnya para unicorn bernilai miliaran dolar dalam bentuk lokapasar (marketplace) dan bisnis digital lain telah menjadi perhatian semua pihak. Namun tampaknya hal tentang konsumen perempuan belum banyak dibahas.
Dalam beberapa dekade terakhir konsumen perempuan merupakan wajah kebangkitan ekonomi yang tidak terbantahkan. Hal tersebut didorong oleh dua revolusi besar sekitar 50 tahun lalu: meningkatnya pendidikan anak dan remaja perempuan, serta meningkatnya peranan perempuan dalam lapangan kerja berbayar (paid labor force).
Apa yang mulai berkembang pada 1970an-1980an telah menunjukkan dampaknya pada perekonomian dalam satu dua dekade terakhir.
Sebelum covid, perempuan telah menjadi -apa yang disebut Forbes sebagai world most powerful consumers. Dan sifat dan sikap "para konsumen Kartini" yang khas benar-benar telah mengubah pola pemasaran, penjualan, dan customer engagement di seluruh dunia.
Kita pun mengenal istilah "the power of 'emak-emak' yang menggambarkan kekuatan hebat kaum perempuan dalam berbagai bidang. Semakin jelas bahwa 'para Kartono' sudah tidak lagi menjadi penentu dominan dalam pasar. Perempuan memang 'kompas' perubahan, meski kadang tidak disadari. Ketika konsumen perempuan lebih pilih-pilih dalam membeli barang dari perusahaan yang dinilainya baik bagi keluarga dan lingkungan, maka pilihan itu diikuti oleh kelompok konsumen lain.
Apa yang selama ini dikenal hanya "lazim" dilakukan perempuan, seperti belanja kebutuhan sehari-hari, bahan makanan, mencuci, dan menyetrika baju, dan sebagainya, sekarang juga dilakukan oleh pria dan anak-anak, tetapi tetap dengan mengacu pada panduan yang diberikan oleh ahlinya: istri atau ibu mereka.
Perempuan adalah juga the original social networker. Media sosial yang hidup dari jaringan hubungan sosial antarmanusia akan mendapati perempuan sebagai pegiat utamanya. Dan ketika bisnis menggunakan media sosial, atau diperluas dengan niaga-elektronik (e-commerce), maka perempuan adalah pelaku naturalnya.
Lebih dari itu, perempuan juga yang secara aktif memberi dan menyebarkan pengaruh dalam pengambilan keputusan. Boleh lah disebut perempuan adalah penemu sekaligus pelaku awal penyebaran informasi dari mulut ke mulut (words of mouth). Pembicaraan antartetangga, nasehat ibu kepada anaknya, pengaruh istri kepada suaminya, adalah bentuk-bentuk kerja influencer dan endorsement alami, dan hal itu pun berlaku dalam bisnis dan jual beli.
Meskipun peran perempuan dalam pasar konsumen sangat nyata, tetapi model bisnis sering kali dibentuk dalam format yang maskulin. Untungnya hal itu kemudian dipandang sebagai peluang oleh para pemasar kreatif. Pasar perempuan segera menjadi sasaran, dan ternyata hasilnya menggembirakan. Pendapatan dari segmen pasar ini meningkat lebih tinggi, model-model pemasaran sensitif gender kemudian menjadi alternatif yang disenangi.
Dunia berubah
Pascacovid, dunia kembali berubah. Demikian pula pola konsumsi masyarakat. Konsultan bisnis berskala internasional, PWC, membuat kajian tentang "The Future of Consumer Market", dan laporan mereka pada Maret 2021 memberi rumusan hal-hal menarik, yang sebenarnya juga sudah kita rasakan selama ini.Pertama, pada 2020, 19 persen dari konsumen dunia belanja secara digital, dan akan terus melakukan hal itu dimasa yang akan datang, dengan menekankan pada aspek digitalisasinya. Toko masa depan tetap akan memiliki dimensi fisiktatap muka, tetapi akan semakin bersifat personal serta digabungkan dengan pelayanan dan pengalaman digital yang intensif.
Toko akan bersifat omni-channel and experience-rich dan akan merupakan paduan dari the physical and digital worlds. Konsumen -terutama konsumen perempuan- akan mengharapkan pengalaman tanpa friksi, bersifat sangat personal, dan penuh pelayanan teknologi dalam kegiatan belanja mereka.
Hal itu akan semakin mendorong pebisnis untuk kian menggantungkan model penjualan mereka dalam bentuk pendekatan direct-to-customer.
Kedua, branding akan semakin relevan. Konsumen -lagi-lagi terutama konsumen perempuan- akan mencari pengalaman berbelanja yang punya makna (shopping with purposes). Konsumen akan mencari brand yang responsif atas harapan konsumen berkaitan dengan lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social and governance (ESG) concerns).
Brand harus semakin mampu membawa nilai-nilai dari rantai pasok yang terlibat. Dalam hal ini, reputasi brand akan semakin ditentukan oleh media sosial berikut seluruh dinamikanya.
Ketiga, rantai pasok digital semakin tak terelakkan, dan menjadi semakin penting dengan penerapan direct connection approach ke konsumen. Mulai dari masalah 'sederhana' seperti tracking pergerakan barang, hingga rancangan personal (personalize design) untuk hampir semua barang dan transaksi, akan dilakukan secara digital.
Sekadar contoh, konsumen akan merancang menu makan selama seminggu, katering khusus akan memproduksi makanan itu dengan citarasa dan penampilan persis seperti pesanan yang bisa berbeda dari satu pelanggan ke pelanggan lain, petani memasok sayur atau daging ayam ke katering dengan ketepatan penghantaran berpresisi tinggi, dan semua itu terlaksana, terkelola, termonitor secara digital.
Pasar konsumen telah dan akan terus berubah, tetapi ada satu hal yang masih tetap akan sama: konsumen (pria) bolehlah disebut raja, tetapi konsumen perempuan, para Kartini, adalah "ratu-penentu"; yang mendominasi belanja, yang memengaruhi pengambilan keputusan, yang 'setting the trend', dan yang akan membawa arah pasar masa depan.
Selamat Hari Kartini.
Bayu Krisnamurthi
Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Indonesia
Wakil Menteri Perdagangan 2011-2014
Mantan Direktur Utama di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News