Gorengan saham ini dilakukan salah satunya oleh Joko Hartono, Direktur PT Maxima Integra yang juga anak buah Heru Hidayat. Jadi membuat pasar semu dengan menciptakan investor yang banyak untuk membeli beberapa emiten dan harganya lama-kelamaan naik, kemudian dibeli oleh Jiwasraya.
Pada waktu tertentu, saham yang beli tersebut tersebut tiba-tiba terjun bebas dan menyebabkan kerugian Jiwasraya. Contoh ini bisa dilihat pada emiten TRAM yang pada 2017 kinerjanya +44,91 persen, namun di 2018 turun di 14,14 persen dan 2019 terjun bebas di -70,59 persen.
Hal ini persis sebagaimana dilakukan Benny Tjokro yang melakukan transaksi saham PT Bank Pikko, Tbk pada 1997 dengan menggunakan 13 nama pihak lain. Saat itu kasusnya ditangani Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) namun Benny lolos, hanya hukuman denda sebesar Rp1,5 miliar saja tanpa ada hukuman pidana yang harus diterimanya. Catatan buram juga pernah dialami oleh Benny kala 2016 mendapat sanksi dari OJK senilai Rp5 miliar kepada perusahaannya. Benny waktu itu dengan PT Hanson Internasional Tbk tidak melaporkan keuangannya secara akurat kepada Otoritas.
Dari kasus ini kita bisa simpulkan, bahwa ternyata unsur enforcement tidak ada. Padahal dalam pasal 90 UU Nomor 8/1995 tentang Pasar Modal tegas disebutkan bahwa setiap pihak dilarang secara langsung atau tidak langsung; menipu, mengelabuhi, turut serta menipu, membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta material, dan lain-lain. Dan dalam pasal 104 ada ketentuan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar.
Jadi kalau sudah ada transaksi fiktif dan laporan keuangan tidak akurat, seharusnya sudah memenuhi unsur mengelabuhi dan membuat pernyataan tidak benar. Dua kejadian terdahulu membuat pelaku yang sama leluasa untuk mengulangi perbuatannya lagi bahkan dengan modus yang lebih canggih, dengan modus lengkap dalam kejahatan keuangan yaitu penipuan, manipulasi pasar (karena menggoreng saham), dan insider trading (memberikan informasi yang seharusnya rahasia ke calon investor).
Kembali ke core business
Saat ini IFG life yang akan fokus ke proteksi kesehataan dan dana pensiun adalah sudah tepat. Perusahaan asuransi tidak perlu lagi menginvestasikan dana nasabahnya ke instrumen investasi lain yang berisiko tinggi. Namun inisiatif tersebut perlu segera disambut oleh otoritas untuk diwujudkan dalam regulasi, agar industri asuransi fokus pada bisnis utamanya/core business.POJK Nomor 71/POJK.05/2016 tentang pembatasan terhadap jumlah aset yang di investasikan oleh perusahaan asuransi, segera direvisi. OJK harus fokus mengembalikan inti usaha industri keuangan agar tidak terjadi penyelahgunaan kepentingan. Hal ini sebenarnya untuk melindungi kepentingan masyarakat selaku investor.
Masyarakat dalam menempatkan dananya pasti cuma dua kepentingannya, kalau bukan benefit ya profit. Untuk itu industri keuangan melalui marketingnya atau agen-agennya perlu menjelaskan secara detail terhadap tujuan penempatan dana yang akan dilakukan oleh masyarakat. Jika ingin investasi di pasar modal arahkanlah ke perusahaan sekuritas, jika ingin proteksi kesehatan barulah ke perusahaan asuransi. Jangan inginnya beli saham untuk investasi tapi disuruh naruh dana di perusahaan asuransi.
Andy R Wijaya
Praktisi Hukum Bisnis
Managing Partner pada RESOLVA Law Firm
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News