CEO Amazon Andy Jassy menyampaikan dalam memonya, pemutusan hubungan kerja itu akan terjadi di beberapa tim dengan mayoritas karyawan bekerja di bagian Amazon Stores serta divisi People, Experience, and Technology.
Tak hanya itu, Goldman Sachs Group juga mengumumkan memangkas ribuan pekerja di seluruh perusahaan. Alasan PHK ditempuh karena perusahaan akan menghadapi lingkungan ekonomi yang sulit. Lebih dari 3.000 karyawan akan diberhentikan oleh perusahaan jasa keuangan dan bank investasi itu. PHK kali ini akan menjadi yang terbesar sejak krisis keuangan 2008.
Kemudian induk Google, Alphabet, akan memberhentikan sekitar 12 ribu orang di seluruh area dan wilayah. Pengurangan karyawan dilakukan karena sebelumnya terjadi peningkatan jumlah permintaan saat pandemi. Namun bayang-bayang resesi membuat banyak pengiklan mengerem pengeluaran. Dengan kondisi itu perusahaan perlu menyeimbangkan keuangan perusahaan.
Baca: Kepercayaan Konsumen Januari Turun, Ekonomi AS Bisa Resesi? |
Lalu, Google akan melakukan PHK besar-besaran terhadap 1.845 karyawannya di negara bagian California, Amerika Serikat. Pemecatan ini berlaku untuk berbagai posisi, mulai dari direktur hingga tukang terapi pijat in-house Google.
Sementara itu, Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) dalam laporan terbarunya menilai sektor keuangan global tetap rapuh terutama karena bank sentral memulai jalur yang belum dipetakan untuk mengecilkan neraca mereka.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Penting untuk memantau penumpukan risiko dan mengatasi kerentanan ini, terutama di sektor perumahan atau di sektor keuangan nonbank yang kurang diatur," kata Kepala Ekonom dan Direktur Departemen Riset IMF Pierre-Olivier Gourinchas.
Menurut IMF, ekonomi pasar berkembang membiarkan mata uang mereka menyesuaikan sebanyak mungkin dalam menanggapi kondisi moneter global yang lebih ketat menggunakan intervensi valuta asing (valas) atau manajemen aliran modal, yang sesuai untuk meredakan volatilitas yang berlebihan dan nonfundamental.
Sedangkan pasar keuangan menunjukkan kepekaan yang tinggi terhadap berita inflasi, dengan pasar ekuitas naik setelah rilis data inflasi yang lebih rendah baru-baru ini untuk mengantisipasi penurunan suku bunga, meskipun bank sentral telah mengomunikasikan tekad mereka untuk memperketat kebijakan lebih lanjut.
Dengan puncak inflasi utama Amerika Serikat (AS) dan percepatan kenaikan suku bunga oleh beberapa bank sentral non-AS, dolar AS telah melemah sejak September 2022 tetapi tetap jauh lebih kuat dari tahun lalu. Maka dari itu, terdapat risiko perubahan harga di pasar keuangan yang tiba-tiba.
Pelonggaran dini dalam kondisi keuangan sebagai tanggapan terhadap data inflasi utama yang lebih rendah dapat memperumit kebijakan anti-inflasi dan memerlukan pengetatan moneter tambahan. Untuk alasan yang sama, rilis data inflasi yang tidak menguntungkan dapat memicu perubahan harga aset secara tiba-tiba dan meningkatkan volatilitas di pasar keuangan.
Baca: Mantap! Program B35 Bisa Menghemat Devisa hingga USD10,75 Miliar |
"Pergerakan seperti itu dapat membebani likuiditas dan berfungsinya pasar kritis, dengan efek riak pada ekonomi riil," ujarnya.
Ekonomi global melambat
Di sisi lain, laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan melambat dari sekitar 3,0 persen pada 2022 menjadi 1,9 persen pada 2023. Ini menandai salah satu tingkat pertumbuhan terendah dalam beberapa dekade terakhir.Meskipun demikian, Laporan Situasi dan Prospek Ekonomi Dunia PBB 2023 tersebut juga memperkirakan pertumbuhan global akan meningkat secara moderat menjadi 2,7 persen pada 2024. Hal ini karena beberapa hambatan ekonomi makro diperkirakan mulai mereda tahun depan.
Di tengah inflasi yang tinggi, pengetatan moneter yang agresif, dan ketidakpastian yang meningkat, penurunan saat ini telah memperlambat laju pemulihan ekonomi dari krisis covid-19. Kondisi ini mengancam beberapa negara, baik maju maupun berkembang, dengan prospek resesi pada 2023.
Dalam laporan tersebut menjelaskan bahwa momentum pertumbuhan melemah secara signifikan di Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan negara maju lainnya pada 2022, sehingga berdampak buruk pada ekonomi global lainnya melalui sejumlah saluran.
Di AS, Produk Domestik Bruto (PDB) diproyeksikan tumbuh hanya 0,4 persen pada 2023 setelah perkiraan pertumbuhan 1,8 persen pada 2022. Kemudian pertumbuhan ekonomi Tiongkok diproyeksikan meningkat secara moderat pada 2023.
Dengan pemerintah menyesuaikan kebijakan covid-19 di akhir 2022 serta melonggarkan kebijakan moneter dan fiskal, pertumbuhan ekonomi Tiongkok diperkirakan naik jadi 4,8 persen di 2023, menurut laporan tersebut. Ini menunjukkan pengetatan kondisi keuangan global, ditambah dolar yang kuat, memperburuk kerentanan fiskal dan utang di negara-negara berkembang.
Menaikkan proyeksi
Meski sudah ada sinyal resesi mendekat, namun IMF dalam laporan terbarunya menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 2,7 persen jadi 2,9 persen pada 2023 berkat pembukaan kembali perekonomian Tiongkok. Sebelumnya, penyebaran covid-19 yang cepat di Tiongkok menghambat pertumbuhan pada 2022."Tetapi pembukaan kembali baru-baru ini telah membuka jalan bagi pemulihan yang lebih cepat dari perkiraan," ungkap Pierre-Olivier Gourinchas.
Adapun pertumbuhan global diperkirakan mencapai 3,4 persen pada 2022, sementara di 2024 mencapai 3,1 persen. Di sisi lain, inflasi global diperkirakan turun dari 8,8 persen pada 2022 menjadi 6,6 persen pada 2023 dan 4,3 persen pada 2024, masih di atas tingkat sebelum pandemi yakni pada 2017-2019 di sekitar 3,5 persen.
Baca: Dear Calon Nasabah, Pilih Asuransi yang Punya RBC Sesuai Ketentuan OJK Biar Gak Gagal Bayar |
Sedangkan kenaikan suku bunga bank sentral untuk melawan inflasi dan perang Rusia di Ukraina terus membebani aktivitas ekonomi. Dari perkiraan pertumbuhan ekonomi dan inflasi tersebut, keseimbangan risiko tetap mengarah ke risiko penurunan, meski telah termoderasi sejak proyeksi pada Oktober 2022.
Risiko penurunan yakni kemungkinan didorong oleh risiko kesehatan parah di Tiongkok yang dapat menghambat pemulihan, kemungkinan peningkatan perang Rusia di Ukraina, dan pembiayaan global yang lebih ketat bisa memperburuk kesulitan utang.
Selain itu, pasar keuangan juga bisa tiba-tiba berubah sebagai tanggapan atas berita inflasi yang merugikan, sementara fragmentasi geopolitik lebih lanjut dapat menghambat kemajuan ekonomi. Kendati begitu, terdapat kemungkinan kenaikan dari dorongan yang lebih kuat berkat permintaan yang terpendam di banyak negara atau penurunan inflasi yang lebih cepat.
"Di sebagian besar perekonomian, di tengah krisis biaya hidup, prioritas tetap mencapai disinflasi berkelanjutan. Dengan kondisi moneter yang lebih ketat dan pertumbuhan yang lebih rendah yang berpotensi memengaruhi stabilitas keuangan dan utang, diperlukan perangkat makroprudensial dan memperkuat kerangka restrukturisasi utang," tuturnya.
Ekonomi Indonesia kuat
Terlepas dari resesi yang segera datang, namun perekonomian Indonesia dinilai terbilang kuat dan diyakini mampu menerjang badai resesi global. Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran mengatakan Indonesia relatif aman dari resesi yang diperkirakan baru akan berakhir pada akhir 2023 atau awal 2024.Hal itu tentunya melalui penerapan kebijakan makro yang responsif seperti pengendalian inflasi. "Misalnya saja, untuk mengontrol inflasi, Indonesia tidak hanya menggunakan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan BI, tapi juga dibarengi dengan menjaga keterjangkauan harga pangan di pasar dan di tingkat petani," kata Hasran.
Resesi adalah memburuknya kondisi perekonomian negara selama dua kuartal berturut-turut yang ditandai dengan penurunan PDB, meningkatnya pengangguran, dan penurunan produktivitas di sektor riil. "Penyebab utama resesi ekonomi kali ini adalah naiknya suku bunga bank sentral negara-negara kekuatan utama dunia sebagai upaya menekan inflasi," ujarnya.
Adapun dampak dari kebijakan makro yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mengendalikan inflasi dan mendukung pertumbuhan ekonomi terlihat dari tingkat inflasi Indonesia yang berada di kisaran lima persen sepanjang 2022 dengan tingkat suku bunga acuan kisaran 5,5 persen.
Di sisi lain, rasio utang terhadap PDB Indonesia berada di kisaran 30,1 persen, jauh dari batas aman 60 persen yang ditetapkan dalam undang-undang. Cadangan devisa Indonesia juga berada dalam kategori aman, yakni setara dengan pembiayaan 5,9 bulan impor atau 5,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Namun, sektor perdagangan sangat mungkin terdampak resesi global sehingga bisa menghentikan surplus neraca perdagangan yang sempat diraih Indonesia sejak awal 2020. Surplus yang disebabkan oleh naiknya harga-harga komoditas seperti batu bara, nikel, dan Crude Palm Oil (CPO) akan terhenti.
"Karena penurunan permintaan dan harga untuk komoditas tersebut di pasar global," tuturnya.
Baca: 6 Rekomendasi Saham Ini Bisa Bikin Kamu Cuan saat IHSG Rebound |
Kondisi itu akan membuat industri membayar biaya bunga pinjaman yang lebih tinggi. Untuk meminimalisir hal tersebut, industri akan lebih memilih mengurangi produksinya dan mengurangi jumlah tenaga kerja.
"Kondisi ini akan menyebabkan berkurangnya daya beli karena masyarakat akan memprioritaskan konsumsinya pada hal-hal yang dianggap penting. Hal ini akan berdampak pada pertumbuhan sektor-sektor terkait," ucapnya.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, sebanyak 47 negara kini telah menjadi 'pasien' IMF dengan skema pinjaman (utang) yang berbeda-beda. Bahkan, sejumlah negara lainnya masih mengantre untuk mendapatkan bantuan lembaga keuangan multilateral itu imbas guncangan ekonomi global yang terjadi saat ini.
"Guncangan ekonomi karena pandemi, karena perang, sudah menyebabkan 47 negara masuk menjadi pasien IMF. Kita ingat 1997-1998 Indonesia sempat menjadi pasien IMF, ambruk ekonomi dan politik. Sekarang ada 47 negara dan yang lain masih antre di depan pintu IMF," kata Jokowi.
Berdasarkan penyampaian dari Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, sepertiga ekonomi dunia pada 2023 akan mengalami resesi. Dari laporan IMF itu, kata Jokowi, sepertiga ekonomi dunia diprediksi akan mengalami resesi. Artinya, akan ada 70 negara yang ekonominya terkena resesi.
"Negara yang tidak terkena resesi, ratusan juta penduduknya merasakan seperti sedang resesi, hati-hati," ucap Jokowi.
Kendati demikian, Jokowi mengatakan, ekonomi Indonesia berada pada kondisi yang baik saat ini. Bahkan sangat baik dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan 2022 sebesar 5,2 persen sampai 5,3 persen secara tahunan (yoy).
"Situasi global masih tak mudah dan sekarang yang jadi momok semua negara adalah inflasi. Ini momok semua negara dan patut juga kita syukuri inflasi kita di angka 5,5 persen. Ini patut disyukuri berkat kerja keras semuanya," pungkas Jokowi.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id