Ilustrasi. (FOTO: ANTARA/Yudhi Mahatma)
Ilustrasi. (FOTO: ANTARA/Yudhi Mahatma)

Berbenah Demi Mewarisi Tax Ratio 14% di Masa Mendatang

Suci Sedya Utami • 26 April 2017 09:49
SEDERET agenda reformasi di Tanah Air tengah dilakukan Pemerintah Presiden Joko Widodo, termasuk di dalamnya yakni mengenai pembenahan sistem perpajakan di Indonesia. Tujuannya satu, demi meningkatkan tax ratio atau rasio pajak Indonesia.
 
Pasalnya, pembangunan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang merata di masa pemerintahan ini diketahui sangat lah padat. Namun, pendanaan untuk membiayai aktivitas pembangunan tersebut saat ini belum mampu dipenuhi negara karena nyatanya penerimaan pajak pun masih belum maksimal dicapai sesuai target.
 
Hal ini yang membuat tax ratio atau rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia saat ini masih di bawah 11 persen. Tahun lalu posisi tax ratio berada pada angka 10,3 persen. Angka tersebut masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan rata-rata negara di dunia menurut kajian lembaga peneliti pajak, Danny Darussalam Tax Center yakni 14-15 persen.

Rendahnya tax ratio Indonesia ditenggarai oleh tingkat kepatuhan pajak di tanah air yang pun masih rendah. Data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hingga 24 April 2017 mencatat bahwa rasio kepatuhan pajak secara nasional yang diukur berdasarkan jumlah wajib pajak terdaftar dan pelaporan surat pemberitahuan pajak tahunan (SPT) pajak penghasilan (PPh) yakni sebesar 65,88  persen.
 
Baca: Kesadaran Bayar Pajak Lemah, Tax Ratio RI Terendah
 
"(Angka) itu tidak termasuk SPT pembetulan (di tax amnesty)," kata Direktur Kepatuhan, Potensi dan Penerimaan DJP Yon Arsal pada Metrotvnews.com, Selasa 25 April 2017.
 
Angka itu pun diyakini masih bisa diperbaiki setalah Pemerintah memberlakukan program tax amnesty atau pengampunan pajak yang menjadi motor awal dalam agenda reformasi perpajakan. Sebuah logika baru dalam memperbaiki tax ratio yang telah diterapkan Pemerintah sejak Juli tahun lalu. Hal ini bisa dilihat dari adanya jumlah tambahan wajib pajak baru. Meski memang belum rekonsiliasi akhir, namun data mengatakan, dari jumlah 972.530 wajib pajak yang menjadi peserta tax amnesty, 52.757 merupakan wajib pajak baru.
 
Wajib pajak baru ini dianggap menjadi potensi ke depannya dalam menambah tingkat kepatuhan baik formal maupun material. Artinya, baik melalui penyampaian SPT dan juga pembayaran setoran pajak. Selain juga ada basis data terekam dari wajib pajak yang selama ini tak menyampaikan SPT sebesar 249.623 wajib pajak dan wajib pajak yang tidak bayar sebanyak 56.600.
 
Namun, reformasi bukan hanya sekadar membidik tingkat kepatuhan wajib pajak semata, tanpa dibarengi dengan upaya pembenahan institusinya. Setalah tax amnesty, Pemerintah fokus untuk membenahi kelembagaan Ditjen Pajak agar menjadi lebih kredibel, termasuk di dalamnya menata ulang sumber daya manusia (SDM) atau pegawainya. Beberapa kali, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merombak insan-insan internal Ditjen Pajak. Pembenahhn tersebut dilakukan dalam rangka bersih-bersih otoritas dari kegiatan yang merugikan dan membuat citra instutusi pengumpul pundi-pundi kas negara menjadi buruk, contohnya pada praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
 
Baca: Kemenkeu Bidik Tax Ratio 14,6% hingga 2019
 
Sebab, tak dapat dipungkiri, salah satu penyebab yang membuat masyarakat tak taat membayar pajak adalah ketakutan mereka terhadap apa yang mereka bayarkan nantinya disalahgunakan atau dikorupsi. Oleh karenanya langkah reformasi terbaru dalam menata perilaku SDM dan menghindari praktek KKN, yang coba dilakukan Sri Mulyani yakni melarang fiskus atau petugas pajak terutama jajaran pemeriksaan bertemu dengan wajib pajak di luar kantor pajak dan jam kerja.
 
Larangan yang secara efektif dilakukan sejak awal April ini juga ditujukan untuk memonitor segala bentuk tindak-tanduk pegawai pajak dan etika baik wajib pajak dari CCTV dan juga sistem yang ada. Sri Mulyani bahkan mewanti-wanti bahwasanya proses bisnis pemungutan pajak secara resmi dimandatkan oleh negara sesuai dengan aturan yang harus dijalankan dengan proses bisnis dan etika pejabat publik yang telah diikrarkan dalam setiap sumpah jabatan yang terucap.
 
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini pun meminta pada Tim Reformasi yang telah dibentuk sejak tahun lalu untuk menjalankan larangan dan proses bisnis yang berlaku. Tujuannya untuk memperkecil ruang praktek KKN seperti yang sebelumnya terjadi dalam berbagai kasus korupsi atau suap pajak yang menyeret fiskus.
 
Singkat cerita, pembentukan tim reformasi perpajakan untuk memperkuat upaya reformasi diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 885/KMK.03/2016dan mulai efektif bekerja sejak awal 2017. Dalam sebuah kesempatan kick off Tim Reformasi Perpajakan, Sri Mulyani menyatakan pembentukan tim, salah satunya ditujukan untuk menyiapkan seluruh elemen terkait rencana pembentukan badan penerimaan tersendiri.
 
Apalagi dalam rancangan revisi Undang-undang Ketetapan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) ada satu pasal yang menyebutkan tentang pembentukan lembaga. Meskipun memang pembentukan lembaga tersebut pada akhirnya nanti, apakah akan menjadi badan penerimaan tersendii atau apapun bentuknya tentu sangat tergantung dari saat pembahasan dengan DPR.
 
Baca: Sri Mulyani Kecewa Tax Ratio 2016 di Bawah 11%
 
Namun, Ketua Tim Reformasi Perpajakan Suryo Utomo menyatakan, apapun bentuknya, baik Ditjen Pajak yang menjadi besar ataupun institusi yang berubah jadi badan, prinsip utamanya yakni memiliki proses operasional yang jelas, yang bisa melingkupi keseluruhan aktivitas dalam memungut penerimaan dan juga mengembalikan kepercayaan wajib pajak akan institusi tersebut.
 
"Semakin wajib pajak percaya, semakin yakin, kepatuhannya pasti akan meningkat," kata Suryo.
 
Namun diakui meski kepatuhan meningkat dan juga institusi memiliki citra apik, itu tak cukup tanpa adanya dukungan sarana teknologi informasi yang memadai dan mampu terintegrasi dengan sistem di institusi lainnya. Selain menata ulang SDM, pembenahan sistem teknologi informasi juga gencar dilakukan dalam agenda reformasi kali ini terutama yang berkaitan dengan pelayanan. Dalam memudahkan pelayanan pada wajib pajak melalui akses online tanpa harus datang ke kantor pajak di antaranya melalui layanan e-registration, e-biling, e-filing, hingga e-bukpot.
 
Di sisi lain, memperkuat sinergitas dengan institusi lain pun dilakukan dengan tujuan untuk memperkaya basis data perpajakan dari pertukaran dengan pihak ketiga seperti PPATK, BUMN, KPPU, OJK SKK Migas dan lain sebagainya.
 
Suryo haqul yakin jika semua agenda reformasi berjalan dengan baik, maka taget tax ratio 14 persen di 2019 dan 15 persen di 2020 seperti yang dirancang oleh tim reformasi mampu dicapai. Target itu tentunya bisa menjadi warisan bagi masa pemerintahan selanjutnya, mengingat tuntutan pembangunan dan pemerataan ke depannya makin besar, sesuai dengan tujuan menjadikan Indonesia yang adil dan makmur sesuai yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
 
"Pembenahan institusi, SDM, dan IT tanpa terintegrasiakan susah. Dengan adanya sinergi data yang mengalir, tax ratio barangkali insya Allah menjadi 13-14 persen bisa didapat 3-4 tahun yang akan datang," ucap Suryo.
 
Peneliti pajak DDTC, Bawono Kristiaji pun optimistis dengan target tax ratio yang dibuat, tentunya harus dibarengi dengan kerja keras memperbaiki tax buoyancy atau elastitisitas pertumbuhan ekonomi berdasarkan PDB dengan pertumbuhan penerimaan pajak, yang justru akhir-akhir ini makin menipis. Tahun lalu kata Aji, tax buoyancy hanya 0,35 persen. Artinya setiap satu persen pertumbuhan PDB, pertumbuhan penerimaan pajaknya hanya 0,35 persen.
 
Hal inilah yang perlu diperhatikan dalam rangka meningkatkan tax ratio terhadap PDB. Bisa jadi memang terdapat missmatch antara sektor penyumbang ekonomi dengan sektor yang menjadi andalan penerimaan. Misal sektor A menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi namun untuk kebijakan pajaknya di sektor tersebut kurang maksimal. Oleh karenanya, dalam agenda reformasi kali ini, perlu juga menghitung tax buoyancy dengan menelisik sektor mana yang penerimaannya tidak elastis terhadap pertumbuhannya.
 
"Logikanya, kenaikan aktivitas ekonomi akan menciptakan kue penerimaan pajak yang paking tidak sama besar. Kalau tidak, berarti ada yang perlu ditelusuri lebih lanjut," ulas Aji.
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan