Ilustrasi Freeport. (FOTO: Reuters)
Ilustrasi Freeport. (FOTO: Reuters)

Polemik Freeport dan Pemerintah

22 Februari 2017 10:33
PEMERINTAH dan perusahaan tambang yang menambang emas dan tembaga di Grasberg, Papua, Freeport Indonesia sedang berpolemik. Hal itu berawal dari keputusan Menteri ESDM mengubah status kontrak karya (KK) Freeport menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Perubahan status itu mewajibkan Freeport membangun smelter, pengenaan bea keluar sebesar 10 persen dan wajib mendivestasikan 51 persen saham ke pihak nasional. Tanpa mengubah KK menjadi IUPK, Freeport tak boleh mengekspor konsentrat tembaga.
 
Dengan begitu, Freeport hanya bisa memproduksi tembaga sebesar 40 persen karena sesuai dengan kapasitas pengiriman tembaga mereka ke pabrik smelter PT Smelthing, Gresik, Jatim. Sementara itu, 60 persen tembaga dikirim ke Atlantic Copper (Spanyol). Tak mengherankan jika produksi tembaga Freeport berkurang sekitar 70 juta pound dan emas 100 ribu ons. Jika dihitung pada harga pasar tembaga saat ini, sekitar USD123 juta untuk emas dan USD196 juta untuk tembaga dan total menjadi USD319 juta.
 
Baca: Ulah Freeport Sudah Ditebak

Namun, syarat itu dianggap merugikan Freeport. Freeport tak mau mengubah KK menjadi IUPK. CEO of Freeport McMoRan Inc, Richard C Adkerson, mengatakan Freeport masih merujuk perjanjian KK yang sudah disepakati 1991. IUPK dinilai tak memberikan kepastian, pajaknya bisa berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (prevailing), tak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah hingga kontrak berakhir (naildown).
 
Selain itu, Freeport keberatan melepas saham hingga 51 persen karena berarti kendali bukan di tangan mereka lagi. Padahal, yang namanya perusahaan trans-national corporation (TNCs) tak akan pernah mau menjadi pemegang saham minoritas. Korporasi raksasa seperti Freeport jelas ingin terus menjadi pengontrol dan pengendali operasi tambang. Jika tidak, mereka akan menggunakan berbagai strategi dan taktik untuk melunakkan negara-negara tempat mereka beroperasi.
 
Perintah konstitusi
 
Keberatan Freeport tentu sangat masuk akal. Soalnya Freeport memiliki beberapa proyek raksasa dalam beberapa tahun ke depan, seperti ingin membangun pabrik smelter tembaga di Gresik senilai USD2,3 miliar. Bukan hanya itu, Freeport juga sedang berinvestasi di tambang underground Grasberg Blok Cave, deep mill level zone (DMLZ), dan deep ore zone (DOZ) dengan investasi USD15 miliar. Freeport merugi jika membangun smelter tanpa ada kepastian perpanjangan kontrak. Sebagai catatan, KK Freeport akan berakhir 2021 dan perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu meminta perpanjangan kontrak sampai 2041.
 
Baca: Freeport Indonesia akan Kembali PHK Karyawan Minggu Ini
 
Kengototan Freeport boleh jadi karena alasan potensi tambang Grasberg, Papua, merupakan tambang paling prospektif. Total cadangan emas Grasberg mencapai 29,8 juta ons dan tembaga mencapai 30 miliar pound. Kontribusi tembaga Grasberg ke FCX mencapai 27 persen dan emas mencapai 95 persen. Produksi terbesar Freeport Indonesia sampai tahun ini berasal dari tambang open pit yang cadangannya hanya tujuh persen dari total cadangan Freeport Indonesia. Sementara itu, cadangan Freeport terbesar terhitung mencapai 93 persen di tambang underground, seperti Grasberg Blok Cave, DMLZ dan DOZ.
 
Sejak 2010, Freeport telah membangun DOZ, tambang bawah tanah terbesar di dunia, dengan kapasitas 80 ribu metrik ton biji per hari. Pada 2016 ini, Blok Cave Grasberg dan DMLZ akan menghasilkan 24 ribu metrik ton per hari untuk mengantisipasi masa transisi tambang open pit.
 
Meskipun demikian, Freeport harus paham bahwa KK ialah rezim pertambangan lama, zaman Orde Baru. Hubungan antara KK dan pemerintah bersifat simetris. Risikonya negara tak berdaulat atas sumber daya alam (SDA). Padahal, KK hanya sebagai kontraktor, tetapi pemilik sah atas tanah dan SDA ialah negara. Posisi itu menyebabkan potensi kekayaan pertambangan yang begitu besar gagal mengangkat kesejahteraan rakyat. Lingkungan pun tak terurus, pembagian keuntungan dan upah tak adil. Semua itu disebabkan korporasi semakin lolos dari kontrol demokrasi dan peran negara tergerus sebatas menjaga kontrak.
 


 
Pascareformasi 1998, seiring dengan berjalannya otonomi daerah, di sektor pertambangan terjadi tahap penting yang harus diperhatikan seluruh perusahaan tambang. Rezim kontrak karya harus berubah menjadi izin usaha pertambangan (IUP) sebagaimana diamanatkan UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dengan begitu, keputusan peralihan KK menjadi IUPK bukan hanya keputusan pemerintah atau Menteri ESDM Ignasius Jonan. Keputusan itu ialah perintah konstitusi. Pemerintahan Jokowi-JK hanya menjalankan perintah konstitusi yang mengamanatkan pertambangan strategis harus dikendalikan negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
 
Pasal 169 ayat (b) mengatakan semua KK wajib diubah menjadi IUPK. Tujuannya mengembalikan amanat konstitusi UUD 45 yang menegaskan pertambangan strategis dikendalikan negara untuk kesejahteraan rakyat. Peralihan status kontrak berimplikasi langsung pada penguatan peran negara. Negara menjadi kuat dan korporasi harus patuh pada aturan main yang ditawarkan negara.
 
Meskipun demikian, UU Minerba bukan tanpa cacat. UU itu hanya mengatur pertambangan berskala kecil (IUP). Sementara itu, KK ialah rezim kontrak berskala besar. Izin IUP hanya dikeluarkan pemerintah daerah (bupati, wali kota, dan gubernur). Kekuasaan besar yang diberikan konstitusi ini kerap disalahgunakan pemda karena UU itu tanpa memberi ruang partisipasi bagi warga negara untuk mengambil keputusan soal investasi. Negara kelihatan perkasa, menggunakan paksaan administratif dan legalnya untuk mencaplok lahan warga hanya untuk mendapat uang dari korporasi tambang.
 


 
Risikonya, dari 10.922 yang diterbitkan pemda, hanya 6.042 yang clear and clean dan 4.880 IUP ilegal. Pertambangan di daerah pun kerap mendapat penolakan warga lokal karena merusak lingkungan, hutan, menyabotase lahan pertanian dan permukiman warga.
 
Namun, selain memberi ruang bagi penguatan negara, UU Minerba memberi pengecualian terkait dengan IUPK. IUPK tetap dikontrol pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah. Dengan begitu, korporasi wajib tunduk kepada pemerintah. Pemerintah berhak menagih pajak dan royalti dan memerintahkan korporasi tambang membangun smelter agar memberi efek pelipatan bagi pembangunan. Itulah landasan hukum mengapa Freeport harus beralih menjadi IUPK.
 
Sangatlah keliru jika Freeport mengancam untuk membawa perkara ini ke arbitrase internasional. Pemerintah pasti memiliki pijakan hukum sangat kuat bahwa korporasi asing yang beroperasi di wilayah NKRI wajib mematuhi aturan hukum yang berlaku. Korporasi tak pada posisinya mengatur pemerintah.
 
Freeport malah melakukan blunder besar jika menggugat ke arbitrase internasional. Misalkan Freeport menang di arbitrase, paling banter keputusan itu hanya berlaku sampai akhir masa berlaku kontrak 2021. Pemerintah bisa memukul balik Freeport karena dua tahun sebelum masa kontrak berakhir 2019 berhak memutuskan kontrak.
 
Ruang renegosiasi
 
Masih ada ruang melakukan renegosiasi kontrak sekaligus mencari win-win solution. Freeport boleh saja bernegosiasi dengan pemerintah akan membangun smelter tembaga di Gresik tepat waktu, dengan catatan mendapat perpanjangan kontrak dan kepastian hukum dari pemerintah. Persoalannya selama ini Freeport terlalu bandel. Jika Freeport sudah memutuskan pembangunan smelter tanpa banyak protes, saya yakin polemik dengan pemerintah tak sebesar ini.
 
Ferdy Hasiman
Peneliti Alpha Research Database Indonesia

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan