Secara umum, sepak bola Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi-JK tidak banyak mengalami perubahan. Malah, banyak yang bilang mengalami penurunan.
Memang, sebelum Jokowi-JK resmi memimpin Indonesia pada 20 Oktober 2014, sepak bola Indonesia sudah bermasalah. Tapi, masalah itu malah semakin menggila dengan hadirnya sosok Imam Nahrawi sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora).
Dipercaya untuk membenahi sepak bola Indonesia, Menpora justru sibuk "berperang" dengan PSSI yang saat itu baru bersatu dengan diangkatnya Ketum PSSI versi KPSI, La Nyalla Mattalitti sebagai waketum PSSI.
Imam dan La Nyalla kerap beda suara soal bagaimana membangkitkan kembali sepak bola Indonesia. Termasuk saat merumuskan jumlah tim yang berhak tampil pada Liga Indonesia tahun 2015. Singkat cerita, liga bertajuk QNB League yang sempat dijalankan PSSI selama beberapa pekan pun akhirnya dibatalkan.
Dari sini, perseteruan antara Kemenpora dan PSSI kian menjadi-jadi. Imam dan La Nyalla makin menunjukkan diri tidak sehati. Puncaknya, hasil KLB PSSI pada 18 April yang menunjuk La Nyalla sebagai Ketua umum dianulir Imam lewat SK pembekuan PSSI yang dikeluarkan sehari sebelum tanggal KLB PSSI. Pemerintah menegaskan tidak mengakui seluruh kegiatan PSSI di bawah komando La Nyalla.
Perang dua tokoh ternama di Jawa Timur ini kian nyata. La Nyalla coba melobi FIFA, tapi Imam tetap kokoh pada keputusannya. FIFA akhirnya putus asa. Per tanggal 30 Mei 2015, Induk organisasi sepak bola dunia itu menjatuhkan sanksi pembekuan kepada Indonesia.
Indonesia praktis tidak bisa berlaga di kompetisi resmi di bawah bendera FIFA. Liga pun tidak bisa menggelora karena tidak memiliki muara.
Pro-kontra pun terjadi. Ada yang mencaci, ada juga yang mensyukuri. Mereka yang mensyukuri berharap agar sanksi ini jadi wadah rekonsiliasi untuk menata kembali sepak bola negeri menuju prestasi. Bahkan Presiden Jokowi.
"Kita ini ingin ikut event internasional apa prestasi? Kalau hanya ingin event internasional tapi selalu kalah, kebanggaan kita ada dimana?" ujar Jokowi menjawab desakan sejumlah kalangan agar ia menginstruksikan Menpora mencabut SK Pembekuan.
Sebagai ganti akibat terhentinya kompetisi, Pemerintah menggelar berbagai turnamen mini yang tujuannya agar pemain tetap bisa mengais rezeki. Mulai dari Piala Presiden, hingga Piala Sudirman terus digulirkan untuk menjalani pekan demi pekan selama sanksi FIFA masih bertahan.
Setelah satu tahun mati suri, sepak bola Indonesia bisa kembali unjuk gigi. Kemenpora pada Mei 2016 akhirnya mencabut SK Pembekuan PSSI yang kemudian diikuti dengan pencabutan sanksi oleh FIFA. Sepak bola Indonesia kembali diakui dunia. Sang Garuda akhinya bisa kembali meng-angkasa.
Baca juga:Riedl tak Pusingkan Peringkat Timnas Indonesia di Ranking FIFA
Negara tetangga Malaysia pun jadi korban perdana skuat Garuda. Bertajuk laga uji coba, Timnas Indonesia menandai kembalinya mereka ke pentas dunia dengan gaya. Boaz Solossa dkk, di bawah komando Alfred Riedl mengganyang Malaysia (3-0) untuk membuktikan pada massa bahwa mereka bukan hanya penggembira pada Piala AFF 2016 di Filipina, November mendatang.
Pencabutan sanksi belum sepenuhnya membuat permasalahan di sepak bola Indonesia sirna. Masih ada masalah yang harus dibenahi Pemerintahan Jokowi-JK. Salah satunya adalah mengawal jalannya Kongres PSSI untuk mencari ketua umum dan pengurus PSSI yang bersih dan bisa diandalkan untuk memajukan sepak bola negeri.
Untuk masalah ini, klub-klub dan asprov PSSI sebagai pemilik suara memegang kendali. Mereka harus memilih pribadi yang tulus dan punya potensi membangkitkan sepak bola negeri, bukan pribadi yang hobi umbar janji dengan iming-iming posisi.
Video: Harapan Atlet di Dua Tahun Pemerintahan Jokowi-JK
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(ACF)