\ Jangan Cengeng
Shin Tae-Yong. (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/wsj)
Shin Tae-Yong. (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/wsj)

Jangan Cengeng

Bola timnas indonesia
Arpan Rahman • 05 Januari 2020 16:22
SHIN Tae-yong ditunjuk sebagai manajer-pelatih tim nasional Indonesia. Sampai sehebat apa dia akan membawa kita berkiprah di kancah internasional?
 
Dari 38 pelatih yang pernah membesut timnas, Shin merupakan pelatih Asia kedua dalam rentang 68 tahun setelah Choo Seng Quee asal Singapura. Sebelumnya tercatat 20 pelatih asing dari berbagai kebangsaan lain sempat menangani skuat Garuda.
 
Tidak semua pelatih asing sukses meracik timnas senior. Banyak pula yang mendapat hasil minor.
  Toni
 
Hanya satu yang mencapai prestasi fenomenal, Toni Pogacnik, selama sembilan tahun (1954-1963). Tapi kisahnya berakhir tragis. Ia dikhianati pemainnya sendiri.
 
Pelatih asal Yugoslavia itu sampai menangis saat membesuk para pemain timnas senior yang mendekam di penjara karena terlilit kasus suap. Sejak itu jejak langkah sepak bola Indonesia terhapus nyaris habis di level Asia.
 
Toni bukan menangani timnas senior saja. Namun dia juga membentuk banyak pemain junior, yang di kemudian hari menjadi tulang punggung timnas senior. Buah asuhan dari tangan dinginnya terbukti bertuah mumpuni.
 
Saat itu, PSSI bahkan belum lagi menggelar kompetisi nasional seperti Liga 1 sekarang. Pogacnik mendulang pemain dari kompetisi regional di Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
 
Setiap pulau mengadakan turnamen tersendiri. Masing-masing juaranya baru diadu untuk didaulat sebagai kesebelasan terbaik. Jadi pemain juga tidak dirundung capek luar biasa sebelum memasuki pemusatan latihan tim nasional.
 
Konon, metode yang dia gunakan ala Eropa Timur: penuh disiplin, keras sekali. Sedikit-banyak saya tahu hal itu sebab salah satu pemain junior yang sempat Pogacnik didik ialah pelatih saya sendiri.
 
Di sebuah klub sepak bola anak-anak U-10 yang rutin bermain di lapangan Universitas Sriwijaya, kami kerap mendengar hardikan dari mulut seorang lelaki setengah baya: "Kalau Toni yang latih kamu, sudah lama kamu disuruh pulang! Jangan cengeng!" begitu pedas kata-katanya menggembleng.
 
Jangan cengeng.
 
Awalnya kami tidak percaya dia dididik Toni. Satu hari, kejutan muncul: Aang Witarsa. Mantan bintang timnas di Olimpiade 1956, anak emas Toni, itu datang sore-sore menjenguk kami latihan. Almarhum Aang bilang, mereka berdua bekas anak buah Toni. Rasa tak percaya kami pun pudar.
 
Shin
 
Korea Selatan mengalahkan Jerman di Piala Dunia 2018. Saat itu, Shin Tae-yong pelatih yang menang.
 
Dia mengaku sebelum itu mempelajari 40 video pertandingan Jerman. Selain mengulas secara mendetail kekuatan dan kelemahan satu per satu pemain lawan yang akan dihadapi timnya.
 
Kini, Shin menjadi pelatih Indonesia dengan durasi kontrak empat tahun. Katanya, kendala pemain timnas senior kita tak lain dari aspek lemahnya stamina.
 
Shin juga harus memperhatikan lebih cermat banyak kebiasaan buruk pemain. Misalnya, beberapa pemain timnas -- baik senior maupun junior -- sering menoleh sebentar, terkadang melambaikan tangan ke arah bangku cadangan kalau dia gagal memaksimalkan peluang atau berbuat kesalahan di dalam lapangan.
 
Gestur seperti itu tidak bagus buat mental bertanding. Tentu maksudnya minta maaf kepada pelatih. Itu maksud baik. Tapi jelas akan mengganggu konsentrasi untuk menghadapi lawan. Apapun yang terjadi di lapangan adalah urusan pemain dalam pertandingan. Jangan pernah terpengaruh sama orang di luar lapangan.
 
Naga-naganya Shin mengisyaratkan hendak lebih menggenjot sisi fisik. Pendekatan ini tidak keliru. Daya tahan pemain memang kedodoran. Tapi pemain dengan kebiasaan buruk perlu juga diperhatikan. Agar tidak salah panggil dan salah pilih.
 
Dulu, dua pelatih asing sudah pernah melakukannya. Joao Barbatana dari Brasil ketika menukangi PSSI Garuda I membawa Marzuki dkk ke barak tentara di Cimahi untuk digojlok secara militer. Anatoly Polosin asal Rusia langsung menggiring Salahuddin cs berlari naik gunung sebelum ke SEA Games 1991.
 
Di Negeri Ginseng era 70-an, malah ada klub Korsel yang ditangani dengan kejam. Bila kalah bertanding, mereka selalu mendapat hukuman. Pemainnya dibariskan di tengah lapangan, kemudian satu demi satu disiksa, dipukul dan ditendang dengan jurus Taekwondo. Sampai semua pemain bergelimpangan, terjatuh, menderita tidak terperi. Lebih sakit dari sekadar rasa kalah habis main bola.
 
Perlakuan itu lalu bocor ke media. Publik Korea segera heboh, menganggapnya sebagai kekerasan olahraga. Sejak itu klub-klub domestiknya memperbaiki metode latihan yang kelewat keras menjadi sedikit lebih manusiawi.
 
Akankah Shin sesukses Toni? Atau dia hanya akan berakhir tragis mengulangi sejarah: dikhianati pemainnya sendiri. Agar harapan ini sedikit lebih manusiawi, tidaklah usah berharap banyak.
 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


(KAH)
LEAVE A COMMENT
LOADING
social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif