Per tanggal 11 Mei 2016, Menpora telah menanda tangani surat pencabutan sanksi pembekuan PSSI. Menpora beralasan, surat pencabutan SK pembekuan PSSI ditanda tanganinya demi melaksanakan keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi dari Kemenpora terkait SK Pembekuan. Selain itu, Menpora dalam hal ini pemerintah juga ingin menghormati instruksi dari FIFA dan juga keinginan para pemilik suara (voters) dalam melakukan perubahan internal federasi.
Surat pencabutan SK pembekuan PSSI kemudian langsung dikirim ke FIFA yang akan menggelar kongres di Mexico City, Meksiko pada 12-13 Mei mendatang. Tujuannya jelas, agar Indonesia dalam hal ini PSSI bisa segera lepas dari sanksi FIFA dan bisa kembali tampil di pentas internasional.
Kini, bola ada di tangan anggota Exco FIFA. Apakah mereka akan menerima surat dari Menpora dan kemudian mencabut sanksi yang mereka jatuhkan? Atau justu permasalahan Indonesia ini akan diteruskan ke level kongres sehingga memaksa Indonesia harus menunggu hingga kongres berikutnya untuk bisa lepas dari sanksi?
Masyarakat Indonesia, khususnya pecinta sepak bola tentunya tidak berharap Exco FIFA menaikkan sanksi ke level kongres. Kita semua sudah muak terkucilkan dari dunia internasional yang kemudian berdampak langsung pada anjloknya ranking Indonesia ke level terburuk sepanjang sejarah. Indonesia kini ada di peringkat 185, atau 10 tingkat di bawah negara yang sempat jadi bagian Indonesia, Timor Leste!

Jika ditelisik ke belakang, kisruh terkini yang membuat Indonesia terisolir dari dunia luar didasari oleh permasalahan yang bisa dibilang tidak terlalu krusial. PSSI dan Kemenpora selaku pemangku kepentingan, sama-sama memiliki pedoman yang mereka yakini bisa membuat sepak bola Indonesia maju.
Perseteruan diawali ketika PSSI hendak menggulirkan kompetisi yang bernama QNB League (ISL). Akan tetapi, ketika sudah menyusun format kompetisi dan memastikan ada 18 klub yang ambil bagian, Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) yang mewakili Kemenpora, memberikan persyaratan yang cukup menyulitkan. Salah satunya adalah, setiap klub wajib memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Tujuan BOPI memberikan syarat ketat ini sebenarnya bagus. Mereka tidak ingin kejadian seperti musim-musim sebelumnya di mana klub mengalami kebangkrutan di tengah musim, serta penunggakan gaji pemain kembali terjadi.
PSSI mencoba mengakomodir keinginan BOPI dan meminta klub melengkapi syarat yang diinginkan. Sayangnya, dari total 18 tim yang rencananya akan berlaga di QNB League, hanya 16 tim yang dinyatakan lolos verifikasi. BOPI tidak memberikan rekomendasi untuk Persebaya Surabaya dan Arema Conus karena aspek lagalitas. Mereka dilarang ikut berkompetisi jika tidak segera menyelesaikan masalah legalitas.
PSSI pun “melawan” dengan tidak menggubris tuntutan BOPI dan kemudian tetap menjaankan kompetisi QNB League pada 4 April 2015. BOPI yang kesal kemudian melayangkan surat teguran pada 8 April yang isinya meminta PSSI untuk tidak mengikutsertakan kedua klub tersebut dalam kompetisi.
Namun, PSSI kembali menunjukkan penolakan atau resistensi. Alih-alih mengikuti kemauan BOPI, PSSI justru memutuskan untuk menghentikan QNB League, sehari berselang. Mereka beralasan, kompetisi dihentikan sementara karena kesulitan mengakomodir keinginan BOPI lantaran sudah menyusun jadwal QNB League dengan format 18 tim.
PSSI kemudian mengadukan masalah ini ke FIFA. Mereka beralasan BOPI dan pemerintah dalam hal ini Kemenpora sengaja mempersulit. FIFA pun menerima surat PSSI dan mengingatkan Pemerintah (BOPI dan Kemenpora) untuk tidak melakukan intervensi kepada PSSI.
Kemenpora kemudian merespons manuver PSSI ini dengan mengirimkan surat peringatan kedua pada 15 April. Surat peringatan kedua (SP2) ini dilayangkan karena PSSI telat memberikan surat balasan meski mendapatkan waktu satu pekan. Dalam SP2 ini, Kemenpora hanya memberikan waktu 1x24 jam bagi PSSI untuk membalas.
Tidak juga mendapat respons dari PSSI yang tengah bersiap menggelar Kongres Luar Biasa di Surabaya, Kemenpora akhirnya mengirimkan surat peringatan ketiga (SP3), sehari berselang. Akan tetapi, ini juga tidak membuahkan hasil.
Dan puncaknya, Menpora Imam Nahrawi mengeluarkan SK Pembekuan PSSI pada 17 April. Dalam SK yang beredar ke media pada 18 April atau berbarengan dengan KLB PSSI itu, Menpora menegaskan tidak mengakui segala aktifitas PSSI. SK ini juga secara tidak langsung menggugurkan hasil KLB PSSI di Surabaya di mana La Nyalla Mattalitti terpilih sebagai Ketua Umum untuk menggantikan Djohar Arifin Husin yang telah habis masa baktinya. Pemerintah juga melarang semua kegiatan sepak bola yang diprakarsai PSSI. Walhasil, kompetisi pun tidak berjalan.
PSSI kemudian mengadukan pembekuan ini ke FIFA, dan akhirnya FIFA menjatuhkan sanksi kepada Indonesia pada 30 Mei 2015 dengan alasan adanya intervensi pihak ketiga. Sanksi FIFA ini sontak membuat kompetisi Indonesia seakan mati suri. Tidak ada lagi hingar bingar kompetisi. Jawara ISL 2014 Persib Bandung dan Persipura (runner-up) juga akhirnya tidak bisa mentas di ajang internasional seperti Liga Champions Asia dan AFC Cup.
Efek dari sanksi FIFA perlahan tapi pasti mulai terasa. Pemain sebagai pihak yang terimbas langsung, mulai menjerit. Satu per satu mereka berteriak soal kondisi finansial mereka. Berkarier di luar negeri pun akhirnya jadi pilihan demi istilahnya membuat dapur tetap ngebul.
Setali tiga uang dengan pemain, klub-klub pun tidak bisa bertahan. Lantaran tidak adanya dana masuk dari sponsor, mereka otomatis tidak bisa menggaji para pemainnya. Alhasil, satu per satu pemain pun mereka lepas.
Kemenpora cukup sadar dengan situasi ini. Mereka pun membentuk Tim Transisi yang fungsinya untuk menggantikan peran PSSI. Tim yang beranggotakan orang-orang yang memiliki background berbeda-beda ini ditugaskan membuat sebuah kompetisi tau turnamen untuk mengisi kekosongan jadwal.
Turnamen Piala Kemerdekaan yang diikuti klub-klub divisi utama menjadi turnamen pertama yang digagas Tim Transisi. Setelah itu, sepak bola Indonesia terus diramaikan oleh berbagai turnamen jangka pendek. Mulai dari Piala Presiden, Piala Jenderal Sudirman, hingga yang terakhir Piala Bhayangkara.
Kini, dengan dicabutnya SK pembekuan PSSI, masyarakat sedikit-banyak bisa berharap akan adanya perbaikan dalam sepak bola Indonesia. Tentunya jika pada kongres di Meksiko nanti FIFA mencabut sanksi terhadap PSSI.
Jika sudah demikian, kompetisi pun bisa kembali digelar dan Timnas Indonesia bisa kembali tampil di ajang internasional. Rencana Indonesia ke depan, seperti maju untuk mencalonkan diri sebagai tuan rumah Piala Asia 2023 bisa berjalan dengan baik.
Sementara dari dalam induk organisasi, wacana digelarnya Kongres Luar Biasa untuk menentukan pengurus serta ketua umum yang baru bisa jadi salah satu langkah untuk memperbaiki sepak bola Indonesia. Namun, yang harus diingat dan disadari semua pemilik suara yang nantinya akan memilih, mereka harus jujur dan memilih sosok yang memang dianggap paling kompeten untuk memimpin PSSI.
Kini, publik mengharapkan pencabutan SK pembekuan PSSI ini bisa benar-benar mengurai benang kusut yang terus terjadi di sepak bola Indonesia dalam hampir satu dekade terakhir.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(ADM)