Penyidik KPK Novel Baswedan. (MI/Rommy Pujianto).
Penyidik KPK Novel Baswedan. (MI/Rommy Pujianto).

Misi Terselubung TGPF Novel Baswedan

Medcom Files novel baswedan
M Rodhi Aulia • 19 Juli 2019 15:51
ALGHIFFARI Aqsa geleng-geleng kepala. Dia meragukan kemampuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mengungkap pelaku penyiraman air keras penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan.
 
Anggota tim advokasi Novel ini heran, motif penyiraman sudah diketahui. Tapi, sampai sekarang--TGPF tak kunjung menemukan pelaku penyiraman. Hasil temuan TGPF, motif balas dendam mendasari kasus penyiraman Novel. Penyidik senior KPK itu dianggap menggunakan kewenengannya secara berlebihan.
 
Enam bulan bekerja, TGPF hanya bisa merekomendasikan tiga orang terduga pelaku untuk dicari keberadaannya. Itu pun, TGPF tidak mengantongi identitas ketiga terduga pelaku. TGPF meminta aparat kepolisian untuk mencari ketiga orang yang dicurigai.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Tanpa identitas yang jelas, TGPF hanya memberikan petunjuk (clue) kepada aparat. Petunjuk pertama, seseorang yang sempat menyambangi kediaman Novel pada 5 April 2017. Kedua, dua orang yang sempat berada di dekat kediaman Novel, Masjid Al Ihsan, Kelapa Gading, Jakarta Timur pada 10 April 2017. Petunjuk terakhir, dua orang itu tiba-tiba muncul di tempat wudu masjid menjelang waktu Subuh. Penyerangan Novel terjadi pada Subuh 11 April 2017. Novel mengalami kerusakan pada mata kirinya akibat disiram air keras jenis asam sulfat H2SO4 yang berkadar larut tidak pekat, usai salat subuh.
 
"Pelakunya saja, belum terungkap. Kemudian motifnya sudah dapat. Canggih benar tim satgas bentukan Kapolri," kata Alghiffari di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta Selatan, Rabu 17 Juli 2019.
 

Misi Terselubung TGPF Novel Baswedan
Anggota tim advokasi Novel Baswedan, Alghiffari Aqsa. (MI/ROMMY PUJIANTO)
 

Kuat dugaan, motif balas dendam dilancarkan pelaku karena Novel secara berlebihan menggunakan wewenangnya mengusut enam kasus berkategori high profile. Penyebutan sejumlah kasus ini menambah kebingungan tim advokasi kasus Novel.
 
Enam kasus itu terdiri dari kasus korupsi KTP elektronik, kasus Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, kasus Sekjen Mahkamah Agung, kasus Bupati Buol, kasus Wisma Atlet Hambalang dan kasus penanganan sarang burung walet di Bengkulu. TGPF menduga Novel mendapatkan serangan balik karena mengusut salah satu dari enam kasus tersebut.
 
"Kasus yang mana kalau Novel menyalahgunakan kewenangan? Dan saksi yang mana, yang menyatakan itu?" ujar Alghiffari dengan nada heran.
 

Ironi TGPF

Selama 180 hari bekerja sejak 8 Januari 2019, kinerja TGPF tetap mendapatkan respons miring. Padahal TGPF sudah mewawancarai 40 orang, memeriksa 74 saksi, dan memeriksa 38 CCTV.
 
Komposisi TGPF juga tidak sembarang. Mereka terdiri dari 65 orang ahli dari berbagai unsur. Akan tetapi hasil kerja yang tertuang dalam 2700 halaman laporan penyelidikan, minim hasil.
 
Laporan TGPF malah dinilai 'melompat'. TGPF menyimpulkan dugaan motif, namun miskin dugaan terhadap pelaku definitif.
 
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad menilai laporan tim pencari fakta yang menyatakan motif penyerangan kepada Novel cukup mengejutkan. Karena bagaimana mendapatkan fakta tersebut, sementara pelaku belum ditemukan.
 
"Kalau didasarkan pada analisa, sumbernya apa yang dianalisa. Kalau tidak ada pelaku yang diketemukan maka pernyataan adanya motif tadi bersifat asumtif. Othak athik gathuk dalam bahasa Jawa," kata Suparji kepada Medcom Files beberapa waktu lalu.
 

Misi Terselubung TGPF Novel Baswedan
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad. (medcom.id)
 

Dalam konteks hukum, tekan Suparji, yang utama diadili adalah perbuatan dari pelaku. Kemudian dilihat ada motif atau niat jahatnya. Sesuai dengan nama tim pencari fakta, maka seharusnya laporan mereka harus berdasarkan fakta.
 
Sebanyak 65 orang yang tergabung dalam TGPF pasti tidak konyol dalam menyimpulkan sesuatu. Mereka terdiri dari para ahli dan pakar di bidangnya masing-masing, terutama hukum.
 
Namun mereka percaya diri melemparkan dugaan motif penyerangan Novel kepada publik, tanpa identitas definitif pelaku kepada aparat penegak hukum. "Saya kira ini memang agak ironi," tandasnya.
 

Misi Terselubung

Pengungkapan motif mendahului pelaku oleh TGPF atas kasus Novel tidak melulu menciptakan tanggapan negatif. Pengungkapan motif itu bisa jadi bagian dari misi terselubung TGPF sendiri.
 
Kriminolog dari Universitas Prasetiya Mulya, Rio Christiawan menilai motif itu belum tentu sekaligus harus mengungkap pelaku. Motif hanya berisi alur kejahatan dan latar belakang mengapa pelaku melakukan kejahatan.
 
"Tapi siapa pelakunya? Memang tidak serta-merta terungkap dengan diungkapnya motif. Tapi terungkapnya motif akan mempersempit kemungkinan menentukan siapa pelakunya," kata Rio kepada Medcom Files, Jumat 19 Juli 2019.
 
Dengan terungkapnya motif akan memudahkan aparat menentukan pelaku. Menurut Rio, seharusnya pengungkapan kasus ini mudah dilakukan karena konstruksi kriminalnya sederhana, mengingat model kejahatannya terencana dan konvensional (penganiayaan dengan air keras).
 
"Biasanya (pengungkapan) yang sulit itu jika melibatkan teknologi atau pembunuhan dengan media racun jenis baru," ujarnya.
 

Misi Terselubung TGPF Novel Baswedan
Kriminolog dari Universitas Prasetiya Mulya, Rio Christiawan. (Medcom/Wanda Indana).
 

TGPF memang ironi. Namun TGPF diduga secara tidak langsung membebani Novel soal pengungkapan identitas terduga pelaku yang dimaksud.
 
Maksudnya, TGPF tidak sekadar terkesan melemparkan kesalahan kepada Novel, karena dugaan motif penggunaan wewenang secara berlebihan. Tapi bisa jadi, TGPF diduga juga melemparkan beban identitas pelaku kepada Novel.
 
Pasalnya jauh-jauh hari sebelum TGPF terbentuk, Novel menyebut sosok jenderal kepolisian di balik penyerangan dirinya. Bahkan, Novel percaya diri mengaku mengantongi identitas itu dengan membeberkan pengakuan kepada sejumlah media, termasuk media asing.
 
"Ini informasi benar, meski saya tak bisa bilang bagaimana saya mendapatkannya," kata Novel pertengahan 2017 silam atau sekitar 18 bulan sebelum TGPF dibentuk.
 
Saat itu Novel menilai ada oknum jenderal yang merancang penyerangan dan memerintahkan pengaburan atau penghilangan barang bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara.
Oknum jenderal aktif ini pun dinilai memiliki pengaruh yang kuat, termasuk di tubuh kepolisian
 
Sayangnya pengakuan Novel sebatas itu dan ia nyaris tak pernah membeberkan lebih lanjut soal terduga pelaku hingga saat ini.
 
Rio menegaskan aparat diyakini sangat berhati-hati. Dari sisi motif yang terungkap, nampaknya aktor intelektualnya adalah orang memiliki akses pada kekuasaan.
 
"Akan sangat berisiko bagi TGPF jika menyebut tanpa dasar yang sangat kuat. Jika Novel yang menyebut maka situasi polisi dan TGPF akan lebih sederhana karena mereka ( polisi dan TGPF) hanya sebagai verifikator saja," terang Rio.
 
Terlepas benar atau tidak, lanjut Rio, jika Novel yang menyebut identitas pelaku maka konflik akan tetap pada Novel dan Mister X (oknum jenderal polisi yang disebut novel). Namun, jika polisi dan TGPF yang menyebut, maka konflik bisa bergeser menjadi antara polisi dan TGPF dengan Mister X.
 
"Secara kriminologis nampaknya pergeseran itu yang dihindari (misi terselubung TGPF soal hanya mengungkap motif saja)," tegas dia.
 
Artinya, jika Novel yang mengungkapkan, maka dampak negatifnya tidak terlalu meluas. Idealnya memang, tegas Rio, polisi wajib mengungkap setiap kejahatan. Namun dalam kondisi korban lebih mengetahui siapa pelakunya, maka tidak tertutup kemungkinan korban memberitahu pada polisi. Hanya tantangannya pada perlindungan Novel pasca-diungkapnya pelaku.
 
"Ini tugas LPSK dan polisi harus berkomitmen menuntaskan kasus ini hingga ke pengadilan," pungkas Rio.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(WAN)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan