Jokowi sangat menikmati suasana pagi di taman seluas 30 hektare itu. Selama 30 menit lebih, Jokowi dan PM Turnbull berjalan kaki mengelilingi taman yang berlatar belakang pemandangan Opera House Sydney dan Harbour Bridge. Sesekali mereka berinteraksi dengan warga yang berolahraga. Kegiatan itu dilakukan Jokowi saat kunjungan kenegaaran di Australia.
Warga negeri kanguru memang memiliki budaya bertaman yang tinggi. Jadi wajar, PM Turnbull mengajak Jokowi mengunjungi taman hanya untuk bersantai dan berolahraga. Tak heran, kota-kota Australia seperti Melbourne dan Sydney menjadi langganan daftar kota paling layak huni di dunia. Itu bukan karena memiliki banyak mal, tapi memiliki Ruang Terbuka Hijau yang luas.
Pada 1996, Melbourne memperkenalkan diri sebagai city garden. Tak lama, Singapura hadir dengan konsep kota hijau, City in the Garden menjadi slogan kota singa itu. Di era 90-an, kota-kota di dunia berlomba-lomba membangun kota berkonsep green city. Bak bumi dan langit. Ibu Kota Jakarta justru berkembang menjadi kota super sibuk. Bangunan pencakar langit tumbuh subur sebagai tanda pesatnya perkembangan kota. Lahan-lahan terbuka hijau (RTH) menjelma menjadi kawasan bisnis dan pemukiman. Bagaimana itu bisa terjadi? Bagaimana nasib kota Jakarta di masa depan? Bisakah Jakarta dapat memenuhi target membangun 30 persen RTH pada 2030?
medcom.id menemui Guru Besar Ilmu Manajemen dari Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, untuk membahas persoalan ini. Berikut petikan wawancara repoter medcom.id, Wanda Indana saat menyambangi Rhenald Kasali di Rumah Perubahan, Jalan Mabes Hankam, Jatimurni, Pondokmelati, Bekasi, Rabu 6 Maret 017.

Warga memanfaatkan fasilitas di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Cililitan, Jakarta Timur. (MI/Ramdani)
Bagaimana pandangan Anda tentang luas RTH di Jakarta yang masih jauh dari ketentuan minimal yang diatur dalam UU Penataan Ruang, Prof?
Ciri kota di Asia itu mega city alias kota super besar, padat, besar, semua orang tinggal jadi satu di situ. Jakarta menjelma menjadi Greater Jakarta. Depok menyatu dengan Jakarta, Bekasi gabung ke Jakarta, Tangerang, Bogor, padat. Akhirnya di tengah-tengah tidak ada ruang terbuka lagi. Padahal dulu anak-anak bermain di lapangan depan rumah, selalu ada tanah kosong. Sekarang tanah-tanah kosong dijual menjadi tempat pemukiman, tanah-tanah pinggir sungai dijual jadi tempat pemukiman, semakin padat, sehingga masyarakatnya stres, punya sepeda motor, mobil, knalpot di mana-mana, kemacetan di mana-mana.
Ini tidak ramah bagi anak-anak. Warga pun akhirnya stress dan agresif. Stress itu impact-nya kriminalitas, tawuran, buang sampah sembarangan, orang yang berjarak dengan anak-anaknya, anak-anak tidak menjadi kreatif karena tidak memiliki tempat bermain. Mereka hanya bisa bermain di sela-sela jalur kereta api, jika kereta lewat, itu ancaman bagi mereka.
Karena itu, kita perlu memikirkan ruang terbuka yang hijau, friendly, bisa menimbulkan daya kreasi bagi anak-anak dan keluarga. Kalau sekarang di mal, mal itu yang diisi banyak orang adalah tempat bermain, sedikit saja itu pasti penuh, sama tempat makan. Makanya obesitas meningkat di Indonesia.
Jadi, wajar jika pemerintah Jakarta sekarang gencar bangun taman, ya?
Gagasan itu kan diniatkan dalam perencanaan, dan pelayanan. Menurut saya itu sangat bagus. Makanya ketika ada lahan kosong tidak dibangun super blok, tapi dipakai untuk lahan yang ramah anak. Bahkan pemerintah harusnya bukan menjual.
Sebelumnya banyak lahan kosong yang dijual. Kita terbiasa menjual lahan atau memanipulasi lahan untuk kepentingan pihak pengembang. Malahan sekarang pemerintah membeli tanah. Saya mendengar kalau Gubernur (DKI JAKARTA) mengatakan kalau ada masyarakat yang memiliki tanah, jual ke Pemda.
Apakah stigma tentang warga Jakarta yang stress, individualis, dan agresif itu terbentuk dengan sendirinya? Jangan-jangan karena memang selama ini pemerintahnya tidak punya perencanaan ruang publik sebagai media interaksi sosial yang memadai bagi warganya.
Oh ada, tapi selalu kalah sama pengembang. Misalnya Kasablanka, ada jalan layang tinggi sekali ke atas, tapi sedikit orang yang pakai kan? Kenapa? Karena ujungnya berhenti di mal. Dari sini (Bekasi) ke PIK (Pantai Indah Kapuk), itu ujungnya kawasan pengembang itu.
Jadi, sulit bagi saya kalau membantah perencanaannya itu tidak dimanipulasi atau diarahkan oleh pengembang. Sangat jelas itu, terang-terangan. Orang kaya yang memiliki tanah yang bisa membelokkan perencanaan perkotaaan. Resapan air berubah, hutan berubah, jalan layang, jalan tol masuk ke area mereka, bahkan jalan tol exit area-nya pun bisa masuk ke mereka.
Sementara Walini, sebuah perkebunan yang dikelilingi oleh orang-orang miskin di pinggi jalan tol, itu gak ada exitnya. Mereka harus memutar jauh sekali untuk masuk ke dalam tol. Bukan hanya Jakarta. Kota-kota lain juga sama, begitu pengembang masuk. Perencanaan kotanya di-drive oleh para pegembang.
Bagaimana penilaian Anda tentang upaya Pemprov DKI Jakarta saat ini, apakah target RTH 30 persen bisa tercapai?
Tentu perlu waktu. Banyak sebab. Pertama, selalu terbentur masalah pengadan tanah. Tidak semua masyarakat mau menjual tanahnya kepada Pemda. Begitu ada, timbul pecaloan. Karena ada sumber uang di situ. Ini berkaitan dengan politik.
Kedua, persoalanya apakah pada area yang cocok. Jangan-jangan wilayah itu adalah wilayah perkantoran. Katakanlah di Sudirman, sudah Rp150 juta ke atas harga tanah per meter, tidak murah, barangkali juga tidak banyak anak-anak di situ. Dibikin pasar tradisional saja, sepi di situ.
Ada ketentuan Perda, kalau mengalihkan fungsi lahan harus persetujuan DPRD. Jadi ada rigidity (tunduk aturan), seharusnya banyak yang bisa dialihkan misalnya pada fasilitas-fasilitas yang tidak terpakai. Terutama pasar, pasar itu tidak boleh dialihkan menjadi hotel, apartemen.
Sejumlah perusahaan swasta pernah membangun taman atau RPTRA di kawasan Ibu Kota sebagai bentuk tanggung jawab sosial (CSR). Pemrov DKI lebih suka membangun ruang terbuka menggunakan dana CSR ketimbang menggunakan anggaran daerah. Terkait hal ini, bagaimana Pandangan Anda?
Saya melihat, CSR itu solusi kreatif Pemda untuk keluar dari beban politik ketergantungan penggunaan anggaran negara (APBD), karena anggaran daerah itu prosesnya berhubungan dengan para politisi yang tidak mengerti apa yang diinginkan masyarakat. Dan politisi ini selalu mencari celah untuk mengatur, dan mempunyai perusahan-perusahaan yang terkait dengan politik kepentingan.
Perusahaan-perusahaan di daerah itu banyak menikmati fasilitas-fasilitas dari daerah, jadi mereka banyak diminta CSR-nya. Semua perusahaan itu memiliki dana CSR, baik itu ada hubunganya dengan daerah karena mereka melanggar sesuatu makanya ditagih, bisa diberi dispensasi asalkan memberikan kontribusi tadi. Tetapi juga ada perusahaan yang bisa membantu, dan itu dalam dunia pendidikan, kesehatan. Wajar sekali itu. Biasanya social entrepreneur juga melakukan itu. Kali ini yang melakukan daerah, jadi ini solusi kreatif. Pemda memiliki daya gerak atau daya dorong yang lebih besar dari social entrepreneur.
Pemerintah kan bisa menggunakan daya kreasinya untuk menggunkan dana CSR yang difungsikan untuk masyarakat. Karena perusahaan itu telah menikmati banyak keberuntungan dengan berada di pusat Ibu Kota. Itu solusi kreatif, sehingga dana APBD bisa digunakan untuk yang lain atau ditabung. Ketika dana APBD itu tidak bisa keluar karena satu dan lain hal, karena proses politik yang panjang, karena pertengkaran eksekutif dan legislatif, maka saya pikir dana CSR bisa jadi solusi kreatif.
CSR disebut-sebut telah digunakan perusahaan sebagai cara menghindari beban pajak yang besar. Apalagi, dalam konteks CSR untuk pembangunan taman ini manfaat yang berlipat diperoleh oleh perusahaan. Selain reputasi meningkat, perusahaan pun bisa beriklan di taman yang disalurkan CSR-nya. Bagaimana pandangan Anda dalam hal ini?
Kalau CSR, perusahaan tidak minta imbalan. Kecuali ada (logo perusahaan) di prasasti taman ini dibangun oleh siapa, hanya itu.
Kalau taman Pemda ada LCD videotron, itu bukan CSR, itu promosi. Harusnya kalau promosi, dan sebagainya tergantung perjanjian. Misalnya si Tahir Foundation menyumbang bus, nilainya sekian miliar rupiah. Masa sih tidak boleh ada tulisan 'sumbangan dari Tahir Foundation'? Masa nggak boleh? Boleh kan? Tergantung perjanjian. Jadi, itu solusi kreatif. Kalau menurut saya hal itu jangan dibikin rigid (kaku). Oh itu harus bayar dulu, pajak segala macam. Hmmm... saya bilang itu juga solusi kreatif untuk memberikan pelayanan.
Bisa diperjelas, Prof?
Kalau dalam dunia bisnis dan pembangunan, kita tidak se-rigid begitu. Karena kalau kita se-rigid itu, delivery-nya tidak sampai ke tangan masyarakat. Akan muncul orang-orang rewel yang mempersoalkan masalah itu. Tapi menurut saya harus ada terobosan kreatif. Kami di UI mendapat CSR dari sebuah perusahaan asuransi, kami senang hati menerimanya. Meskipun perusahaan asuransi itu bilang ' Pak Rhenald, kami hanya menyumbang'. Tapi, (logo) di prasasti oke, di peresmian oke, begitu. Boleh-boleh saja.
Siapa yang paling diuntungkan dengan model pembangunan taman seperti itu? Entitas bisnis atau publik?
Kan hidup ini timbal balik, ya. Walaupun kita megatakan itu harus bayar pajaknya nih, kan dia sudah bayar dengan memberikan sumbangan sekian, yang langsung dimanfaatkan masyarakat. Hal seperti jangan dibikin rigid.
Sejumlah taman masih sepi pengunjung. Apakah ini cerminan budaya bertaman pada masyarakat masih rendah?
Ini masalahnya gaya hidup sih. Masyarakat menengah tak bisa dihindari, pasti ke mal. Mereka cari yang AC, bisa berpampilan enak di situ. Orang yang ke mal, tak bisa dihindari. Biarkan saja. Tapi taman kita harus ditingkatkan, seperti fasilitas wi-fi dan sebagainya. Dan yang tak hanya ramah bagi anak, tapi ramah bagi semua, untuk keluarga muda, dibikin friendly. Seperti Monas jaman dulu kan ada orang senam, latihan tai-chi, komunitas-komunitas berkumpul.
Saran saya, orang kaya yang sebagian kekayaanya berupa tanah diserahkan kepada pemerintah, jangan hanya dikontrakkan saja. Orang kaya banyak sekali di Jakarta, yang tanahnya banyak tapi nggak diapa-apain, hanya dipagari, kosong, tidak boleh dipakai. Nah, menurut saya, orang kaya yang mau memberikan tanah untuk pembangunan ruang hijau harus diberi penghargaan. Kita perlakukan sebagai warga kehormatan, karena telah berkontribusi, memberikan lahan untuk kepentingan masyarakat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News