Bupati Trenggalek Emil E Dardak (berbatik kuning) dalam diskusi yang membahas tentang hambatan dan tantangan percepatan pembangunan infrastruktur di daerah, Jakarta, Sabtu (27/2/2016). (MI/Adam Dwi)
Bupati Trenggalek Emil E Dardak (berbatik kuning) dalam diskusi yang membahas tentang hambatan dan tantangan percepatan pembangunan infrastruktur di daerah, Jakarta, Sabtu (27/2/2016). (MI/Adam Dwi)

Komitmen Ruang Publik

Medcom Files taman kota
Coki Lubis • 06 Maret 2017 14:06
medcom.id, Jakarta: Keberadaan Perserikatan Kota-kota dan Pemerintah Daerah (United Cities and Local Government/UCLG) seperti membenarkan fakta bahwa semakin banyak orang yang lebih memilih tinggal di kota. Kota menjadi mesin kesejahteraan bagi masyarakat.
 
Karenanya, organisasi internasional yang turut diinisiasi PBB ini gencar mendorong terciptanya fungsi positif kota. Perkotaan harus ditata baik supaya warganya merasa nyaman, bisa produktif, dan kebutuhan dasarnya dapat terpenuhi. Salah satunya pengupayaan ruang terbuka publik.
 
Bagi Indonesia, tampaknya rekomendasi ini harus berjalan sukses, tatkala salah satu kepala daerahnya didaulat sebagi wakil presiden UCLG. Adalah Bupati Trenggalek, Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak, yang didaulat menjadi Wakil Presiden UCLG wilayah Asia Pasifik pada September 2016 lalu.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Bagi Emil, dengan atau tanpa rekomendasi organisasi internasional itu, ruang publik adalah kebutuhan dasar masyarakat perkotaan yang wajib dipenuhi. Berikut petikan wawancara khusus yang dilakukan Coki Lubis dari medcom.id dengan salah satu kepala daerah termuda di Indonesia itu, yang juga Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Jumat, 3 Maret 2017.
 

Beberapa bulan lalu (Oktober 2016) PBB menginisiasi konferensi pemukiman dan pembangunan kota berkelanjutan atau Konferensi Habitat III, di Quito, Ekuador. Bagaimana pandangan UCLG terhadap isu minimnya ruang publik dan ruang terbuka hijau (RTH) yang muncul di sana?
 
UCLG tentu terlibat dalam Habitat III. Saat itu ada agenda perkotaan yang baru, yakni, komitmen untuk mewujudkan tata kota yang berorientasi kepada warga. Artinya, kita harus merubah kota yang berorientasi kepada mobilitas kendaraan menjadi mobilitas orang. Contohnya, mendorong banyak pedestrian, termasuk mengedepankan sinergitas antara masyarakat dengan alam.
 
Nah, di situlah ruang publik dikedepankan, tentu yang bersifat non komersial atau untuk umum. Inilah yang menjadi komitmen dari para kepala daerah, khususnya gubernur atau wali kota di pertemuan itu.
 
Benarkah bila dikatakan pengupayaan ruang publik bisa mendongkrak indeks kebahagiaan masyarakat?
 
Sangat terkait! Artinya, saat tidak ada ruang publik, kota tidak mendorong masyarakat itu merasa nyaman, yang selanjutnya berdampak pada produktifitas masyarakat. Karenanya salah satu ukuran dari indeks kebahagiaan adalah ruang interaksi masyarakat. Di ruang publik inilah masyarakat bisa saling berinteraksi.
 
Waktu di Quito itu, tempat kami melakukan konferensi, ada central park (pusat RTH) yang besar sekali. Central park itu dirancang sebagai tempatnya masyarakat kota berkumpul. Walaupun ada arsitekturnya, bangunannnya, tapi juga sangat berorientasi ekologikal. Banyak tanamannya.
 
Seperti di Manhattan, New York, Amerika Serikat, padat, tetapi memiliki central park yang besar sekali. Perannya juga besar, memfasilitasi ruang interaksi antar warga, dan merujuk kepada RTH. Inilah yang dinginkan orang, ruang publik, tapi juga ruang hijau. Bisa mendongkrak indeks kebahagiaan.
 
Dalam pergaulan internasional, saat Anda berinteraksi dengan wali kota sedunia, apa pandangan mereka tentang kota besar di Indonesia?
 
Mereka menyadari bahwa tantangan terbesarnya adalah keterbatasan biaya, dan kota sudah salah desain sejak awal. Tapi, bagaimana kita memulihkan sesuatu yang salah, itu intinya.
 
Banyak yang seperti itu, mewarisi kesalahan, seperti mengizinkan masyarakat yang membuat bangunan di atas saluran air misalnya. Di beton, turut mengakibatkan kerawanan banjir, itu kan hal yang berdampak kepada kelanjutan kota, sustainabilty. Ya. Warisan yang sulit dibenahi.
 
Makanya komitmen harus dibangun. Kebetulan saya satu pembaca deklarasi bersama di Habitat III PBB itu. Salah satu komitmennya adalah mendorong peran masyarakat. Karena peran aktif masyarakat bisa mengurangi atau mengatasi keterbatasan yang dimiliki pemerintah daerah.
 
Beberapa kota di sejumlah negara sudah memulainya, mendorong people mobility. Ada yang membatasi mobil atau motor dengan berpihak pada pengguna sepeda. Bahkan, seperti Bogota, Kolombia, pionir Busway, itu semakin sempurna. Busway-nya sudah sangat bagus, menjangkau semua titik dan penataan kotanya rapi.
 
Anda juga Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), bagaimana pembahasan soal ruang publik di sana?
 
Di Apkasi kebetulan saya Wakil Ketua Umum bidang infrastruktur. Kami sedang merintis, dan kami sedang menunggu pertemuan UCLG Asia Pasifik di Filipina April mendatang. Agendanya, menindaklanjuti Habitat III. Nanti hasilnya akan menjadi rencana aksi Apkasi. Sinergi, soal ruang terbuka publik atau RTH, Apkasi ikut rekomendasi UCLG Asia Pasifik.
 
Menurut Anda, apakah kepala daerah di Indonesia sudah ada upaya mengurangi mobiltas kendaraan dan mengedepankan mobilitas orang?
 
Saya pikir sudah. Seperti Ibu Risma (Wali Kota Surabaya), jelas mendorong pedestrian yang lebar dan nyaman. Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung) dan taman-tamannya. Begitupula Mas Danny Pomanto (Wali Kota Makassar), Pak Ahok (Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama), saya pikir ada arah ke sana. Bahkan kami, para bupati yang notabene bukan kota besar, berjuang kesana. Episentrum kotanya dibangun dengan jelas, rencana masa depannya kita wujudkan dalam rencana detail tata ruang. Jangan sampai salah design.
 
Di Ibukota, Pemprov DKI Jakarta jor-joran membangun taman, bahkan ratusan taman dalam beberapa tahun, dengan memanfaatkan Coorporate Social Responsibility (CSR) perusahaan besar. Bagaimana pandangan Anda tentang pembangunan ruang publik lewat dana CSR?
 
Hampir semua kepala daerah berupaya menghadirkan ruang publik dengan memanfaatkan CSR, seperti Bandung, Jakarta, dll. Itu sesuatu yang kreatif. Dan memang CSR juga harus melihat ke sana. Korporat harus masuk ke area yang betul-betul urgent, seperti perbaikan kota dan sebagainya. Saya sangat mengapresiasi dengan apa yang sedang diupayakan Jakarta.
 
Banyak kasus pengrusakan ruang publik yang dilakukan oleh masyarakatnya sendiri, seperti corat-coret atau merusak fasilitas yang ada. Apa tanggapan Anda?
 
Kebetulan kami di Trenggalek tengah mewujudkan rekomendasi Habitat III. Kami membuat hutan kota sekaligus amphitheatre, semua dari bambu. Pertunjukan apa saja ada di situ. Termasuk pusat kuliner, semua berorientasi hutan. Permainan anak, konservasi rusa, merak, ada di sana. Nah, UCLG sedang menjadikannya sebagai salah satu pilot project ruang terbuka publik yang dikelola oleh komunitas.
 
Ya. Jadi pengelolaannya bukan pemerintah, tapi masyarakat sendiri yang mengelola. Ini memacu rasa kepemilikan ruang publik menjadi lebih kuat. Hal itu bisa dilakukan asal ada komunitas yang bisa merawat dan menjaganya. Kalau tidak ada, itu menjadi tantangan. Bakal sulit mewujudkan rasa kepemilikan masyarakat. Yang terjadi justru pengrusakan.
 
Kita bisa saja mengedepankan penegakan hukum, tapi lebih baik bila ada sistem di masyarakat yang bisa menumbuhkan moral dan rasa kepemilikan tadi, sehingga ada rasa segan untuk merusak. Untuk itu pemerintah daerah harus menggandeng komunitas.
 
Kita memang bisa pasang kamera CCTV, tapi yang kita mau ada gerakan masyarakatnya, membangun kepedulian. Karena, kontrol sosial itu lebih efektif dan efisien dibandingkan sekadar penegakan hukum.
 
Menurut Anda, apakah kesadaran akan taman pada masyarakat Indonesia, khususnya di perkotaan, sudah terbangun? Apakah ruang publik sudah menjadi kebutuhan utama?
 
Saya optimis ke arah sana. Saat ini saja ruang publik mulai menjadi tempat favorit untuk rekreasi keluarga. Kita juga bisa lihat bahwa komunitas butuh tempat untuk beraktualisasi. Ruang publik adalah pilihannya, tempat yang terbaik.
 
Untuk menggapai ruang publik yang bisa mendorong indeks kebahagiaan, kata kuncinya adalah komunikasi pemerintah dengan komunitas. Pemerintah dan komunitas masyarakat harus sinergi, mendorong gerakan masyarakat perkotaan yang positif, membangun interkasi antar warga. Itu harus berjalan. Bila tidak, pasti berat.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan