Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Pejalan Kaki menggelar aksi simpatik di Jakarta. Aksi tersebut bertujuan untuk menuntut dikembalikannya fungsi trotoar bagi pejalan kaki. (ANTARA /Rivan Awal Lingga)
Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Pejalan Kaki menggelar aksi simpatik di Jakarta. Aksi tersebut bertujuan untuk menuntut dikembalikannya fungsi trotoar bagi pejalan kaki. (ANTARA /Rivan Awal Lingga)

Kondisi Trotoar dan Budaya Pedestrian

Medcom Files trotoar
Wanda Indana • 21 Agustus 2017 17:17
medcom.id, Jakarta: Ada peraturan baru yang diterbitkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengembalikan hak pejalan kaki di ibu kota. Sebab, banyak pedestrian mengeluhkan trotoar yang selama ini kerap disalahgunakan. Antara lain seperti dilintasi pengendara motor serta difungsikan sebagai lahan berjualan oleh pedagang kaki lima.
 
Maka mulai Agustus 2017 Pemprov DKI Jakarta menggelar kegiatan penertiban trotoar yang menyasar 155 titik di lima wilayah kota. Cakupannya meliputi kawasan Pasar Minggu, Fatmawati, Pondok Labu, TB Simatupang, Setiabudi, Cawang, dan Jatinegara.
 
Penertiban trotoar ini telah diatur dalam Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 99 Tahun 2017. Peresmian ketetapan ini ditandai dengan Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat yang meneken aturan tersebut pada akhir Juli lalu.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
"Sudah kami perintahkan semua perangkat di wilayah untuk menertibkan trotoar," kata Djarot di Balai Kota, Jakarta, Senin 31 Juli 2017. Peraturan ini, ia menjelaskan, merupakan upaya pembenahan trotoar di Jakarta. Termasuk di dalamnya program pelebaran trotoar demi meningkatkan kenyamanan para pedestian. Selain itu, ada sanksi atas pelanggaran terhadap ketentuan fungsi trotoar. Misalnya, menjadikan trotoar sebagai tempat parkir.
 
"Kami ingin ada perubahan perilaku dari masyarakat kita. Perilaku supaya benar-benar kalau menggunakan jalan itu harus sesuai dengan fungsinya," kata Djarot.
 
Sebelumnya, komunitas yang memperjuangkan hak-hak pedestrian bernama Koalisi Pejalan Kaki mengkampanyekan "gerakan menghomati hak pengguna trotoar" dengan aksi menghalau pengendara motor menyerobot fasilitas pedestrian. Secara rutin tiap dua kali seminggu dalam bulan Juli, aksi tersebut dilakukan di trotoar Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Lebih tepatnya, di depan gedung DPRD DKI Jakarta.
 
Kampenye mereka kemudian menarik simpati dan perhatian netizen setelah video yang menayangkan peserta aksi tersebut malah diintimidasi oleh pengendara motor beredar secara viral di media sosial. Salah satunya seperti yang diunggah pada laman situs berbagi video YouTube berikut ini.
 

Dalam video berdurasi delapan menit itu, tampak intimidasi secara fisik dengan mendorong tubuh relawan aksi tersebut, bahkan juga kekerasan verbal berupa memaki dan mengancam. Meski begitu, pengkampanye hak pedestrian tetap bergeming menyampaikan aspirasinya.
 
"Kami harap di kota ini sudah tidak ada lagi kaum barbar," ujar Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitprus dengan tanpa gentar menanggapi intimidasi dalam aksinya tersebut.
 
Hak pedestrian
 
Trotoar memang sejatinya sarana publik yang disediakan untuk pedestrian alias pejalan kaki. Hak pengguna trotoar ini sudah dijamin oleh Undang-Undang Nomor 22 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga, mengatakan bahwa penyelenggaraan bulan Tertib Trotoar selama Agustus 2017 patut diapresiasi. Sekaligus menjadi momentum untuk membangun budaya berjalan kaki.
 
Pesan yang mesti digaungkan dalam kampanye Tertib Trotoar ini adalah: pengedara wajib menghormati hak pedestrian. "Pemprov DKI Jakarta harus konsisten menjaga ketertiban di trotoar," ujar Nirwono kepada Metrotvnesws.com, Jumat 19 Agustus 2017.
 
Kondisi Trotoar dan Budaya Pedestrian
 
Pengaruh terabaikannya hak pedestrian selama ini ditengarai membuat minat masyarakat Indonesia untuk bepergian dengan jalan kaki menjadi amat rendah. Fenomena ini setidaknya tercermin dari hasil riset ilmuwan Amerika Serikat yang menemukan fakta tentang orang Indonesia paling malas berjalan kaki di dunia.
 
Sebagaimana diketahui, pada pertengahan Juli 2017 lalu Stanford University di AS telah merilis jurnal penelitian yang menunjukkan bahwa jangkauan orang jalan kaki di Indonesia secara rata-rata sejauh 3.513 langkah per hari. Angka ini jauh di bawah standar rata-rata langkah yang umumnya ditempuh pedestrian di negara lain sejagat raya.
 
Penelitian itu diterbitkan di Nature, jurnal ilmiah tertua dan memiliki reputasi tinggi itu, juga memaparkan data perbandingan yang mencolok. Salah satunya adalah warga Hong Kong berjalan kaki rata-rata 6.880 langkah setiap hari, menempatkannya sebagai penduduk paling gemar berjalan kaki. Kemudian disusul oleh publik Tiongkok dengan rata-rata 6.180 per hari di peringkat kedua. Adapun penduduk Ukraina rata-rata 6.107 langkah per hari pada posisi ketiga.
 
Kondisi Trotoar dan Budaya Pedestrian
 
Data dikumpulkan melalui rekaman penggunaan suatu aplikasi yang diunduh melalui ponsel pintar dari 717.627 orang di 111 negara di seluruh dunia. Meski begitu, laporan yang berjudul "Data Aktivitas Fisik Skala Besar Mengungkap Keterbatasan Aktivitas di Seluruh Dunia" tersebut akhirnya berfokus pada 46 negara. Tetapi, peringkat Indonesia yang berada di posisi ke-46 menurut hasil riset itu adalah pukulan telak tentang betapa buruknya reputasi bangsa ini dalam budaya pedestrian.
 
Psikolog Ratih Ibrahim mengungkapkan, secara umum ada lima alasan utama orang Indonesia malas berjalan kaki. Pertama, infrastruktur trotoar yang belum memadai. Kedua, buruknya pelayanan transportasi umum. Ketiga, tingkat polusi yang tinggi. Keempat, cuaca yang panas.
 

Kelima, faktor gangguan kenyamanan dan tidak aman dalam perjalanan. Harus diakui, trotoar di kota-kota Indonesia belum memberikan rasa aman dan nyaman.
 
Pantauan medcom.id, khusus di Jakarta, pembangunan trotoar mulai digalakkan pada 2015. Sebelum itu, Pemprov DKI tidak memiliki alokasi anggaran khusus untuk merevitalisasi dan membangun lintasan pejalan kaki.
 
Kondisi Trotoar dan Budaya Pedestrian
 
Revolusi mental
 
Menurut Nirwono, setidaknya ada tiga langkah yang harus dilakukan Pemrov DKI untuk memaksimalkan peran trotoar. Pertama, penegakkan aturan secara konsisiten. perangkat UU sudah sangat kuat untuk penertiban trotoar.
 
Misalnya, penertiban dari pihak Kepolisisan, bisa berbekal dari UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Aturan itu cukup jelas memngamanatkan, trotoar hanya diperuntukkan untuk kegiatan berjalan kaki.
 
“Siapapun yang masuk ke trotoar harus ditindak secara hukum. Artinya Polisi jangan sungkan untuk menilang. Harus memberi contoh juga, jangan smapai motor polisi juga masuk ke trotoar. Kalau menyetop jangan di tengah, tapi di ujung-ujung trotoar. Kalau tidak, itu seperti mencegat bukan mencegah,” paparnya.
 
Kedua, gunakan instrumen Perda Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang diberlakukan oleh Pemprov DKI. Dalam Perda itu, dijelaskan trotoar hanya digunakan untuk kegiatan berjalan kaki, ini tugas beberapa pihak mulai dari Satpol PP, Dinas Perhubungan, dan juga Dinas UMKM.
 
“Ketika Satpol PP dan Dishub menertibkan trotoar, jangan sampai di sisi lain Dinas UMKM memberikan izin PKL berjualan di trotoar. Ini yang harus konsisiten,“ imbuh Nirwono.
 
Ketiga, pemahaman tertib trotoar harus dari mulai dari sekolah. Mulai dari tingkatan sekolah. Cara ini bisa membentuk pola pikir dan mendorong anak untuk membudayakan berjalan kaki. Budaya berjalan kaki adalah persoalan mental.
 
“Karena di lapangan, orang-orang dewasa ini menjadi merasa benar karena tidak ada pendidikan. Budaya yang salah dianggap benar. Kalau dididik dari kecil, mereka akan menjadi kelompok masyarakat yang berbudaya berjalan kaki. Ini kita bicara soal revolusi mental di situ, itu bentuk sederhana yang paling konkret,” kata dia.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan