Ia juga mengirim sebuah foto lanskap kondisi kota. Jarak pandang sangat terbatas lantaran kepekatan asap menyelimuti kota itu sebagai dampak dari kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Staf Analisis Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru, Riau, Sanya Gautami melaporkan pada hari yang sama pukul 08.00 WIB, jarak pandang Kota Bertuah radius 800 meter. Kondisinya lebih parah ketimbang sehari sebelumnya yang jarak pandangnya terpantau satu kilometer.
"Pada pukul 09.00 WIB jarak pandang membaik jadi 1,5 kilometer," kata Sanya seperti dikutip Antara, Selasa 10 September 2019. Pekan itu Karhutla terjadi signifikan di sejumlah daerah di Riau dan juga sebagian Sumatera serta Kalimantan. Alhasil kepekatan asap menyelimuti daerah itu dan sekitarnya. Bahkan asapnya menyeberang hingga negeri jiran.
Tiga hari kemudian, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menggelar rapat koordinasi khusus (Rakorsus) dengan para menteri. Ia memimpin Rakorsus tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2019 di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jumat 13 September 2019.
Hadir dalam rapat itu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Dwikorita Karnawati dan sejumlah pejabat di Sumatera dan Kalimantan.
Pada kesempatan itu, Wiranto mengaku sudah turun ke lapangan. Yakni ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Kemudian pada Senin 16 Juni 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengunjungi Riau.
Bukan sekadar melihat lokasi Karhutla, ia juga menggelar rapat terbatas yang dihadiri jajaran kabinetnya dan pejabat setempat. Ia menyampaikan Riau berstatus siaga darurat karena lahan yang terbakar mencapai puluhan ribu hektare.
"Kita lalai lagi sehingga asapnya jadi membesar," kata Jokowi dengan nada kecewa.
Jokowi sendiri merasa bosan dengan rapat-rapat seperti ini yang digelar setiap tahun. Menurut Jokowi sebaiknya semua perangkat pemerintah pusat hingga daerah, terutama, otomatis siaga menjelang musim kemarau. Otomatis siaga untuk fokus dan konsisten melakukan pencegahan agar Karhutla tidak meluas.
"Setiap tahun kita tak perlu lagi rapat-rapat lagi seperti ini, otomatis menjelang musim kemarau semuanya harus siap sebetulnya," ujarnya.
.jpg)
Pengendara menembus kabut asap dampak dari kebakaran hutan dan lahan di Pekanbaru, Riau, Kamis (12/9/2019). ANTARA FOTO/Rony Muharrman
Patroli Terpadu
Meski masih dilanda Karhutla, sejatinya jajaran pemerintah dan pemangku kebijakan terkait, melakukan serangkaian pencegahan Karhutla sejak awal. Bahkan itu dilakukan setiap hari tanpa henti. Antara lain dengan pemberlakuan patroli terpadu di delapan provinsi rawan Karhutla.Adalah Sumatera Utara, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.
Plt Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Raffles Brotestes Panjaitan mengatakan sejak 2016, pihaknya melakukan patroli terpadu yang setiap tim terdiri dari 5-6 orang. Mereka adalah perwakilan dari Manggala Agni KLHK, TNI, Polri, dinas terkait dan masyarakat setempat atau LSM.
Tim ini bertugas melakukan monitoring kawasan; sumber air, kedalaman gambut, tinggi muka air, penumpukan bahan bakaran, cuaca dan aktivitas masyarakat yang berisiko Karhutla.
Selain itu, melakukan sosialisasi, memetakan permasalahan, groundcheck hotspot dan melakukan pemadaman dini. Mereka melaporkan setiap hari dengan WhatsApp atau laporan tertulis lainnya.
Laporan disampaikan secara bertingkat. Mulai dari Posko desa, Posko Daops, Posko balai, hingga Posko pusat. Hal itu dilakukan sehingga kondisi harian di lapangan selalu terpantau.
Cakupan pelaksanaan patroli terpadu ini selalu bertambah dari tahun ke tahun. Tahun 2016, patroli dilakukan di 731 desa di sejumlah provinsi tersebut. Hasilnya luas Karhutla berkurang drastis dari 2,6 juta hektare pada 2015 menjadi 438 ribu hekatare pada 2016.
Kemudian pada 2017, KLHK menerjunkan tim patroli terpadu ke 1.206 desa. Dari sana, luas Karhutla kembali menyusut menjadi 165 ribu hektare. Pada 2018, tim kembali diterjunkan di 1.225 desa.
Sayangnya pada saat itu, luas Karhutla tidak dapat dikurangi lagi, tapi malah meningkat menjadi 510 ribu hektare. "Kenapa meningkat dari 2017, karena ada El Nino lemah (suatu keadaan yang cenderung kering dan minim hujan). Tapi semua tertangani dengan cepat," kata Raffles di kantornya, Selasa 24 September 2019.
Sementara pada tahun ini, luas Karhutla yang terpantau per Agustus yakni 328 ribu hektare. Tim patroli terpadu telah tersebar di 1.461 desa dan kerja tim ini akan berakhir pada November sesuai rencana awal.
Dukungan Masyarakat
Raffles menegaskan, pemerintah sangat responsif dalam mencegah dan mengendalikan Karhutla. Namun upaya pemerintah itu tidak akan ada gunanya sama sekali ketika tidak didukung penuh oleh setiap individu masyarakat di daerah rawan tersebut.Dari hasil riset, manusia menjadi penyebab terbesar Karhutla meluas. Raffles sangat berharap setiap orang baik atas inisiatif individu atau pihak lain tidak melakukan pembakaran hutan dan lahan.
"Jangan mau rakyat kita dibayar untuk membakar oleh oknum-oknum tertentu. Perusahaan tidak boleh membayar orang untuk membakar. Ini kalau kita semua bisa lakukan, saya yakin Karhutla di masa mendatang bisa tertangani lebih baik," bebernya.
Raffles menawarkan alternatif pemanfaatan hutan dan atau lahan di tengah masyarakat. Tentu diawali dengan data akurat dari Pemerintah Daerah setempat untuk menginventarisasi kepemilikan lahan dan peruntukannya ke depan.
Menurut dia, pemerintah harus "mengintervensi" pemanfaatan lahan agar tidak melulu dibakar. Seperti halnya membuat area peternakan dan perikanan. Pemerintah dapat memberikan insentif atau dukungan dalam bentuk lain kepada pemilik lahan tersebut.
Namun jika memang terpaksa untuk membuka lahan secara masif, sejatinya, kata dia, pihaknya telah melakukan sosialisasi penyiapan lahan tanpa bakar (PLB). Yaitu melalui pemanfaatan sisa-sisa pembersihan untuk cuka kayu, kompos dan briket arang.
.jpg)
Masyarakat mengenakan masker sehingga mengganggu aktivitas masyarakat dan meningkatnya penderita infeksi saluran penafasan akut (ISPA). Foto: MI/Susanto
Penegakan Hukum
Meski sudah berusaha mencegah sedemikian rupa, dan diakui secara kesatria oleh Presiden Jokowi ada kelalaian di pihaknya, Karhutla masih masif terjadi. Antara lain karena ulah oknum tertentu dan sejumlah perusahaan tertentu yang masih membandel.Jokowi sudah memerintahkan agar penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran dilakukan secara tegas. Hingga 17 September, sejauh ini tercatat 196 kasus yang tersebar di Polda Riau, Sumsel, Jambi, Kalsel, Kalteng dan Kalbar.
Total keseluruhan terdiri dari 218 tersangka perorangan dan 5 perusahaan. Di antaranya PT SSS di Riau, PT DHL di Sumsel, dan PT PKG di Kalteng. Semua lahan yang dimiliki tersangka sementara ini dipasang garis polisi.
Jauh sebelum itu, pada periode Januari-Juni 2019, KLHK melayangkan surat peringatan kepada 55 perusahaan terindikasi membakar hutan dan lahan. Sebanyak 26 di antaranya perusahaan yang tersebar di Riau. KLHK memantau respons perusahaan terkait surat peringatan tersebut.
Raffles menegaskan pengawasan dan pemantauan terhadap perusahaan relatif lebih mudah ketimbang lahan yang dimiliki perorangan. Kesadaran setiap individu sangat penting agar dampak pembakaran itu tidak merugikan orang banyak secara ekonomi, kesehatan dan lingkungan.
Pemadaman
Sejumlah pihak terkait terus bergerak melakukan pemadaman. Di antaranya dengan melakukan water bombing atau menumpahkan air dari udara sebanyak 263 juta liter air. Kemudian juga dengan menyemai 162 ribu ton garam sebagai langkah proses pembuatan hujan buatan.Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Tri Handoko Seto mengatakan, selain garam, pihaknya juga menggunakan Kapur Tohor aktif (CaO).
Sebanyak 5 pesawat setiap hari dari pagi dan sore digunakan untuk menciptakan hujan buatan. Terdiri dari pesawat 3 unit Cassa 212-200, 1 unit CN 295 dan 1 unit Hercules C 130.
"Hasilnya di Kalbar sudah hujan dengan intensitas yang cukup merata dan signifikan. Kira-kira besaran hujannya sekitar 70 juta meter kubik (atau 70 juta ton air)," kata Seto di Kantor KLHK, Jakarta Pusat, Selasa 24 September 2019.
Kemudian di Kalteng sekitar 15 juta meter kubik , dan Riau 30 juta meter kubik. Pula di Jambi dan Sumsel. Dengan banyaknya potensi awan di daerah Karhutla, Seto optimistis hujan deras akan turun.
Seto menjelaskan water bombing berbeda dengan hujan buatan. Water bombing, penumpahan airnya bisa diarahkan persis ke titik yang diinginkan. Tapi jumlah airnya sedikit. Paling besar 8 meter kubik atau 8 ton air.
Sementara hujan buatan, sangat tergantung kondisi awan dan titiknya tidak bisa sepenuhnya diarahkan. Namun begitu ada hujan, maka hujannya bisa jutaan meter kubik.
"Jutaan ton air. 70 juta ton air hujan yang jatuh di Kalbar," terang dia.
Seto meyakini hujan buatan sangat ampuh mengurangi kepekatan asap sebagai dampak dari Karhutla. Ia juga meyakini hingga 30 September, kepekatan asap berkurang signifikan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News