Ilustrasi. (ANTARA)
Ilustrasi. (ANTARA)

Sahabat dari Timur

Medcom Files indonesia-palestina kisah dua bangsa, indonesia-palestina
19 Desember 2017 21:36
"Terimalah semua kekayaan saya ini utk memenangkan perjuangan Indonesia," ucap seorang saudagar kaya Palestina, Muhammad Ali Taher pada 1944.
 
Dia menyerahkan seluruh uangnya yang tersimpan di Bank Arabia kepada pemimpin-pemimpin Indonesia, tanpa meminta tanda bukti apapun.
 
Sumbangan Taher merupakan respon atas dukungan mufti besar Palestina Syekh Muhammad Amin Al-Husaini kepada Indonesia.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Secara terbuka, melalui jaringan radio, Husaini menyatakan dukungannya untuk kemerdekaan Indonesia pada 6 September 1944.

Masyarakat Palestina sontak turun ke jalan. Mereka berdemonstrasi, menyampaikan solidaritasnya kepada bangsa Indonesia, sang sahabat dari timur.


Suasana ini tergambar dalam buku Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri karya M. Zein Hassan, yang pada saat itu menjabat Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia. Buku ini diberi kata sambutan oleh Wakil Presiden RI Mohammad Hatta. Setelah merdeka, saat Indonesia membutuhkan pengakuan sebagai negara berdaulat, lagi-lagi rakyat Palestina bergerak, mendorong Mesir mengakui Indonesia.
 
Mahfum, saat itu Mesir adalah negara merdeka yang bisa mengakui kedaulatan negara lain. Selain itu, kelompok Ikhwanul Muslimin - yang mendominasi tampuk kepemimpinan Mesir, berbasis di Palestina.
 
Alhasil, pada 1947, dari dorongan bangsa Palestina, Mesir pun menjadi negara pertama yang mengakui Republik Indonesia.
 

Sahabat dari Timur
H. Agus Salim di antaraSyekh Muhammad Amin Al-Husaini (kiri) danMuhammad Ali Taher, 1946. (eltaher.org)
 

Di tahun 1960-an, giliran Indonesia menentang penjajahan Israel atas bangsa Palestina. Sikap itu ditunjukkan oleh Presiden Soekarno dalam sejumlah pidato di panggung-panggung internasional.
 
"Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel," ucap Soekarno dalam sebuah wawancara di tahun 1962.
 
Ucapan itu dibuktikan si Bung Besar dengan menolak keikutsertaan Israel dalam Asian Games 1962 di Jakarta. Indonesia tidak mengeluarkan visa untuk atlet Israel.
 

Sahabat dari Timur
Presiden Soekarno berpidato dalam Konferensi Asia-Afrika pada 1955 di Gedung Merdeka, Bandung. Foto: Museum KAA
 

Teman lama
 
Palestina-Indonesia tidak begitu saja menjadi karib. Sederet perjalanan bersama telah dilalui kedua bangsa.
 
Nama-nama pembesar Palestina seperti mufti besar Yerusalem Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, juga tokoh pergerakan Muhammad Ali Taher, tentu tak asing ditelinga para pendiri bangsa.
 
Di dunia Timur Tengah, keduanya bukan nama sembarang. Bahkan, sejarah perjalanan Taher diabadikan oleh sebuah institusi melalu situs eltaher.org.
 
"Saat sejarah mempengaruhi kehidupan individu, individu juga mempengaruhi sejarah," demikian kalimat pembukaan dalam situs biografi tersebut.
 

Sahabat dari Timur
Muhammad Ali Taher. (eltaher.org)
 

Taher muda adalah seorang jurnalis yang beraktivitas di Mesir. Pada 1915, dia bekerja untuk Fata Al Arab, sebuah media yang berbasis di Beirut.
 
Taher dikenal sebagai penulis yang kritis, kerap menyoroti pergerakan zionisme Yahudi di tanah Palestina.
 
Keberadaan Amin Al-Husaini sebagai guru, panutan, sekaligus tokoh bangsa Palestina, sangat mempengaruhi langkah dan pemikiran Taher dalam menyikapi zionisme.
 

Sahabat dari Timur
Tenda pengungsian warga Palestina korban zionisme, di sebuah gurun di Yordania 1949. (eltaher.org)
 

Di sela kerja jurnalistiknya, untuk menambah penghasilan, Taher membuka sebuah toko minyak zaitun di dekat Masjid al-Azhar, Kairo, Mesir. Seiring waktu, ternyata bisnisnya sukses, bahkan menyentuh lantai ekspor-impor di tahun 1920-an.
 
Di toko ini pula kaum nasionalis Mesir kerap berkumpul, juga tokoh pergerakan di seluruh penjuru jazirah Arab, termasuk Indonesia.
 
Dari sini pula keakraban terjalin antara Taher dengan kaum pergerakan dari Indonesia. Sebut saja Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia M. Zein Hassan, tokoh nasionalis Dr. Soetomo, juga tokoh mahasiswa Indonesia di Mesir kala itu, Abdul Kahar Muzakir.
 
Zein Hassan sendiri dikenal dekat dengan tokoh pergerakan H. Agus Salim. Saat Indonesia merdeka, Presiden Soekarno dan Menteri Luar Negeri H. Agus Salim menunjuk Zein sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia untuk Mesir.
 

Sahabat dari Timur
Taher bersama mahasiswa Indonesia di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, 1936. Tampak pula tokoh nasionalisDr. Soetomo. (eltaher.org)
 

***
 
TAHUN 1931 adalah masa kritis bagi bangsa Palestina dan umat muslim. Zionis melakukan penutupan dan pengalihfungsian dinding barat kompleks Masjid Al Aqsha.
 
Sang mufti besar kecewa. Bersama tokoh Islam lainnya di Timur Tengah dan berbagai belahan dunia lain, Amin Al-Husaini meminta dilaksanakannya sebuah konferensi Islam.
 

Sahabat dari Timur
 

Konferensi digelar di Yerusalem. Sekitar 200 utusan datang sebagai peserta. Tak hanya dari negara-negara Islam dan Arab, tapi juga dari Indonesia, India, dan bangsa-bangsa di Eropa Barat; Bosnia, Yugoslavia, Albania, Bulgaria.
 
Indonesia diwakilkan oleh Abdul Kahar Muzakir. Kala itu, Muzakir, si aktivis mahasiswa, menjadi utusan termuda dalam konferensi tersebut.
 
Konferensi ini menanggapi keputusan mandat yang berhubungan dengan dinding barat Masjid al-Aqsha, dan tanggapan terhadap rencana zionis menguasai Palestina.
 
Sebuah rekomendasi juga dikeluarkan, yakni, membentuk sebuah sekretariat permanen. Konon konferensi ini dianggap sebagai cikal bakal terbentuknya Organisasi Kerjasama Islam (OKI) di kemudian hari.
 

Sahabat dari Timur
Konferensi Islam di Yerusalem, 1931. (eltaher.org)
 

Muruah politik luar negeri Indonesia
 
Muruah/mu·ru·ah/ n kehormatan diri; harga diri; nama baik. Demikian Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan muruah atau marwah.
 
Banyak ahli mengatakan, dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, ada marwah politik luar negeri Indonesia.
 
Anti penjajahan, ditambah prinsip 'Bebas-Aktif', semakin terasa klop dengan sikap Indonesia belakangan hari - agresif menyoal pengakuan sepihak Amerika Serikat atas Yerusalem sebagai Ibukota Israel.
 
Aksi menggalang dukungan untuk melawan kesewenang-wenangan AS dan Israel, terasa sangat Indonesia, si sahabat dari timur.
 
Setidaknya, di masa Presiden Joko Widodo, ini adalah kali kedua politik luar negeri Indonesia menunjukkan sikap anti-Israel. Sebelumnya, dalam kasus serangan Israel ke Palestina pada 2016 silam, Indonesia mempelopori KTT Luar Biasa OKI dan digelar di Jakarta.
 

Sahabat dari Timur
Presiden Joko Widodo bersama Presiden Palestina Mahmoud Abbas saat sesi foto bersama dalam KTT Luar Biasa OKI di Istanbul, Turki, 14 Desember 2017. (Setpres)
 

Kini, selain kembali mempelopori KTT Luar Biasa OKI, Indonesia aktif dalam mendorong rancangan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB); menolak keputusan sepihak Presiden AS Donald Trump soal posisi Yerusalem.
 
Rancangan resolusi itu didukung seluruh anggota DK PBB, kecuali AS yang memiliki hak veto. Otomatis rancangan resolusi itu gagal.
 
Kini, Indonesia sedang berupaya memperoleh persetujuan negara-negara lain untuk menggunakan pemungutan suara di sidang luar biasa PBB. Dalam majelis ini, setiap anggota memiliki satu suara. Tidak satu negara pun, bahkan AS, dapat memveto sebuah resolusi.
 
Semoga upaya sang sahabat berbuah positif. Karena, inilah marwah politik luar negeri Indonesia; "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan..."

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(COK)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan