Kekuatan Arab Saudi pelan-pelan digembosi rival abadinya, Iran, melalui faksi-faksinya di Yaman, Timur Saudi, dan Lebanon. Sesudah kalah perang di Suriah-Irak, Riyadh ditinggal Qatar yang diam-diam menjalin kerjasama dengan Teheran.
Puncaknya, sikap Saudi yang tidak serius membela Palestina pascapengumuman pemindahan duta besar Amerika Serika dari Tel Aviv ke Yerussalem (Al Quds) oleh Presiden Donald Trump. Saudi dianggap tak terbuka menunjukkan keberpihakan pada Palestina.
Pengamat Timur Tengah dari Universitas Gadjah Mada Siti Mutiah Setiawati menyebut, Saudi dalam posisi dilema. Di satu sisi menolak Yerussalem sebagai Ibu Kota Israel, di sisi lain, bersekutu dengan AS, yang juga saudara kandung Israel.

Presiden AS Donald Trump bersama Raja Arab Saudi Salmanbin Abdulaziz al-Saud. (AFP)
Riyadh diketahui masih membutuhkan kekuatan militer AS untuk menjaga pengaruhnya di kawasan. Ada 278 pangkalan militer AS di Arab Saudi.
“Sekarang ini yang paling nyata mendukung eksistensi Palestina tinggal Iran,” kata Siti kepada Medcom.id, Minggu 17 Desember 2017.
Pula dengan Turki, negara sekuler itu juga tak bisa diharapkan. Turki dekat dengan AS, juga menjalin hubungan diplomatik dan kerjasama berbagai bidang dengan Israel.
“Berbeda dengan Indonesia dan Malaysia yang mendukung Palestina tetapi tidak berhubungan dengan Israel, dari dulu sampai sekarang,” jelas dia.
Meski begitu, Indonesia juga harus hati-hati bersikap. Persoalannya, kata Siti, isu Yerussalem bukan persoalan bilateral, tapi isu semua negara, banyak kepentingan terlibat. Terlalu keras kepada Israel, bisa membuat negara-negara yang mendukung Israel akan mempertimbangkan hubungan bilateral dengan Indoensia.
“Harus pintar memainkan diplomasi di sana, karena dalam politik enemy of my enemy is my friend (musuh dari musuh adalah teman),” tegas dia.
Peluang dan tantangan Indonesia
Kekosongan kekuasan di Timur Tengah menjadi momentum Indonesia untuk membela kemerdekaan Palestina. Secara geopolitik, posisi Indonesia lebih leluasa.
Indonesia dinilai sudah mulai memainkan politik luar negeri bebas aktif pascaklaim sepihak Trump atas Yerussalem. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah mengunjungi Mesir dan Yordania membahas nasib Palestina. Retno juga melawat ke Uni Eropa mencari dukungan.

Aksi Menlu RI Retno Marsudi dengan atribut Palestina di Bali Democracy Forum. (AP)
“Reaksi Indonesia sudah benar sekali. Kalau bisa Bu Menteri harus meminta space pidato khusus untuk menyuarakan perjuangan Palestina di forum resmi Uni Eropa,” ujar Direktur Pusat Kajian Timur Tengah Universitas Indonesia Abdul Muta'ali.
Abdul mengatakan, sikap Uni Eropa yang juga menjadi sekutu terbesar AS, menentang keputusan AS. Eropa mulai mengacuhkan Trump karena keputusannya yang melanggar resolusi PBB dan konsensus internasional.
Melemahnya hubungan Uni Eropa-AS juga harus dimanfaatkan. Apalagi, keputusan Trump atas Yerussalem dianggap tidak mewakili suara rakyat Amerika. Keputusan Trump lebih kepada membayar janji politiknya pada warga Yahudi-AS.
Ya. Saat maju Pilpres 2016, Trump berjanji membela kepentingan Yahudi. Hal itu disampaikannya kepada badan lobi Yahudi terbesar di AS, American Israel Public Affairs Committee (AIPAC). Lembaga ini memiliki pengaruh besar di lingkungan Gedung Putih dan Senat.
“Uni Eropa sudah tak menganggap Trump. Trump mulai dikucilkan,” katanya.
Reaksi Tiongkok atas Jerussalem juga harus diamati. Delapan hari setelah pengumuman Trump, Beijing buru-buru mendukung kemerdekaan Palestina. Lewat juru bicara Lu Kang, negeri Tirai Bambu mendukung Yerussalem Timur sebagai Ibu Kota Palestina.
Pada 2016, Trump pernah menuduh Tiongkok memanipluasi Yuan untuk mendapatkan keuntungan dari perdangan dengan AS. Walaupuun akhirnya, tuduhan Trump tidak terbukti. Menurut Abdul, reaksi Tiongkok sebagai ‘musuh ekonomi’ bagi AS sedikit-banyak ikut menekan keputusan Trump.
“Tiongkok buru-buru mengklaim dukungan untuk Palestina mederka. Trump sekarang berhadapan dengan dunia. Saya kira AS akan ketinggalan kereta, AS akan tinggal sejarah,” kata Abdul.
.jpg)
Bukan perkara ringan
Perjuangan memerdekakan Palestina bukan perkara enteng. Mau tak mau, Indonesia harus melawan kekuatan politik zionis Israel dan sekutu abadinya, AS.
Cendikiawan Muslim Profesor Komaruddin Hidayat mengatakan, Israel memiliki agenda politik yang terencana dan sistematis. Bahkan, menurut dia, Israel sanggup menaklukan negara adidaya AS untuk tunduk kepada Tel Aviv.
Kata Komaruddin, Israel tidak akan diam jika ada pihak-pihak yang menggangu agenda politiknya. Ini bisa dilihat dari agresi militer AS ke Irak. Keputusan itu tidak lepas dari desakan Israel melalui agen-agen lobinya di Gedung Putih.
Saat itu, Israel khawatir dengan pengaruh Saddam Husein yang semakin kuat di Timur Tengah. Kini, Irak sudah lumpuh. Posisi Israel semakin kuat, apalagi mendapatkan suntikan keuangan dan bantuan militer dari AS miliaran dolar setiap tahun.
“Saddam (Husein) sudah lewat. Libya juga sama. Mungkin hanya Iran. Turki juga kawannya Amerika,” kata Komaruddin pada acara Dua Sisi Metro TV, Senin 11 Desember 2017.

Komaruddin Hidayat. (MI)
Indonesia juga bisa mendekati Rusia, sebagai kekuatan baru di Timur Tengah. Indonesia bisa memainkan ikatan sejarah dengan Rusia untuk menekan AS. Apalagi, Trump diketahui dekat dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin.
“Rusia ada di sana, Putin kan cukup keras. Tetapi kita jangan terjebak polarisasi barat dan timur,” ujar dia.
Untuk melawan kekuatan politik zionis Israel, tentu Indonesia tak bisa berjuang sendiri. Indonesia harus merangkul negara-negara yang peduli kemerdekaan Palestina.
Maksudnya, Indonesia tidak bisa hanya bergantung kepada Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), sebab negara-negara Arab yang memiliki perbatasan langsung dengan Palestina tidak solid.
“Negara-negara tetangga Palestina tidak solid. Sementara Israel, selain menggunakan diplomasi juga menggunakan senjata,” pungkas Komaruddin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News