Gerindra mendapatkan suara sebanyak 17,5 juta atau 12,57 persen. Sedangkan jika ditilik dari perolehan kursi di DPR, Gerindra diprediksi jadi pemenang ketiga.
Gerindra kalah banyak dengan perolehan kursi Golkar. Gerindra mendapat 79 kursi dan Golkar 85 kursi. Kekalahan itu setelah perolehan suara Gerindra dikonversi dengan metode penghitungan Sainte Lague.
Meski demikian, Gerindra tetap bercokol minimal di tiga besar. Partai besutan Prabowo Subianto dapat ikut menentukan kebijakan ke depan. Sayangnya, hingga kini Gerindra masih di persimpangan jalan. Gerindra dilanda kegalauan.
Utamanya setelah Prabowo menemui mantan rivalnya di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, Jokowi di stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) akhirnya bertemu dengan calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto. Pertemuan pertama pasca-Pilpres 2019 tersebut dilakukan di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Sabtu, 13 Juli 2019. (Antara/Wahyu Putro A).
Kemudian Prabowo juga menemui Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Prabowo rela menyambangi kediaman Mega di kawasan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat.
Bahkan, Prabowo juga rela mendatangi Kongres PDIP di Bali. Sebagian pihak mengapresiasi sikap Prabowo yang cenderung bersifat proaktif. Pertemuan yang diamini Prabowo itu dinilai sebagai salah satu upaya rekonsiliasi di tengah ancaman disintegrasi bangsa.
Namun pertemuan demi pertemuan Prabowo itu memunculkan spekulasi. Partai yang dipimpin Prabowo dianggap patah semangat menjadi oposisi tulen.

Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan) berpamitan kepada Ketum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri (tengah) usai menggelar pertemuan tertutup di Jakarta, Rabu (24/7/2019). Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Lima tahun terakhir, Gerindra kokoh menjadi oposisi. Gerindra melalui sejumlah kadernya di Senayan, tak jemu 'menyerang' sejumlah sikap dan kebijakan pemerintah.
Tapi semangat lima tahun itu diragukan bertahan. Terbuka kemungkinan, Gerindra merapat ke pemerintahan. Pemerintahan yang acap 'diserang' sejumlah kader Gerindra.
Dari catatan kami, Gerindra pernah mengecap pemerintahan Jokowi bak pemerintahan warung kopi (warkop). Setidaknya tiga kali stempel warkop itu meluncur dari lisan petinggi Gerindra.
Pertama, saat Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menyikapi wacana dana partai politik yang digulirkan Mendagri Tjahjo Kumolo. Fadli heran wacana yang diungkapkan sebelum matang, kemudian dibatalkan dengan pengumuman.
"Mendagri mengusulkan, Mendagri juga yang membatalkan. Pemerintahan Warkop," kata Fadli di Kantor Partai Perindo, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Sabtu 27 Juni 2015.
Kemudian saat Fadli mengkritisi saltik (typo) dari akronim Badan Intelijen Negara (BIN) menjadi Badan Intelijen Nasional. Fadli merasa aneh, sejumlah kesalahan teknis berulang dilakukan pihak Istana.
Fadli menyoroti mekanisme perencanaan pihak Istana yang buruk. "Ini dikelola seperti warkop," kata Fadli di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu 8 Juli 2015.
Saat isu revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergulir, mulut Fadli kembali gatal. Cap warkop kembali meluncur dari lisannya ketika melihat komentar bertolak belakang sesama pejabat di lingkaran pemerintahan.
"Itulah yang sering saya bilang bahwa pemerintah ini manajemennya seperti warung kopi," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat 18 Februari 2016.
.jpg)
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon--Medcom.id
Persimpangan Jalan
Kegalakan beroposisi yang tecermin dari lisan Fadli itu mulai menemukan kelunturan. Luntur dan lunak. Seolah Gerindra tidak betah terus-terusan berada di luar pemerintahan.Spekulasi yang tercipta dari gerilya Prabowo ke tengah-tengah tokoh pemenang Pemilu lainnya itu semakin nyaring. Gerindra masuk ke lingkar pemerintahan.
Itu juga tampak dari sinyal yang dilontarkan Fadli. Dalam beberapa kesempatan, Fadli memastikan oposisi di lima tahun mendatang, bukanlah opsi tunggal.
"Itu belum kami putuskan finalnya," kata Fadli di Kompleks Senayan, Jakarta, Kamis 8 Agustus 2019.
Menurut Fadli, pihaknya akan mereken ulang untung-rugi masing-masing opsi. Apakah tetap oposisi yang dianggap lebih untung, atau merapat ke pemerintahan.
"Bahwa nanti ada di dalam pemerintahan atau di luar pemerintahan, itu sudah ada mekanismenya, tergantung apakah kita (lebih efektif) berbuat di dalam atau lebih efektif di luar," terang dia.
Kami mencoba mengkonfirmasi Arief Poyuono. Dia salah satu Wakil Ketua Umum Partai Gerindra. Ia juga awam soal sikap Gerindra ke depan. Ia mengaku tidak dilibatkan dalam rapat-rapat masa depan Gerindra.
"Itu urusannya Prabowo (Ketua Umum Partai Gerindra) sama petinggi lainnya mau dibawa ke mana Gerindra," kata Arief kepada Medcom Files, Sabtu 10 Agustus 2019.
Menurut Arief, meski dirinya sebagai salah satu petinggi, tidak pernah diajak rapat menentukan langkah Gerindra ke depan. Khususnya rapat soal oposisi atau koalisi.
"Saya tidak pernah ikut rapat sama mereka," ujarnya.
Arief menegaskan dirinya tidak ikut rapat lantaran bukan membidangi urusan tersebut. Arief menyebut urusannya lebih ke soal perburuhan. "Saya juga memang buruh. Beda sama mereka, bos," katanya.
(1).jpg)
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono. (MI/ANGGA YUNIAR)
Arief menambahkan dirinya lebih banyak bertemu dengan sejumlah serikat buruh ketimbang petinggi Gerindra. Pertemuan demi pertemuan itu dalam rangka menghadapi revisi Undang-undang Ketenagakerjaan.
Seandainya pun Gerindra memutuskan bergabung, Arief tetap akan memprotes pemerintah jika kebijakannya menyengsarakan buruh. Arief berjanji soal itu.
"Itu jauh lebih penting dan lebih konkret serta lebih berjuang untuk rakyat daripada mikirin kabinet atau koalisi kekuasaan," ucapnya.
Analis Politik dari Exposit Strategic Arif Susanto menilai koalisi pemerintah perlu menghitung baik-buruk menambah anggota koalisi. Pasalnya perluasan jangkauan koalisi tidak akan dengan serta-merta mampu memperkuat soliditas kekuasaan.
"Meskipun mampu menjawab tantangan jangka pendek, perluasan koalisi mungkin akan memberi beban tambahan bagi Jokowi untuk menghadirkan pemerintahan efektif dalam jangka lebih panjang," kata Arif kepada Medcom Files beberapa waktu lalu.

Analis Politik lembaga Exposit Strategic Arif Susanto. Medcom.id/ M Sholahadhin Azhar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News