Ada yang mengenakan kemeja dan almamater kuning khas Partai Golkar, atribut Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG), hingga atribut organisasi-organisai pendiri partai beringin itu; Kosgoro 1957, juga Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI).
"Tak ada opsi lain selain Munaslub (Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar)," ujar salah seorang orator. "Pantang balik kanan sebelum Munaslub," timpal peserta aksi lainnya.

Massa mendesak DPP Partai Golkar segera memutuskan diadakannya Munaslub. (Medcom /Faisal A)
Di dalam gedung, rapat pleno Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar tengah berlangsung. Rapat berjalan alot lantaran ada dua pendapat yang berbeda.
Tapi, menjelang pukul 22.00, kabar beredar bahwa peserta rapat hampir sepakat Munaslub digelar.
"Hanya mekanisme keputusannya, AGK (Agus Gumiwang Kartasasmita) mau segera diputuskan langsung. Aziz Syamsuddin maunya besok setelah ada keputusan resmi dari praperadilan (Setya Novanto)," ucap Wasekjen Partai Golkar Bobby Adhityo Rizaldi.
Sementara Pelaksana Tugas (Plt) Ketum Golkar Idrus Marham sempat menawarkan opsi pengambilan keputusan soal pelaksanaan Munaslub.
"Idrus Marham menawarkan besok (Kamis, 14 Desember 2017) diputuskan setelah konsultasi dengan Ketum Setya Novanto," ucap dia.
Namun tawaran Idrus sontak dihujani interupsi. Sebagian peserta menginginkan Munaslub diputuskan malam itu juga.

Suasana sebelum rapat pleno Partai Golkar dimulai. (MI/M Irfan)
Akhirnya, rapat pleno yang dilakukan selama 3 jam itu berhasil mandapati kesepakatan, yaitu, memberhentikan Setya Novanto sebagai ketua umum.
Disepakati pula jabatan ketua umum kini diisi oleh Korbid Perekonomian DPP Partai Golkar yang juga Menteri Perindustrian RI Airlangga Hartarto.
"Terhitung malam ini Ketum Golkar Airlangga Hartarto," ujar Ketua Harian Partai Golkar Nurdin Halid saat memberikan keterangan hasil rapat pleno kepada awak media.
Selanjutnya, Golkar akan menggelar Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) dan Munaslub pada 18-20 Desember 2017 di Jakarta, untuk mengukuhkan Airlangga sebagai ketua umum.

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartanto. (MI/Rommy)
Mengintip pangkal kisruh Golkar
INI kali kedua Golkar mengalami gonjang ganjing politik. Sebelumnya, pada 2014, partai terbesar kedua di Indonesia itu terbelit konflik internal selama hampir 2 tahun.
Saat itu Golkar terpecah dua. Kelompok pertama adalah kubu Aburizal Bakrie, petahana yang saat itu mencalonkan dirinya kembali sebagai Ketua Umum (Ketum).

Aburizal Bakrie. (ANTARA)
Pengusaha yang karib disapa Ical itu berhasil memenangkan Munas yang saat itu digelar di Bali. Ical terpilih secara aklamasi.
Sejumlah faksi dalam Golkar menuding Munas tersebut tidak demokratis dan sudah diatur sedemikian rupa oleh Ical. Mereka pun hengkang dari forum, lantas menggelar Munas tandingan di Ancol, Jakarta.
Dalam Munas tandingan itu Agung Laksono terpilih sebagai Ketum, mengalahkan beberapa calon lain. Inilah kelompok kedua dalam konflik 'Bali-Ancol' kala itu.

Agung Laksono. (MI)
'Perang' hukum terjadi, pengadilan demi pengadilan dilalui. Kubu Agung menang di beberapa tingkat peradilan. Namun di akhir, Mahkamah Agung memenangkan kubu Ical.
Situasi masih panas. Politisi senior Golkar yang juga Wakil Presiden RI Jusuf Kalla yang mencoba menengahi, berhasil membawa dualisme itu ke titik rekonsiliasi. Munaslub pun digelar pada 2016 di Bali, dengan kesepakatan Agung dan Ical tidak mencalonkan diri.
Setya Novanto, Bedahara Umum DPP Golkar di era Ical, maju dalam bursa pemilihan ketum di Munaslub. Hasilnya, Novanto menang.

Setya Novanto (kiri) bersama Aburizal Bakrie. (MI)
Kemenangan Novanto cukup mengejutkan, apalagi kala itu beredar isu 'asal jangan setnov (Setya Novanto)'. Mahfum, sosoknya dianggap kontroversial, sedang tersandung kasus 'papa minta saham' PT Freeport, dan baru saja dicopot dari jabatan Ketua DPR RI.
Kendati demikian, banyak kalangan yang sudah menebak kemenangan tersebut, mengingat kekuatan finansial dan dukungan yang dimiliki Novanto.
Kekecewaan pun terpendam bagi beberapa kader Golkar, khususnya yang kontra Ical - juga bukan pendukung Novanto. Sebagian dari mereka tidak masuk dalam jajaran kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) di bawah Novanto.

Suasana Munaslub Partai Golkar 2016 di Nusa Dua, Bali. Setya Novanto terpilih sebagai ketum dengan perolehan 277 suara dari 554 pemegang hak suara. (ANTARA)
Ganti Novanto!
SETYA Novanto terbelit kasus megakorupsi KTP Elektronik. Untuk kali pertama, pada Juli 2017, dia ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Meski sempat menang dalam gugatan praperadilan, namun, pada September 2017, KPK menetapkannya kembali sebagai tersangka dan menahan Novanto. Sebaliknya, Novanto kembali mengajukan gugatan praperadilan - yang saat ini masih berjalan.

Setya Novanto menjalani sidang di Pengadilan Tipikor jakarta, Rabu, 13 Desember 2017. (ANTARA)
Status tersangka sang ketum membuat geger partai beringin. Apalagi suhu politik nasional akan memasuki musim pemilu, baik Pilkada (2018) maupun Pileg dan Pilpres (2019).
Opini melengserkan Novanto - atas nama Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Golkar, muncul ke permukaan.
Alasan lainnya; Novanto adalah citra buruk yang bisa menyebabkan anjloknya suara Golkar dalam kontestasi politik mendatang.
Golkar kembali terbelah. Ada kelompok yang menggulirkan opini Munaslub dan ingin Novanto lengser, ada pula yang menganggap Munaslub tidak diperlukan.
Menyikapi gonjang ganjing dan situasi tanpa ketum, pengurus DPP Golkar menggelar rapat pleno untuk kali pertamanya setelah Novanto ditetapkan tersangka, Selasa, 21 November 2017.
Dalam rapat tersebut ditetapkan Sekjen DPP Partai Golkar Idrus Marham sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum.
Rapat pleno juga menetapkan bahwa partai tidak mengambil langkah apapun terhadap Novanto, sebelum ada keputusan dari gugatan praperadilannya yang kedua.

Idrus Marham (kanan) bersama Ketua Harian DPP Golkar Nurdin Halid. (MI)
Di luar DPP desakan Munaslub menguat. Tapi pengurus DPP tetap pada pendiriannya, dan meminta seluruh kader menghormati keputusan rapat pleno.
"Jelas, semua orang yang tidak suka perubahan pasti menolak (Munaslub). Mereka (pengurus DPP) status quo," ucap mantan Wasekjen DPP Golkar kubu Agung Laksono, Mirwan Bz Vauly saat kami temui di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan, Senin, 4 Desember 2017.
Mirwan adalah politisi muda yang menginisiasi pembentukan Gerakan Muda Pembaharu Golkar (GMPG) - komunitas yang memotori desakan Munaslub.
Mirwan tidak sendiri, bersamanya ada tokoh pemuda Golkar Ahmad Doli Kurnia - mantan pengurus DPP yang pernah dipecat Novanto. Ada pula Ketua Umum Barisan Muda Kosgoro yang juga Sekjen KNPI Sirajudin Wahab, serta sederet kader muda lainnya.
Dukungan juga datang dari Yorrys Raweyai, mantan Koordinator Bidang Polhukam DPP Partai Golkar, yang juga dipecat Novanto pada Oktober 2017 lalu.

Mirwan Bz Vauly. (dok. pribadi)
Menurut Mirwan, rapat pleno saat itu cenderung melindungi Novanto. "Buat saya ini sangat memalukan. Semua berlindung dibalik dalil hukum untuk mempertahankan posisinya."
Padahal, lanjutnya, aksi tercela yang dilakukan Novanto adalah persoalan pribadi, bukan tindakan partai. "Sekarang partai melindunginya menggunakan jaringan politik. Memalukan."
Mencari dalil di AD/ART
Pandangan Mirwan soal mendesaknya Munaslub sempat dibantah oleh kader muda Golkar lainnya, Pahlevi Pangerang.
Levi - sapaan karibnya, menganggap kader Golkar semestinya taat asas dalam menyelesaikan karut marut internal Golkar.
"Kubu perubahan vs status quo itu opini yang digiring, bahwa yang tidak ingin Munaslub itu adalah status quo. Padahal, bukan berarti tidak mau (Munaslub)," ucap Wasekjen DPP Partai Golkar ini saat kami temui di bilangan Otista, Jakarta Timur, Kamis, 7 Desember 2017.
Bagi Levi status quo adalah orang yang mau melihat prosedur. Jadi, sebaiknya semua kader menghormati keputusan rapat pleno DPP Golkar; menunggu hasil praperadilan Novanto.
"Ini bukan membela korupsi, tapi kan belum ada ketetapan hukum sebagai terdakwa," tegasnya.

Pahlevi Pangerang. (Medcom)
Levi menekankan, meski Munaslub diperbolehkan dalam AD/ART, namun seorang kader juga harus taat kepada asas yang ada. Hormati hasil rapat pleno yang juga merupakan produk konstitusi Golkar.
Senada, Sekjen Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) Andi Nursyam Halid menyayangkan langkah GMPG yang dianggapnya menyimpang dan cenderung memaksakan kehendak.
Andi khawatir langkah itu justru menjadi preseden buruk. Saling jatuh menjatuhkan di luar prosedur normal tahapan Munas, menjadi sesuatu yang dianggap lumrah.
"Saya berharap dia (aktivis GMPG) segera kembali ke jalan yang benar," tutur adik kandung dari Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid ini, saat berbincang dengan medcom.id di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat, 8 Desember 2017.

Andi Nursyam Halid. (dok. pribadi)
Kemenangan perubahan
Desakan Munaslub dari kubu perubahan semakin kuat. Bahkan berhasil mempengaruhi tiga organisasi pendiri Golkar; Kosgoro 1957, SOKSI, dan MKGR.
Satu per satu pengurus DPP Golkar tampak menyerah. Apalagi suara Dewan Pimpinan Daerah (DPD) semakin nyaring menginginkan pergantian kepemimpinan Golkar dengan segera.

Desakan Munaslub dari tiga ormas pendiri Golkar; MKGR, Kosgoro 1957, dan SOKSI. Saat itu dukungan juga diberikan kepada Airlangga Hartarto sebagai calon ketum baru, Minggu, 10 Desember 2017. (Medcom/Sonya)
Kini, Airlangga Hartarto yang dianggap simbol kubu perubahan resmi menjadi Ketum Golkar. Selanjutnya, kubu perubahan menitipkan catatan awal kepada Airlangga, yakni merehabilitasi pengurus DPP Golkar yang dipecat di masa kepemimpinan Novanto.
"Selanjutnya rehabilitasi pengurus yang dipecat, termasuk kader yang diberhentikan dari keanggotaannya, yaitu Yorrys Raweyai dan Ahmad Doli Kurnia," tegas Ketua DPP Partai Golkar Andi Sinulingga.
Kini, pertanyaan besar pun tersisa, apakah kemenangan kubu perubahan ini adalah akhir kisruh Golkar?
Atau, jangan-jangan seperti rekonsiliasi setengah hati 'Bali-Ancol' 2016 lalu, yang menyisakan dendam bagi yang tersisih, menjadi benih karut marut edisi selanjutnya.
"Saya pikir tidak ada. Misalnya ada kubu Novanto saat ini, lantas nanti akan disingkirkan, tidak seperti itu," kata Andi Nursyam Halid.
Dia meyakini bahwa sebelum keputusan Munaslub diambil, sudah ada pembicaraan tentang rekonsiliasi kader-kader yang berseberangan.
"Pasti akan diselesaikan secara baik di munaslub, mengakomodir semua kepentingan yang ada saat ini," harap Andi.
Pula Mirwan, dia mengatakan bahwa rekonsiliasi adalah bagian dari perubahan. “Ini sepatutnya agenda prioritas Airlangga, sekaligus uji kematangan golkar, menyelesaikan persoalan subtansi, yaitu menyatukan yang terpecah.”
Menurutnya lagi, Golkar seharusnya sadar bahwa akan berhadapan dengan agenda politik besar 2019. “Kalau tidak mampu menyatu, itu akan berat.”
Soal bagi-bagi posisi pun akan dilakukan secara elegan. Meski disadari ada faksi sana dan sini, juga kubu ini dan itu, tentu sebisa mungkin diakomodir.
“Kita tidak mau lagi seperti era yang lalu, mengempaskan Golkar jadi dua (dualisme Golkar 2014). Menutup ruang bagi yang berseberangan,” tutup Mirwan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News