Seorang banser melintas disamping karya seni lukis bergambar KH Hasyim Asy'ari. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)
Seorang banser melintas disamping karya seni lukis bergambar KH Hasyim Asy'ari. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Peran Ulama yang Bikin Sekutu Jera

Medcom Files hari pahlawan resolusi jihad
Sobih AW Adnan • 14 November 2016 12:58
medcom.id, Jakarta: Pekik ‘Allahu Akbar!’dari corong radio menyulut semangat juang rakyat Indonesia. Pada pagi 10 November 1945 itu, Soetomo alias Bung Tomo begitu mafhum. Agama dan kebangsaan di dalam dada pendukung republik tak dapat dipisahkan, terlebih dipertentangkan.
 
Tak ada data ihwal riwayat kesantrian Bung Tomo. Akan tetapi, kata Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru “ia diketahui meminta nasihat kepada Kiai Hasyim Asy’ari.”
 
Kehadiran Hadaratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari dan banyak tokoh pesantren dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya meninggalkan jejak konkret atas peran ulama dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Menurut pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fachri Aly, ulama berperan memberikan alasan keagamaan dalam memobilisasi dukungan rakyat terhadap kemerdekaan.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
“Peran kiai sangat besar, karena yang digunakan adalah simbol-simbol agama,” kata Fachri kepada Metro TV, Oktober lalu. Kiai Hasyim dan resolusi jihad
 
Presiden Soekarno dilanda gundah gulana. Betapa tidak, hingga separuh Oktober 1945, belum jua tampak dukungan negara sahabat atas kemerdekaan yang berhasil diraih Indonesia. Terkecuali, dari Kesultanan Yogyakarta yang dihadiahkan tepat sehari setelah pembacaan proklamasi 17 Agustus 1945.
 
Belum lagi, maraknya kabar pertempuran rakyat melawan tentara Jepang yang meletup di mana-mana. Keduanya berebut senjata hingga menelan korban jiwa dengan angka yang tidak sederhana.
 
Kegalauan sang proklamator semakin memuncak ketika berembus berita bahwa tentara Sekutu segera mendarat di pulau Jawa. Mereka yang tergabung dalam Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) merujuk pada keputusan negara-negara pemenang perang dunia II itu bermaksud melucuti senjata dan mengusir Jepang dari Indonesia. Yang tak kalah menjengkelkan, AFNEI juga mengemban misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi Hindia Belanda. Di belakang itu, satuan semi militer pemerintahan sipil Belanda, Netherlands Indies Civil Administration (NICA) turut membonceng.
 
Soekarno benar-benar mengidamkan dukungan rakyat. Ia juga tersinggung dengan propaganda Belanda yang disebarkan kepada masyarakat dunia. Katanya, Indonesia tak lebih dari sekadar negara boneka buatan fasisme Jepang. Indonesia mendapatkan kemerdekaannya secara cuma-cuma.
 
“Banyak dari mereka telah benar-benar merasa yakin bahwa republik hanya mewakili segerombolan kolaborator yang tidak mendapat dukungan rakyat,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.
 
Soekarno segera mengirimkan utusan guna meminta fatwa Hasyim Asy’ari. Bukan tanpa sebab sosok kelahiran Demak, 10 April 1875 itu dipilih. Posisinya sebagai pendiri sekaligus Rais Akbar Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU) dianggap memiliki basis massa yang kuat. Hasyim dengan jaringan pesantren yang tersebar hampir di seluruh Indonesia dianggap memiliki prinsip dan pendirian yang cocok dalam menempatkan agama dan semangat kebangsaan.
 
“Agama menjadi potensi untuk negara, dan negara mengayomi agama. Janganlah keduanya dipertentangkan. Akhirnya agama lemah, negara tak kunjung berdiri. Maka timbullah al-wathaniyah, nasionalisme dalam visi Hasyim Asyari,” kata mantan ketua umum PBNU KH Hasyim Muzadi dalam Riwayat Kemuliaan Sang Hadratus Syaikh, di Metro TV, Sabtu (22/10/2016).
 
Kepada utusannya di Jombang, Bung Karno menitipkan sebuah pesan tanya. Apakah hukumnya membela Tanah Air. Bukan membela Allah, membela Islam, atau membela Al-Quran?
 
Mendapati pertanyaan penting itu, pada 21-22 Oktober 1945 Kiai Hasyim Asyari mengumpulkan konsul-konsul NU se-Jawa dan Madura di kantor PB ANO (Pengurus Besar Ansor Nahdlatul Oelama) di Jalan Bubutan VI/2 Surabaya. Dalam rapat yang dipimpin ketua besar KH Abdul Wahab Chasbullah itu, Kiai Hasyim menetapkan fatwa bertajuk Resolusi Jihad Fii Sabilillah.
 
“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)…” seru Kiai Hasyim sebagaimana dicatat Saefuddin Zuhri dalam Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia.
 
Peran Ulama yang Bikin Sekutu Jera
NASKAH RESOELUSI NAHDLATUL ULAMA (Sumber: Perpustakaan PBNU)

 
Tersebarlah seruan yang membandingi ultimatum Sekutu agar rakyat Indonesia menyerahkan senjatanya itu. Suasana panas membakar semangat penduduk Kota Surabaya. Pesan Resolusi Jihad mendapati puncaknya di saat kapal perang Inggris HMS Wavenley menurunkan pasukan di dermaga Modderlust, Surabaya pada 25 Oktober 1945. Pertempuran meletus selama empat hari dari 26 sampai 29 Oktober 1945. Ribuan santri dan pemuda Surabaya serentak menyerang tentara asing yang menginjakkan kaki di Surabaya.
 
Kecamuk perang dan kecintaan ulama terhadap bangsa
 
Pertempuran yang cenderung tanpa komando itu pada akhirnya membuat Sekutu berkepentingan mendesak Soekarno untuk menyepakati gencatan senjata. Setelah kesepakatan dicapai pada 30 Oktober 1945, Presiden Soekarno bersama Mohammad Hatta dan Amir Sjarifuddin datang ke Surabaya untuk menyuarakan kesepakatan damai. Nahasnya, Komandan Brigade 49 Divisi India dari AFNEI, Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tewas digranat.
 
Sejarawan Agus Sunyoto mengatakan, kematian jenderal yang memancing kemarahan pihak Sekutu tersebut menunjukkan bahwa rakyat Surabaya tergerak atas semangat perlawanan yang telah disuarakan ulama. Pihak Sekutu, terutama Belanda tidak pernah menduga rakyat memberikan dukungan terhadap pemerintah dengan mengorbankan segenap jiwa dan raganya.
 
“Siapa yang membunuh Mallaby? Yang jelas bukan tentara. Karena mereka sudah mengetahui aturan perang internasional yang tidak memperkenankan membunuh jenderal,” kata Agus kepada medcom.id, Sabtu (12/11/2016).
 
Kematian Mallaby disambut kemarahan penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh. Ia mengeluarkan ultimatum agar semua pimpinan Indonesia segera melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan. Mereka diwajibkan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum itu dipatok hingga jam 6.00 pagi pada 10 November 1945.
 
Menurut Agus, ultimatum Sekutu itu sudah barang pasti dianggap sebagai penghinaan bagi rakyat Indonesia. Ultimatum pun ditolak pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia telah berdiri, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) telah lengkap terbentuk.
 
“Ulama, di bawah Kiai Hasyim Asy’ari kembali bergerak. Resolusi Jihad NU kembali didengungkan melalui Muktamar Umat Islam Indonesia yang dilaksanakan pada 7-8 November 1945 di Yogyakarta,” ujar Agus.
 
Peran Ulama yang Bikin Sekutu Jera
PEMBERITAAN RESOLUSI JIHAD KEDAULATAN RAKYAT (Sumber: KR)
 
Pada pagi 10 November 1945, pertempuran sengit pun berkecamuk. Melalui siaran radio, Bung Tomo meneruskan semangat jihad para ulama. Sekitar 100 sampai 150 ribu santri dan pemuda yang tergabung dalam laskar Hizbullah dan Sabilillah turut bergabung bersama TKR. Pertempuran pun berlangsung hingga tiga pekan.
 
“Kiai Hasyim terus memantau pergerakan kekuatan dalam melawan penjajah, terutama laskar Hizbullah dan Sabilillah. Intinya, jangan sampai ada ketakutan sejengkal pun untuk menhadapi penjajah. Semangat jihad terus dikobarkan hingga titik darah penghabisan,” tulis Zuhairi Misrawi dalam Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan.
 
Gerilya di medan perang bukan sebuah keterpaksaan. Kalangan ulama kala itu telah begitu mantap mengorbankan jiwa raganya demi mempertahankan kemerdekaan. Semangat agama melandasi para pejuang guna melawan penindasan yang dilakukan penjajah.
 
“Ada kaidah yang sangat populer di kalangan tradisional. Hubb al-wathan min al-iman. Mencintai Tanah Air adalah bagian dari iman. Jadi, mati demi membela Tanah Air merupakan misi mulia yang akan mempertebal keimanan seorang Muslim,” tulis Zuhair.
 
Sebagai ulama, Kiai Hasyim tidak sendirian. Selain ditemani KH Wahab Chasbullah, banyak tokoh dari berbagai daerah di Jawa dan Madura turut bergabung.
 
“Terutama Kiai Abbas Abdul Jamil dari Pesantren Buntet, Cirebon. Kiai Mahfudz dari Kebumen, dan masih banyak lagi. Mereka menyusun kekuatan dan strategi di rumah Kiai Yasin Blauran Surabaya,” kata Agus.
 
Pesan kebhinekaan dalam pertempuran 10 November 1945
 
Pertempuran 10 November 1945 kemudian ditetapkan sebagai hari pahlawan nasional. Perang yang berlangsung dengan kemampuan tidak berimbang itu menewaskan 600 jiwa dari total 30 ribu tentara Sekutu. Sementara dari pihak Indonesia mendekati 160 ribu dari total 20 ribu TKR dan 150 ribu pemuda non-militer.
 
Indonesia memang kalah banyak. Namun tekad yang ditunjukkan dalam pertempuran itu cukup membuat Sekutu jera. Inggris merasa terlalu banyak mengeluarkan ongkos untuk menghadapi pergolakan rakyat di Surabaya. Terutama ketika harus menghadapi kedua jenderal andalannya yang tewas, Mallaby dan Brigadier General Robert Guy Loder Symonds.
 
Kekuatan rakyat dan ulama yang bersatu padu menjadi judul penting dalam pertempuran yang ditaksir lebih besar ketimbang pertempuran Normandia pada Juni hingga Agustus 1944. Bukan hanya berbalut pesan agama, kekuatan itu juga muncul akibat kepiawaian Kiai Hasyim dalam menjalin komunikasi dengan berbagai pihak.
 
“Kiai Hasyim senantiasa berkomunikasi dengan tokoh-tokoh Muslim dari berbagai penjuru dunia untuk melawan penjajah sejak masa perjuangan kemerdekaan. Sebut saja, Pangeran Abdul Karim al-Khatthabi (Maroko), Sultan Pasha al-Athrasi (Suriah), Muhammad Amin al-Husaini (Palestina), Dhiyauddin al-Syairazi, Muhammad Ali, dan Syaukat Ali (India), serta Muhammad Ali Jinnah (Pakistan),” tulis Zuhairi masih dalam buku yang sama.
 
Sejarawan Anhar Gonggong juga mengatakan, tidak elok jika pertempuran 10 November 1945 diklaim hanya melibatkan satu-dua golongan saja. Peristiwa penting itu justru patut dijadikan teladan karena bersatunya ulama dengan berbagai kalangan demi mempertahankan kemerdekaan.
 
“Bukan hanya santri. Ada banyak orang yang terlibat di dalam peperangan tersebut. Tentara, kelompok-kelompok pemuda dan masyarakat dengan latar belakang berbeda, termasuk non muslim. Ini menunjukkan ulama, terutama NU begitu ulet menghimpun kekuatan untuk melawan penjajah sebagai musuh bersama,” kata Anhar kepada medcom.id, Sabtu (12/11/2016).
 
Sikap itu penting dirawat oleh ulama sebagai pemegang kendali kebanyakan rakyat di Indonesia. Dengan semangat keagamaan, kekuatan itu sangat bagus untuk menggerakkan masyarakat demi keselamatan negara.
 
“Saya apresiasi terhadap sikap NU yang masih bertahan hingga sekarang, begitu juga Muhammadiyah. Yang bahwasannya Pancasila dengan agama tidak boleh dipertentangkan. Semua harus saling sokong demi kebaikan bangsa,” kata Anhar.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan