Ada yang bilang, Partai Golkar hanya bisa dipegang orang-orang berduit. Dan, momen pergantian pucuk pimpinan partai adalah momen yang paling ditunggu, tentu bagi pemilik hak suara.
Di puncak Musyawarah Nasional (Munas), aksi menyiram duit dari para petarung kursi ketua umum (ketum) adalah hal biasa. Harapannya, sebanyak mungkin suara dapat dikantongi.
Lantas, bagaimana dengan saat ini, tatkala ketua umum (ketum) baru - pengganti Setya Novanto, diangkat dalam rapat pleno pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar?
.jpg)
Suasana rapat pleno DPP Partai Golkar, Rabu, 13 Desember 2017. (MI)
Visi, Misi, dan 'Gizi'
Pemilik hak suara di Golkar adalah; Dewan Pimpinan Pusat (DPP) memiliki satu suara, Dewan Pimpinan Daerah tingkat provinsi (DPD I) masing-masing satu suara, pula DPD II tingkat kabupaten/kota.
Lantas tiga organisasi pendiri; SOKSI, Kosgoro 1957, dan MKGR, memiliki satu suara. Kemudian organisasi-organisasi yang didirikan, satu suara. Ada pula ormas-ormas sayap partai, yang juga satu suara.
Jadi, saat atau sebelum pemilihan ketum berlangsung, setidaknya ada 600 lebih suara yang diperebutkan.
"Untuk menjadi Ketum Golkar paling tidak butuh modal Rp1 triliun. Katakan ada 600 suara, dikalikan saja sekecil-kecilnya Rp1 milyar. Terus, untuk dewa-dewa di atas."
Pengakuan itu diungkapkan Wabendum DPP Golkar Arman Amir saat berbincang denganmedcom.iddi kawasan Melawai, Jakarta Selatan, Rabu, 6 Desember 2017.
'Dewa' yang dimaksud Arman adalah kader senior, baik di Dewan Pembina, Dewan Pakar, maupun Dewan Kehormatan. Bisa juga di luar itu, asal memiliki pengaruh alias figur patron dalam dinamika Golkar.
.jpg)
Wakil Bendahara Umum DPP Partai Golkar Arman Amir. (dok. pribadi)
Sementara itu, mantan Wasekjen DPP Golkar yang kini aktif dalam komunitas Gerakan Muda Pembaharu Golkar (GMPG), Mirwan Bz Vauly, membenarkan budaya komunikasi 'uang' itu.
Menurutnya, dinamika Golkar yang penuh faksi tidak hanya membuahkan nilai positif dalam tataran demokrasi. Komunikasi 'uang' tadi boleh dikata sebagai dampak negatifnya.
Dalam sebuah suksesi semua harus didekati. Karena itu, di Golkar, bila seorang kader ingin mencalonkan diri dalam sebuah pemilihan kepemimpinan, dia harus memiliki kemampuan hebat, pula 'kantong kuat'.
"Kriteria itu (kekuatan finansial) memang tidak tercatat, tapi keharusan dalam konteks budaya politiknya," kata Mirwan saat kami temui di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan, Senin, 4 Desember 2017.
Momentumnya tidak mesti
di Munas. Jauh sebelumnya
modal sudah bisa keluar,
dalam rangka silaturahmi
mencari dukungan faksi-faksi.
"Persoalan kemudian minum kopi dan ada 'biaya kopi', atau makan malam saja,you pay it!Sesederhana itu," ujar Mirwan.
Menurutnya lagi, biaya 'makan malam' bisa mencampai ratusan juta. "Ya, selebihnya, kita nggak tau," ungkap dia sambil mengangkat bahu.
Bagi orang-orang yang terlibat, biaya-biaya tersebut diterjemahkan sebagai ongkos politik yang sesungguhnya. Bagian dari komunikasi politik.
Boleh jadi, di banding semua partai yang ada, Golkar memiliki ongkos politik termahal. Apalagi bukan tipikal partai yang hanya memiliki satu figur patron.
"Di Golkar, Anda harus bicara dengan semua faksi, semua orang, semua figur patron. Seperti Bang Akbar (AKbar Tanjung), Pak JK (Jusuf Kalla). Atau juga Bang Ical (Aburizal Bakrie), Agung Laksono, mesti diajak ngomong. Karena mereka memiliki pengaruh, ada turunan-turunannya, untuk suara Anda," papar Mirwan.

Agung Laksono, Jusuf Kalla, dan Aburizal Bakrie. (MI)
***
BICARA komunikasi 'uang', Arman memiliki harapan agar ongkos politik di Golkar tidak terlampau tinggi. Baginya, kultur tersebut seperti pintu yang sulit dilalui bagi kader unggulan, namun kalah finansial.
Meski begitu, Arman tidak menegasikan soal pentingnya pimpinan yang 'bergizi'.
"Agar tidak ada lagi pimpinan yang hanya mencari uang dari rekomendasi untuk meloloskan bupati, juga kebijakan-kebijakan," papar Arman. Setelah itu, sambungnya, ketika si calon lolos menjadi kepala daerah atau anggota DPR, diberikan target setoran.
Bila ekosistemnya demikian, lumrah bila akhirnya kader-kader yang mau berkompetisi perlu menggandeng cukong.
Lantas, bak lingkaran setan, si kepala daerah atau anggota DPR tersandera kepentingan cukong.
"Ini sangat tidak sehat. Makanya harus dipimpin sama orang yang tuntas. Visi, misi, dan gizi, itu tidak bisa kita hindarkan di Golkar," tegas Arman.
Menanti cukong
Cukong/cu·kong/ n: 1 orang yang mempunyai uang banyak yang menyediakan dana atau modal yang diperlukan untuk suatu usaha atau kegiatan orang lain; 2 pemilik modal.
Demikian Kamus Besar bahasa Indonesia mengartikan kata cukong.
Ya. Dengan biaya yang sangat besar, bukan tidak mungkin seorang calon ketua umum di Golkar membutuhkan cukong untuk bertarung.
Cukong pun tak mungkin
memberikan 'cek kosong'
tanpa embel-embel.
Apalagi yang dicukongi adalah calon pemimpin sebuah partai besar, berpengaruh dalam dinamika kekuasaan, dan sudah tentu berperan dalam legislasi.
Untuk apa? Apa lagi kalau bukan pengamanan 'mesin uang' milik si cukong, melalui regulasi maupun negosiasi dengan kekuasaan.
Ihwal percukongan inilah yang menjadi pembahasan dalam gonjang-ganjing Golkar tempo hari. Apa ada yang mau mencukongi calon ketum pengganti Novanto dalam Munaslub? Sementara periodesasinya singkat, yakni 1,5 tahun sisa kepengurusan hingga Munas 2019.
Bahkan, saat nama Airlangga Hartarto melambung tinggi dengan dukungan banyak faksi di Golkar sebagai calon ketum, banyak yang tidak yakin dia bisa mendapatkan cukong untuk 'menyiram' Munaslub.

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. (ANTARA)
Bayangkan, untuk mendapatkan dukungan DPD I, kepemimpinan Golkar di level provinsi itu mesti menggelar rapat pleno di tingkatannya. Begitupula di di DPD II. Semua ada biayanya.
Belum lagi faksi-faksi di pusat, seperti ormas-ormas, baik pendiri, yang didirikan maupun ormas sayap Golkar.
"Cukong mungkin akan berpikir bahwa ini tidak sebanding. Apakah 1,5 tahun bisa balik modal? Sementara nanti 2019 Munas lagi, penghabisan periode kepengurusan," kata Arman.
Banyak orang Golkar meyakini, mau tidak mau Airlangga mesti mencari sponsor alias cukong dalam waktu dekat. Meski saat itu sudah banyak faksi dan DPD yang menyatakan dukungannya, diyakini pula itu baru sekadar uang muka.
Bahkan, ada pula yang menganggap langkah kelompok yang mendukung Airlangga bak proses lelang dukungan, menanti tawaran yang lebih tinggi. Namun, anggapan itu disangkal Arman yang juga Wakil Ketua Umum Ormas MKGR.
"Dukungan itu hasil analisa pimpinan ormas soal situasi saat ini," ucapnya.
.jpg)
Desakan Munaslub dari tiga ormas pendiri Golkar; MKGR, Kosgoro 1957, dan SOKSI. Saat itu dukungan juga diberikan kepada Airlangga Hartarto sebagai calon ketum baru, Minggu, 10 Desember 2017. (Medcom/Sonya)
Munaslub murah
Rabu, 13 Desember 2017, Rapat Pleno DPP Golkar menghasilkan keputusan. Untuk menyelesaikan masalah krisis kepemimpinan di partai beringin, diangkatlah Airlangga Hartarto sebagai Ketum Golkar definitif.
Apakah proses pemilihan
Airlangga menjadi ketum
tanpa komunikasi 'uang'?
"Kemarin itu kan prosesnya semacamcut off. Munaslub tinggal pengukuhan saja. Tapi, tidak bisa juga dibilang tanpa biaya politik. Tapi, yang pasti Munaslub-nya jadi murah," kata Mirwan.
Menurutnya, sebelum Airlangga diangkat menjadi ketum, proses pencarian dukungan itu belum tentu murah. "Ada ongkos lumayan juga."
Memang, Mirwan mengakui, proses naiknya ketum kali ini bisa mengecewakan orang, tentunya yang berharap dapat duit siraman yang besar.
"Tapi inilah perubahan. Soal kebiasaan transaksional, setidaknya berkurang 20 persen lah," tutur Mirwan terkekeh.
Dia menganggap, fenomena gonjang ganjing Golkar kali ini menghasilkan sebuah langkah besar. Menabrak batas tradisi ongkos politik yang sangat tinggi.
Artinya, sambung Mirwan, semua orang yang merasa memiliki potensi untuk memimpin, punya kesempatan berkompetisi.
"Juga mengubah tradisi munaslub mahal," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News