Afdal lelah menunggu. Bukan menunggu pujaan hati, tapi menunggu panggilan nomor antrian salah satu puskesmas di Jakarta. Tapi apa mau dikata, Afdal hanya orang tak berada yang bergantung ke asuransi kesehatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Mau tak mau Afdal yang sedang demam tinggi harus menunggu dengan sabar walau waktu sudah menunjukkan pukul empat sore lewat sebelas menit. Selain Afdal masih ada belasasan pengunjung lainnya yang menunggu antrian di ruang tunggu puskesmas. Menunggu giliran diobati dokter.
Beda Afdal, beda pula yang dialami Yul. Warga Utan Kayu, Matraman, Jakarta Timur ini tengah menunggu antrian untuk menangani matanya yang tak bisa jelas memandang. Selain susah fokus, kepalanya pun sakit berdenyut-denyut. “Badan rasanya oleng,” ucap Yul sembari menekan kepalanya yang terasa pusing.
Ia pun datang ke Puskesmus Utan Kayu Selatan dengan niat meminta rujukan. Tak apa menunggu lama, yang penting bisa diklaim ke BPJS.
“Kalau terasa sakitnya parah, baru saya bayar sendiri,” tutur ibu paruh baya ini. Agar tak menunggu lama dalihnya.
Afdal dan Yul, potret dua orang dari ratusan hingga ribuan pasien di puskesmas Ibu Kota yang diamati medcom.id selama sepekan belakang. Ada yang memuji kualitas pelayanan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) di DKI Jakarta. Tapi, banyak juga yang mengeluh.
Baca: Sebabak Kenangan Buruk Pengguna BPJS.
Tapi secara hitung-hitungan, orang sakit di Jakarta masih dapat dikatakan beruntung. Di Jakarta ada 340 puskesmas kelurahan dan 44 puskesmas kecamatan, dokter banyak tersedia, bahkan 18 puskesmas memiliki kelas setara rumah sakit tipe D sejak tahun 2014.
Puskemas Kebon Jeruk misalnya. “Puskesmasnya buka 24 jam. Untuk yg UGD dan poli-umum,” ucap Kepala Puskesmas Kebon Jeruk, Junaidah kepada medcom.id, Jumat (28/1/2017).
Dengan armada 48 dokter umum dan 7 dokter gigi, Puskesmas Kebon Jeruk dapat melayani lebih kurang 800-1.000 pasien perhari, dengan beban kerja satu dokter sekitar 35-40 pasien.
Beruntunglah warga Jakarta. Coba bandingkan dengan perbandingan dokter umum nasional yang hanya ada 110 ribu untuk 255 juta masyarakat. Sekitar 1 dokter untuk 2.300 pasien (1:2.300). Melewati batas minimal kelayakan, tapi belum ideal.
“Bandingkan, Belanda 1:300, Australia 1:300,” ujar Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia Ilham Oetama Marsis kepada medcom.id, Jumat (28/1/2017).
Tidak usah dengan negara maju, Indonesia masih kalah dengan negara tetangga. Contohnya, Singapura 1 dokter umum untuk 510 jiwa (1:510), Malaysia (1:830), bahkan Vietnam (1:825).
Persebaran dan kualitas tenaga kesehatan, akses kesehatan dan obat-obatan, belum lagi soal anggaran. Persoalan kesehatan nan rumit. yang harusnya membuat pemerintah “meriang”.
Baca: BPJS dan Diskriminasi Pasien
Debat soal kompetensi
Kekurangan dokter memang persoalan. Tapi layanan kesehatan masyarakat ternyata menjadi perkara yang tidak kalah pentingnya.
Kementerian Kesehatan mengklaim kompetensi dokter umum Indonesia banyak dipertanyakan. Banyak pasien tidak ditangani hingga tak sedikitnya kasus malpraktik terjadi. Puskesmas hanya menjadi tempat pasien diberi rujukan oleh dokter umum menjadi jargon baru.
Muncul program bernama Dokter Layanan Primer (DLP). Dokter yang katanya akan diberikan kualifikasi yang lebih baik ketimbang dokter umum biaya. Hal ini diatur dalam Undang-Undang 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
Namun muncul perdebatan. Benarkah DLP meningkatkan kompentensi dokter? Benarkah DLP bermanfaat untuk masyarakat dan bukan semata proyek bagi lahan saja?
IDI menentang DLP habis-habisan. Buang-buang anggaran, menghilangkan fungsi dokter umum, memperlama pendidikan tenaga kesehatan, dan beragam alasam lain.
“Terutama potensi kriminalisasi dokter umum,” tegas tenaga ahli Dewan Jaminan Kesehatan Nasional Hasbullah Thabrany kepada medcom.id, Kamis (27/1/2017).
Dokter umum tidak akan lagi diperbolehkan memberi rujukan dan menangani pasien yang ditanggung Jaminan Kesehatan Nasional. Setidaknya, kata Hasbullah, begitu yang tertuang dalam pasal 8 ayat (2) UU 20 tahun 2013 tentang penjelasan kualifikasi DLP.
Aneh. Begitu kata IDI soal latar belakang pembentukan DLP dan “tudingan” dokter umum tak punya kompetensi. Kementerian Kesehatan seharusnya lebih mendayagunakan dokter umum lebih banyak untuk tenaga dokter di FKTP seperti puskesmas dan klinik.
Bukan menyekolahkan lagi dan tak memikirkan tenaga kesehatan nasional yang masih minim. “Kita masih perlu sekitar 20 ribu dokter umum lagi di FKTP,” kata Marsis”.
Jika dokter umum sudah dinilai kompeten oleh BPJS, untuk apa dididik di program studi DLP dengan tujuan yang sama? Padahal jika memang Kemenkes ingin meniru dua jenis dokter di beberapa negara, modelnya sudah ada di Indonesia.
Namanya dokter umum, satu lagi profesi yang bernama dokter keluarga. DLP sendiri secara kurikulum, program studi yang 80% mirip dengan profesi dokter keluarga.

Ujung tombak pelayanan
Puskesmsas haya sebagai pusat rujukan masyarakat. Dokter umum setara dokter perujuk. Sayangnya, hal ini tidak dengan seksama diperhatikan Kemenkes dalam menyelipkan program DLP.
“Itu sangat tidak berdasar,” jawab Marsis sembari tergelak.
Dalam pelaksanaan JKN selama 2 tahun ini, BPJS menunjukkan jumlah rujukan dari puskesmas, klinik, dan dokter praktek mandiri ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut (FKTL) secara nasional sekitar 12%. Masih di bawah standar 15%.
“Ini bukan soal kompetensi atau pendidikan lemah,” tegas Marsis.
Di beberapa FKTP tertentu, ada rujukan yang jumlahnya lebih dari 15%, namun sebabnya bukan karena persoalan kompentensi dasar yang tidak terpenuhi.
Salah satunya persoalan sarana prasarana. Hasil kajian yang dimiliki IDI, sekitar 50% puskesmas yang ada tidak memiliki sarana-prasarana yang lengkap.
Entah tragis atau miris, dari 9.815 puskesmas di Indonesia masih terdapat 938 puskesmas yang tidak memiliki dokter umum. Padahal puskesmas merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan bagi masyarakat jelata.
Selain kekurangan dokter umum, sebanyak 4.121 puskesmas juga tidak memiliki dokter gigi, 255 puskesmas tidak memiliki perawat, dan 364 puskesmas tidak memiliki bidan.
Kekurangan tenaga medis dan prasarana bukanlah satu-satunya alasan tingginya angka rujukan. Kurangnya obat-obatan jenis tertentu, hingga ke permintaan pasien juga menjadi sebab. Fenomena yang banyak ditemui.
“Kalau enggak ke spesialis, pasien takut enggak sembuh. Itu biasa,” kata Hasbullah yang juga didaulat sebagai guru besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Biaya pendidikan
Biaya pelayanan kesehatan di rumah sakit seringkali juga mengkambinghitamkan biaya pendidikan dokter yang tinggi. “Dokter bayar hutang modal kuliah”, “hanya orang kaya yang bisa nikmati pendidikan dokter”, dan beragam jargon lain seputar pendidikan dokter sering berhembus.
IDI tegas membantah “pendidikan dokter mahal” pasti membuat “harga kesehatan mahal”. Benar biaya pendidikan dokter mahal, tapi pemerintah masih bisa memberikan subsidi kesehatan ke masyarakat.
“Tapi, kita sekarang terjebak isu DLP,” tegas Marsis.
Saat ini Indonesia membutuhkan banyak dokter umum. Tapi Indonesia juga masih membutuhkan lebih banyak lagi dokter spesialis.
Masyarakat banyak yang sengsara menunggu dan menunggu di lobi rumah sakit. Bahkan cerita pasien melepas ajal di ranjang pesakitan karena terlambat ditangani bukan satu-dua kali terdengar.
Tapi ini bukan karena hanya mereka tak mau ditangani rumah sakit. Tapi memang tak cukup dokter spesialis yang menangani.
Menyedihkan atau tidak, silahkan dinilai sendiri. Dari sekira 2.184 rumah sakit di Indonesia, 29 persennya tidak memiliki dokter spesialis anak, dan 27 persennya tidak ada dokter spesialis kandungan dan kebidanan. Itulah salah satu penyebab Indonesia gagal menurunkan angka kematian ibu dan bayi.
Jumlah dokter spesialis masih terlalu minim, sekitar 30 ribuan pada tahun 2015. Tiap tahunnya Indonesia harus menghasilkan dokter spesialis baru 30 persen dari jumlah sebelumnya. Sangat sulit jika melihat waktu dan iklim pendidikan dokter saat ini.
Seorang dokter baru bisa menjadi dokter umum yang sah setelah melewati pendidikan 4-5 tahun di perguruan tinggi, 2-3 tahun pendikan magang dan progam asistensi.
“Dan mereka harus ikut DLP 2 tahun untuk bisa ke puskesmas?” kritik Hasbullah. Belum lagi pendidikan spesialis yang perlu memakan waktu tidak sedikit.
Pendidikan dokter bukanlah pendidikan biaya yang murah. Tenaga kesehatan tidak layak pula dipersulit secara aturan karena menyangkut nyawa manusia. Menekan biaya dan waktu seiring meningkatkan kualitas, itu yang paling pas.
Hal ini ditegaskan Marsis dan harus dicamkan ke benak pengambil kebijakan.”Spesialis itu Rp50-120 juta persemester, belum biaya masuk. Ini yang harusnya ditekan,” tegas Marsis.
Lewat subsidi atau merubah sistem pendidikan ke bentuk kerjasama kampus universitas. Seharusnya jumlah dokter umum dan dokter spesialis bisa ditingkatkan.
Mampu tak mampu, tapi negara harus mau menganggarkan dana yang tidak sedikit untuk kesehatan. Idealnya uang negara disisihkan sepersepuluhnya untuk sektor kesehatan. Mulai untuk subsidi pelayanan masyarakat, pendidikan dokter dan tenaga kesehatan, hingga pengembangan fasilitas kesehatan.
“Kita itu baru 5%. Itupun diperdebatkan,” ujar Hasbullah keheranan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News