Seorang pria mencatat sejumlah persyaratan pendaftaran calon taruna dan taruni Akademi Kepolisian. (ANTARA/Jessica Wuysang)
Seorang pria mencatat sejumlah persyaratan pendaftaran calon taruna dan taruni Akademi Kepolisian. (ANTARA/Jessica Wuysang)

Kuota Putra Daerah, Diskresi atau Berkelit?

Medcom Files kepolisian
Coki Lubis • 19 Juli 2017 13:44
medcom.id, Jakarta: Heboh. Video yang merekam aksi protes orangtua peserta seleksi taruna Akademi Kepolisian di Kepolisian Daerah Jawa Barat viral di media sosial. Kemarahan itu muncul lantaran Kepala Polda Jabar, Irjen Pol Anton Charliyan, mengeluarkan keputusan untuk dilaksanakannya pemeriksaan kesehatan ulang dan memprioritaskan putra daerah.
 
Kebijakan yang tertuang dalam surat keputusan Kapolda Jabar Nomor Kep/702/VI/2017 itu membuat para calon taruna yang mendapatkan ranking tinggi tersingkir. Hal yang paling membuat para pemrotes tidak terima kebijakan tersebut adalah dimunculkan di tengah proses seleksi, tidak sejak awal.
 
Maka, wajar jika mereka kesal. Apalagi, segala upaya yang dilakukan untuk masuk kompetisi penerimaan siswa baru Akpol ini tidak bisa dianggap remeh. Boleh dibilang pihak calon taruna telah berusaha semaksimal mungkin melakukan persiapan. Aspeknya meliputi latihan fisik dan menabung uang yang prosesnya boleh jadi dimulai dari setahun sebelumnya.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Apabila semua tenaga, biaya, serta waktu yang telah dikorbankan demi berhasil masuk Akpol ini kemudian menjadi sia-sia, siapa yang tidak akan kecewa dan mendongkol?
Pemberitaan mengenai polemik ini ternyata turut menyedot perhatian pemimpin Kepolisian Negara RI. Gerah dengan kabar terkait aksi protes tersebut, Kepala Polri Jenderal Pol Tito Karnavian akhirnya turut angkat bicara. Ia menegaskan sudah menegur Anton.
 
Namun, Tito memberikan kesan bahwa keputusan yang diambil Anton soal kuota putra daerah merupakan sesuatu yang lumrah. "Rupanya ada aspirasi masyarakat setempat Jabar agar ada calon putra daerah yang diberikan prioritas. Kapolda berusaha akomodir itu," ujar Tito di Markas Besar Kepolisan Negara RI, Jakarta, Selasa 4 Juni 2017.
 
Kapolri menjelaskan bahwa keputusan yang diambil Anton bukan didasari niat buruk. Hanya ingin memenuhi kebutuhan dari tokoh masyarakat setempat. "Tapi, setelah dijelaskan ada Perkap (Peraturan Kapolri), Kapolda baru ingat," kata Tito.
 
Perkap yang dimaksud Tito adalah aturan tentang pemberian kuota putra daerah dalam seleksi Akpol. Tetapi, kuota putra daerah itu hanya berlaku di Polda Papua. Alasannya jelas, soal perbedaan kualitas pendidikan yang cenderung lebih rendah dibanding daerah lainnya.
 
Perbedaan kualitas pendidikan itu ditengarai bisa menyingkirkan putra daerah saat bersaing dalam seleksi taruna Akpol. Pasalnya, peserta yang notabene keluarga pendatang dan mengenyam pendidikan di luar papua, nilai tesnya cenderung lebih tinggi dibanding putra daerah.
 
Inilah Indonesia. Harus diakui, perbedaan kualitas pendidikan antara daerah yang satu dengan yang lain, nyata adanya.
 
Tapi, bila ingin jujur, perbedaan mencolok itu tidak hanya terjadi di Papua. Masih ada daerah lain, khususnya di wilayah Indonesia Timur, yang kualitas pendidikannya lebih rendah dibanding wilayah lain khususnya di barat dan tengah Indonesia.
 
Kuota Putra Daerah, Diskresi atau Berkelit?
FOTO: Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian (MI/Rommy Pujianto
)
 

 
Diskresi
 
Diskresi, atau pengambilan keputusan sendiri oleh seorang pejabat dalam situasi tertentu, ada dalam regulasi. Bukan sesuatu yang ilegal. Frasa inilah yang dialamatkan kepada tindakan Anton dalam seleksi penerimaan Akpol di Polda Jabar.
 
Masalahnya, bila merujuk pada penjelasan Tito soal pemberian kuota daerah, diskresi itu tentu sangat tidak relevan bagi Jawa Barat. Pasalnya, kuota putra daerah itu sangat terkait dengan perbedaan kualitas pendidikan.
 
Diskresi semacam itu bukan kali ini saja muncul dalam seleksi taruna Akpol. Hal serupa pernah terjadi di Polda Maluku beberapa tahun yang lalu.
 
Tapi, seperti diungkapkan Komisioner Ombudsman RI Adrianus Meliala, diskresi yang diambil Kapolda Maluku saat itu bisa dibenarkan. Karena dari sisi kualitas pendidikan, dibanding ibu kota dan sekitarnya, Maluku masih lebih rendah.
 
Menurut dia, banyak anggota Polri memasukan keluarganya sebagai peserta Akpol dari Maluku. "Dari jawa ikut seleksi di sana, kemudian menang," tutur Adrianus saat berbincang dengan medcom.id di Jakarta, Selasa 11 Juni 2017.
 
Bisa dibayangkan bila jumlah Perwira Menengah (Pamen) di Maluku ada 20 orang, sementara kuota Maluku hanya 10 bangku. Lantas kalau 20 orang Pamen itu menitipkan anak atau kerabatnya dalam seleksi Akpol di sana, bisa bisa semua yang terpilih bukan putra daerah.
 
"Dengan kata lain jatah daerah sendiri jadi tidak ada lagi," kata Adrianus.
 
Baca: Bersaing dengan “Anak Jenderal”
 
Dari persoalan ini, muncul diskresi Kapolda Maluku soal putra daerah. Alasannya, yang bukan putra daerah telah memenuhi kuota di Polda tersebut. Mengapa? Karena persaingannya tidak ketat, bahkan lebih mudah.
 
Jadi, jelas sudah, seharusnya isu putra daerah dalam seleksi Akpol di Polda Jabar tidak relevan. Kalau pun ada, kata Adrianus, boleh jadi sikap kedaerahan dari Anton sangat kental.
 
"Atau disadari bila tidak menggunakan pendekatan seperti itu maka beberapa orang yang dikenalnya tidak bisa masuk. Jadi, membuat dikotomi seperti itu," ungkap Adrianus.
 
Hal senada juga disampaikan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane. Ia mengatakan, pengusutan kasus seleksi Akpol Polda Jabar harus benderang. Karena bisa saja diskresi itu dijadikan jurus berkelit menyembunyikan kepentingan pribadi Sang Kapolda.
 
"Ini ujian bagi reformasi Polri. Meski kekacauannya sudah selesai setelah panitia penerimaan diambil alih Mabes Polri, tapi investigasinya harus tetap berjalan, dibuka ke publik," kata Neta kepada medcom.id di Jakarta, Selasa 11 Juni 2017.
 
Sejauh ini, Neta mendukung sikap Mabes Polri dalam kekisruhan itu. Namun dia masih berharap tindakan yang lebih tegas, demi mempertahankan jalannya reformasi Polri.
 
"Kalau perlu Kapoldanya segera dicopot, agar tidak ada lagi yang bermain main dalam penerimaan Akpol atau jenjang lainnya di Polri," tutur Neta.
 
Dua pekan investigasi telah berlangsung, namun hasilnya belum ada. Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Kombes. Pol. Martinus Sitompul mengatakan, bila penyelidikannya selesai pasti akan dipublikasi.
 
"Masih berlangsung," ujar Martinus saat kami hubungi, Selasa, 11 Juni 2017.
 
Ia menambahkan, bila terbukti ada permainan "titipan" dalam penentuan kuota, Mabes Polri tentu akan menindak.
 
"Sudah sangat tegas di internal. Yang terlibat bisa kena demosi, tidak boleh ikut pendidikan, penundaan kenaikan pangkat, tergantung hasil pemeriksaan dan proses sidangnya," ujar Martinus.
 
Kuota Putra Daerah, Diskresi atau Berkelit?
FOTO: Kapolda Jawa Barat, Irjen Anton Charliyan, menghadiri acara silaturahmi tokoh agama, tokoh masyarakat, ormas di Sukabumi, Jawa Barat. (MI/Benny Bastiandi)

 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan