Petugas menyapu sampah di kawasan Taman Lapangan Banteng, Jakarta. Dinas Kehutanan DKI Jakarta akan menata kawasan Taman Lapangan Banteng dengan menggunakan dana program CSR. (ANTARA /Aprillio Akbar)
Petugas menyapu sampah di kawasan Taman Lapangan Banteng, Jakarta. Dinas Kehutanan DKI Jakarta akan menata kawasan Taman Lapangan Banteng dengan menggunakan dana program CSR. (ANTARA /Aprillio Akbar)

Komersialisasi Taman Kota

Medcom Files taman kota
Wanda Indana, Mohammad Adam • 06 Maret 2017 13:04
medcom.id, Jakarta: Lelaki paruh baya itu mengingat kala matahari belum begitu terik pada Senin pagi 8 Desember 2008. Tetapi, pada hari itu ia tergopoh-gopoh membopong buntalan kain kafan berisi tulang-belulang.
 
Mbah Iwan, demikian ia biasa disapa, menuturkan ketika itu harus cepat-cepat menggali kuburan mendiang anaknya. Memindahkan kuburan anaknya sebelum buldoser datang dan menggaruk Tempat Pemakaman Umum (TPU) Menteng Pulo, Jakarta Selatan.
 
Ia tak sendiri, ratusan warga lainnya bernasib sama. Mereka harus rela memindahkan sendiri jenazah keluarganya ke TPU pinggiran kota. Musababnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ingin membangun jalan baru sepanjang 650 meter, lahan seluas satu hekare bekas makam yang digusur akan dijadikan jalan tembus dari Kasablanca menuju Jalan HR Rasuna Said.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Ia masih tak mengerti apa yang membuat Pemprov DKI begitu entengnya mengusik ribuan ‘rumah’ orang meninggal dengan dalih mengurangi kemacetan. Toh, wilayah itu masih tetap macet, sampai sekarang. Bahkan, tembusan Kasablanka kini menjelma menjadi kawasan pemukiman elit, perkantoran, dan pusat bisnis. Kisah Mbah Iwan cuma sekelumit haru tentang ganasnya kegiatan alih fungsi lahan. Apapun alasanya, penggusuran TPU merupakan penyalagunaan fungsi ruang terbuka hijau (RTH).
 
Selain pemakaman, hutan kota, kebun raya, taman, jalur hijau seperti area pinggir sungai, area bawah jalan layang dan tepi jalur kereta api merupakan bentuk dari RTH. RTH memiliki banyak manfaat, salah satunya sebagai fungsi ekologis. RTH bagai paru-paru sebuah kota, menambah oksigen (O2) dan mempercepat penyerapan kadar karbondioksida (CO2). RTH juga dapat menurunkan suhu udara, meredam kebisingan, menjadi area resapan air, serta wadah silaturahmi dan rekreasi.
 
Maka wajar jika RTH sebagai sarana interaksi publik terus dibabat dampaknya bisa memunculkan problem sosial. Termasuk masalah kesehatan psikologis masyarakat. Antara lain stigma tentang warga Jakarta cepat stres, individualis, emosional, dan agresif.
 
Apakah stigma itu terbentuk dengan sendirinya? Jangan-jangan karena memang selama ini pemerintahnya tidak menciptakan ruang publik sebagai media interaksi sosial yang memadai bagi warganya.
 
Belum lagi soal kualitas udara terus memburuk, anak-anak kekurangan arena bermain, sering banjir, polusi, dan bising. Pada akhirnya, warga Jakarta tak bahagia, lantaran kotanya tak layak dihuni.
 
Ruang publik
 
Luas Ruang Terbuka Hijau (Green Open Space) di Jakarta memang belum ideal. Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan RTH pada wilayah kota paling sedikit 30% dari total luas wilayah, terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Data tahun 2016, DKI Jakarta mencatat realisasi RTH mencapai 9.896,8 hektare atau hanya 14,94%.
 
Guru Besar Ilmu Manajemen dari Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, mengatakan bahwa Jakarta sudah salah asuh. Sulit dibantah, banyak proyek-proyek ibu kota dibangun dengan mengorbankan RTH untuk kepentingan pebisnis. Jadi tak heran, Pemprov DKI Jakarta saat ini kepayahan mencari lahan.
 
Komersialisasi Taman Kota
 
Butuh waktu lama untuk membangun ulang dan mengembalikan fungsi-fungsi RTH. Tapi, target 30% bisa cepat tercapai jika pejabat Pemprov DKI Jakarta tidak tergoda rayuan pengembang dan konsisten dengan perencanaan kota.
 
“Karena hanya orang kaya yang bisa membelokkan perencanaan perkotaan,” kata Rhenald saat berbincang dengan medcom.id di Rumah Perubahan, Jalan Mabes Hankam, Jatimurni, Pondokmelati, Bekasi, Jawa Barat, 1 Maret 2017.
 
Keterbatasan lahan menjadi kendala utama Pemprov DKI Jakarta untuk menambah jumlah RTH. Di masa lalu, Pemprov DKI banyak menjual lahan. Pelanggaran alih fungsi RTH dibiarkan. Tak ada pengawasan.
 
Sebut saja Hutan Kota Tomang di Jakarta Barat, di dalam Rencana Induk Djakarta 1965-1985 adalah RTH seluas 70 hektare. Kini, hutan kota itu bersalin rupa, menjadi Mal Taman Anggrek dan bangunan apartemen.
 
Begitu pula yang terjadi dengan kawasan Kelapa Gading di Jakarta Utara. Menurut rujukan yang sama, itu adalah Ruang Terbuka Biru (RTB) berupa rawa-rawa sebagai area resapan air seluas 1.288 Hektare. Setelah dikuasai pengembang, kini Kelapa Gading beralih fungsi menjadi kawasan real estate yang dimiliki oleh orang-orang kaya.
 
Alih fungsi RTH di pesisir utara Jakarta tak kalah mengenaskan. Area Pantai Indah Kapuk dulunya merupakan RTH berupa hutan bakau dan rawa seluas 831 hektare. Pantai Indah Kapuk ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Lindung berdasarkan Rencana Induk Djakarta 1965-1985. Kini, kawasan Pantai Indah Kapuk menjadi mal, pemukiman mewah, pusat bisnis, hingga padang golf.
 
Hal yang membuat tambah miris, bukan hanya pengembang, tetapi Pemprov DKI juga kompak melakukan pelanggaran tata ruang kota. Pada 1998, Pemprov DKI Jakarta membongkar Taman Pemakaman Umum (TPU) Blok P, Kebayoran Lama, untuk pembangunan Kantor Walikota Jakarta Selatan. Juga dengan alasan perkembangan kota, luas Museum Taman Prasasti alias TPU Kebon Jahe Kober yang sudah ada sejak 1795 menyusut tinggal hanya 1,3 hektare saja lantaran Pemprov DKI membangun Kantor Wali Kota Jakarta Pusat.
 
Tak heran, Pemprov DKI Jakarta sering bersengketa lahan dengan pengembang dan masyarakat. Pemprov DKI kecele, banyak lahan yang sudah masuk ke dalam Surat Izin Peruntukan Penggunaan Tanah ternyata milik pengembang.Pengembang sudah kadung mengambil alih kepemilikan lahan secara legal, jauh-jauh hari.
 
Selain itu, keterbatasan anggaran juga menjadi kendala. Tahun ini, Pemrov DKI Jakarta menganggarkan Rp1,2 triliun untuk RTH. Jumlah itu dibagi sebanyak Rp1 triliun untuk pengadaan taman dan jalur, serta Rp200 juta untuk lahan makam.
 
Kalau dihitung, untuk mencapai target RTH 30% atau 19.920 hektare pada 2030, Pemprov DKI harus membebaskan lahan seluas 668 hektare setiap tahun. Sementara itu, anggaran yang dibutuhkan untuk membebaskan lahan 668 hektare adalah Rp3 triliun. Sudah jelas, DKI tidak bisa mengandalkan pembebasan lahan, karena membutuhkan waktu yang lama.
 
Kemitraan
 
Tak hilang akal, Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki `Ahok` Tjahaja Purnama gencar membangun RTH dengan memanfaatkan dana program tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR). Pembiayaan pembangunan taman di Jakarta dengan menggunakan dana CSR terbilang baru dan unik.
 
Skema kerjasama itu dianggap sangat membantu Pemprov DKI dalam hal keterbatasan lahan dan anggaran. Pembangunan taman dengan dana CSR jauh lebih murah. Ahok mencontohkan, pembangunan Ruang Publik Terbuka Ramah Anak (RPTRA) yang digarap swasta menghabiskan Rp500-700 juta. Sedangkan pembangunan RPTRA yang dilakukan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) jauh lebih mahal, bisa mencapai Rp1 miliar.
 
Tak hanya itu, Pemprov DKI juga ‘memanfaatkan’ perusahaan untuk mengeluarkan dana CSR buat merevitalisasi RTH. Misalnya saja, Taman Semanggi, Jakarta Selatan. Revitalisasi taman seluas 108.430 meter persegi itu menggunakan dana CSR perusahaan otomotif dengan menghabiskan dana Rp6 miliar. Selain itu, pembenahan Tugu Arjuna Wijaya menggunakan CSR salah satu bank swasta, Taman Suropati menggunakan dana CSR perusahan ban, dan masih banyak lagi.
 
Optimalisasi dana CSR untuk pembangunan RTH dinilai efektif menambah luas RTH. Selama 2016 hingga 2016, RTH di Jakarta meningkat 4,96 persen. RTH Jakarta bertambah 6.588 hektare. Karena itu, perusahaan yang bersedia mengeluarkan dana CSR untuk membangun dan merawat RTH diizinkan memasang logo perusahaan.
 
Baru-baru ini, Pemprov DKI Jakarta berencana menyulap wajah Lapangan Banteng dengan membangun ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) di sana. Nantinya, di bawah Monumen Pembebasan Irian Barat akan dibangun danau buatan yang dilengkapi sejumlah sarana olahraga dan tempat bermain anak.
 
Untuk danau buatan, pembangunannya menggunakan APBD DKI Jakarta. Tetapi untuk pembuatan fasilitas RPTRA, pembiayaannya akan menggunakan dana CSR pihak swasta. Lapangan Banteng dengan wajah baru itu ditargetkan rampung pada Agustus 2017 mendatang.
 
"Dana perbaikan sarana olahraga berasal dari CSR, tapi besaran dana perbaikan sarana olahraga itu belum ditetapkan Pemprov DKI," ujar Asisten Pembangunan Pemprov DKI Jakarta Gamal Sinurat.
 
Siapa memanfaatkan siapa
 
Baik belum tentu benar dan benar belum tentu baik. Rupanya, tak semua orang setuju dengan cara Ahok menambah jumlah RTH. Melibatkan perusahaan untuk membangun ruang hijau dinilai bukan solusi. Perusahaan lah yang menikmati keuntungan paling banyak dari hasil kerjasama sama itu.
 
“Jelas Pemprov DKI yang dimanfaatkan,” Kata Pengamat Tata Kota Nirwono Yoga saat ditemui medcom.id di Gedung Dirjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Jalan Pattimura, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis 2 Maret 2017.
 
Nirwono menyayangkan ada logo perusahaan terpampang di beberapa RTH. Kata Pria yang akrab disapa Yudi itu menyebut, Pemrov DKI Jakarta telah melakukan komersialisasi ruang publik.
 
“CSR itu sumbangan sukarela, lebih bagus tidak kelihatan. Sekarang CSR jadi komersial, dipilih wilayah strategis untuk memasang logo, malah mencari keuntungan,” ujar dia.
 
Yudi menilai, logo perusahaan yang terpampang di RTH adalah bentuk iklan. Apalagi, perusahaan yang memasang logo tidak dikenakan pajak reklame.
 
“Yang dapat nama mereka (perusahaan), semacam iklan gratis itu. Coba kalalu dihitung, berapa milyar? Terjadi komersialisasi ruang publik,” ujar Yudi.
 
UU Perpajakan memang tidak secara khusus mengatur perlakuan perpajakan untuk kegiatan CSR. Tapi ada aturan terkait tentang biaya-biaya yang bisa dikurangkan dari penghasilan bruto. Dengan kata lain, kegiatan CSR bisa menjadi pengurang pajak (tax deductible).
 
Kewajiban CSR sebagai instrumen pemotongan pajak ini pernah dibahas oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam sebuah seminar yang digelar di Jakarta pada Desember 2010. Ketentuan-ketentuan perihal biaya tersebut selaras dengan lima isu pokok CSR sebagaimana yang tercantum dalam ISO 26000 yaitu isu konsumen, pengembangan masyarakat, lingkungan, ketenagakerjaan, dan hak asasi manusia.
 
Biaya-biaya tax deductable yang sesuai dengan ISO 26000 antara lain biaya promosi, biaya beasiswa, magang, dan pelatihan, biaya kupon makanan dan minuman bagi pegawai kriteria dan daerah tertentu, beban pengolahan limbah, cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan, dan cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri.
 
Yudi mengapresiasi upaya penambahan RPTRA digencarkan Pemprov DKI. Tapi, Menurut dia, penambahan RPTRA tidak signifikan menambah jumlah RTH. Kata dia, RTH berbeda dengan RPTRA. Undang Undang tidak mengenal istilah RPTRA.
 
“RTH sebagai fungsi ekologis. Sementara RPTRA lebih kepada fungsi sosial, sebagai tempat interaksi. Tidak bisa mencegah banjir, tidak ada hubungannya. Pengamatan saya, 70 persen RPTRA dilakukan perkerasan seperti membangun lintasan, gedung, lapangan olahraga, cuma 30 persen lahan yang menjadi taman,” ungkap pria lulusan Royal Melbourne Institute of Technology ini.
 
Wali Kota Jakarta Selatan Tri Kurniadi, mengakui perusahaan yang memasang logo di RTH tidak dikenakan pajak reklame. Alasanya, perusahaan sudah membantu Pemprov DKI dalam menyediakan RTH untuk masyarakat.
 
Menurut Tri, hal itu wajar-wajar saja. Tidak ada aturan yang mengatur penempatan logo perusahaan di RTH. Penempatan logo perusahaan sesuai perjanjian saja.
 
“Mereka membantu kita. Mau pasang (logo) di mana saja, silakan. Tidak ada masalah. Masyarakat tidak ada yang terganggu,” ujar Tri saat dihubungi medcom.id, Sabtu 5 Maret 2017.
 
Justru, lanjut Tri, skema kerjasama pembangunan RTH dengan melibatkan perusahan saling memberikan keuntungan. Kata Tri, Pemrov DKI Jakarta tidak bisa mengandalkan APBD, pengajuan penambahan anggaran pengadaan RTH belum tentu mendapat persetujuan dewan.
 
“Ya tidak cukup lah. Butuh banyak (anggaran) untuk membangun RTH. Sejauh ini tidak masalah,” tegas dia.
 
Wakil Gubernur DKI Jakarta menegaskan, Pemrov DKI Jakarta saat ini serius membangun RTH. Mantan Wali Kota Blitar itu menjamin, tidak ada alihfungsi RTH untuk kepentingan pengembang. Dia tak menampik, ada alih fungsi RTH menjadi mal, tapi itu bukan di masa pemerintahannya.
 
"Kalau ada lahan terbuka milik pemerintah, tidak dipakai maksimal, langsung kita ajukan untuk RPTRA. Kalau milik warga, bisa kita beli dengan harga NJOP (nilai jual objek pajak), supaya bisa dipertanggungjawabkan," kata Djarot, Minggu 6 Maret 2017.
 
Komersialisasi Taman Kota
Pembangunan RPTRA Kalijodo. (ANTARA/M Agung Rajasa)


 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan