Mbah Royo memotong padi dengan ani-ani dalam prosesi wiwitan. Padi tersebut ada yang disimpan di pematang sawah dan dibawa pulang, digantung di atas pintu. (Foto: Arthurio Oktavianus)
Mbah Royo memotong padi dengan ani-ani dalam prosesi wiwitan. Padi tersebut ada yang disimpan di pematang sawah dan dibawa pulang, digantung di atas pintu. (Foto: Arthurio Oktavianus)

Wiwitan, Wujud Terima Kasih Petani Cancangan pada Bumi

Rona wisata yogyakarta
Arthurio Oktavianus Arthadiputra • 07 Juli 2020 14:00
Yogyakarta: Hampir pukul tujuh di Minggu, 5 Juli 2020 pagi. Uba rampe (perlengkapan) dibawa dari bangunan limasan menuju tanah lapang di tepi sawah. Lalu, warga yang mengenakan surjan, jarik, blankon dan ikat kepala, duduk beralaskan tikar mengikuti prosesi wiwitan.
 
Uba rampe prosesi wiwitan diletakkan di tengah penduduk yang bersila melingkar di area persawahan Dusun Cancangan, Desa Wukirsari, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Wiwitan adalah tradisi para petani di Jawa menjelang panen tiba.
 
Memayu Hayuning Buwana karangan Endraswara, S tahun 2012, dalam konteks orang Jawa tradisi wiwit sebagai wujud terima kasih dan wujud syukur kepada bumi sebagai sedulur sikep dan Dewi Sri (Dewi Padi) yang telah menumbuhkan padi yang ditanam sebelum panen. 

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Bumi sebagai sedulur sikep bagi petani Jawa, haruslah dihormati dan dijaga kelestariannya untuk kehidupan. Prosesi wiwitan dipimpin oleh Mbah Kaum (orang yang tertua di dusun), yang memulai prosesi dengan berdoa dan dilanjutkan dengan memotong padi di sawah yang akan dipanen. Setelah itu, dilakukan makan bersama.
 
Wiwitan, Wujud Terima Kasih Petani Cancangan pada Bumi
(Santap bersama usai prosesi wiwitan dengan wadah makan berupa daun pisang mengandung nilai kekeluargaan dan kesederhanaan. Foto: Arthurio Oktavianus)

Uba rampe wiwit

Purwadi (2006) dalam Kamus Jawa-Indonesia Indonesia-Jawa, arti kata “wiwit” adalah “mulai”. Dalam prosesi ini, maksud dari “mulai” tersebut adalah memotong padi sebelum panen dilakukan petani. Dalam tradisi wiwit terdapat uba rampe yang harus disiapkan.
 
Sebagai syarat utama dalam prosesi, uba rampe berupa megono, tempe bacem, gereh (ikan asin), sambal gepeng, botok yuyu, jadah jenang (makanan terbuat dari ketan). 
 
Sebagian nasi dibentuk menjadi tumpeng/gunungan. Tumpeng bermakna tumekaning penggayuh, artinya keinginan yang ingin dicapai. Dedak, cabai merah, bawang merah dan putih, serta uang receh yang ditempatkan dalam bathok (tempurung kelapa). 
 
Daun pulutan, daun turi, daun janur kuning (daun kelapa), daun salak, daun dadap sirep. Dedaunan tersebut diikat jadi satu seperti untaian bunga. Kembang setaman (mawar merah, mawar putih, kenangan, melati, kanthil), kemenyan, cempol (serabut kelapa), dan air dadap sirep dalam kendi.
 
Sawah plungguh (sawah milik kas desa), biasanya ditambah dengan tukon pasar yaitu singkong, ubi rambat, kacang tanah atau lainnya dan makanan kecil. Selain itu nasi ditambah sega gurih (nasi uduk) dan ayam ingkung. Dalam kembang setaman ditambah injet.
 
Wiwitan, Wujud Terima Kasih Petani Cancangan pada Bumi
(Uba rampe (perlengkapan) wiwitan dibawa penduduk Dusun Cancangan mengenakan pakaian tradisional secara beriringan, dari bangunan limasan menuju tanah lapang di tepi sawah. Foto: Arthurio Oktavianus)

Prosesi wiwit

Dilakukan prosesi kenduri yang bermakna kekendelan ingkang diudhari (keberanian yang dibuka, disampaikan). Kemudian dipanjatkan doa diiringi membakar kemenyan yang diletakkan pada serabut kelapa. 
 
Usai doa dipanjatkan, tanaman padi disiram air kendi sebagai simbol untuk menenangkan hati dan pikiran setelah sekian lama berjuang menumbuhkan padi. 
 
Sebagian nasi dan lauk diambil, ditempatkan dalam wadah daun pisang sebanyak empat bungkus, yang ditaruh di empat sudut sawah. Ini bermakna kiblat papat siji pancer: kakang kawah, adi ari-ari, getih, lan puser, kang nyawiji dadi siji. 
 
Mbah Royo sebagai Mbah Kaum Dusun Cancangan, memotong 28 untai padi dengan ani-ani, sesuai dengan hitungan weton (hari) pelaksanaan wiwitan. Ada yang disimpan di pematang sawah dan dibawa pulang, digantung di atas pintu. 
 
Nasi dan lauk dibagikan pada orang yang ikut serta dalam wiwit, dengan daun pisang menjadi wadah untuk makan. Secara bersama menikmati hidangan wiwit di pematang sawah. 
 
Dalam prosesi ini, muncul nilai kekeluargaan dan kesederhanaan. Proses interaksi manusia dengan manusia, manusia dengan alam sebagai sedulur sikep dan manusia dengan SRI - Sang Rabbi Illahi. 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(TIN)


social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif