Elisabeth Sianturi, seorang wanita yang didiagnosa menderita Multiple Sclerosis, tetap tabah menerima fakta akan hidup selamanya dengan penyakit yang menyerang pusat saraf tersebut.
Wanita berusia 57 tahun tersebut mengaku awalnya tak menyadari akan menderita penyakit langka yang merusak isolasi pelindung (myelin) antar saraf tersebut. Hal ini dikarenakan gejalanya yang timbul tenggelam dan general.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Gejala pertama ia rasakan saat duduk di bangku SMP, ia tiba-tiba terjatuh tanpa sebab. Namun, dia tidak berpikir hal yang aneh.
Dia kembali terjatuh beberapa kali saat SMA dan kuliah. Namun, dia tetap tak merasakan ada yang aneh.
Elisabeth mulai merasakan hal yang aneh setelah beberapa tahun kemudian. Dia terjatuh saat sedang berlibur bersama teman-temannya dan kakinya menjadi pincang.
Meskipun telah memperoleh penanganan hingga opname, dokter masih belum bisa mendiagnosa penyakit apa yang dideritanya. Padahal, dia telah meminum berbagai macam obat dan belasan kali pemeriksaan MRI hingga berat badan turun 14 kg.
Tahun 2009, dia akhirnya memutuskan untuk pergi ke Siangapura untuk pengobatan yang lebih baik.
Di sana, pihak rumah sakit mengirimkan sampel cairan otak miliknya ke Amerika dan barulah terkuak bahwa Elisabeth terkena MS.
Setelah mengetahui penyakitnya, dia diwajibkan menyuntikkan diri dengan obat yang telah diberikan dokter tiga kali seminggu.
"Beberapa gejala yang saya alami adalah hilangnya orientasi, keseimbangan hancur, kesulitan menulis, dan jalan pincang," urainya.
Karena biaya pengobatan yang tak murah, yaitu Rp 15 juta pe rbulan, dan tak sanggup lagi secara finansial, dia tidak bisa menjalani pengobatan medis secara maksimal.
Dia tetap menyuntik diri secara rutin dan mengikuti pengobatan alternatif self-filling yang intinya mengintegrasi badan, pikiran, dan kejiwaan.
MS jelas membuat wanita ini menjadi tidak produktif dalam bekerja. Mengalami banyak gangguan keseharian seperti tidak bisa naik turun tangga, berbicara dengan pelafalan yang tak jelas, dan perubahan suasana hati tak menentu sempat membuat sedih.
"Setiap habis disuntik, saya merasa tidak nyaman, lemas," ungkapnya.
Namun, dia mencoba pasrah merima penyakit yang diterimanya dan tetap berpikir positif dalam menjalani hidup.
"Kunci awalnya adalah menerima kenyataan jika terkena penyakit ini. Baru kemudian memikirkan apa yang akan dilakukan," katanya.
Perihal pengobatan yang perlu dilakukannya seumur hidup, wanita tersebut hanya berkomentar, "Memang tidak akan memperbaiki, namun setidaknya tidak akan memperburuk."
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News(ELG)