Gavin Mustika (17) membuktikan, penyandang autisme juga bisa hidup normal layaknya individu lainnya (Foto: Dokumentasi Gavin)
Gavin Mustika (17) membuktikan, penyandang autisme juga bisa hidup normal layaknya individu lainnya (Foto: Dokumentasi Gavin)

Ketegaran Membesarkan 'Si Anak Spesial'

Rona keluarga
Nia Deviyana • 31 Mei 2016 12:28
AUTISME masih dipandang dengan stigma negatif. Padahal, jika ditangani dengan baik, individu autis bisa berkembang layaknya individu normal lainnya.
 
Seperti halnya Gavin Mustika (17). Siswa kelas XI Australia International School ini bisa menjalani kehidupannya secara normal, meski menyandang autis. Hal tersebut tak lepas dari peran Lusiana dan Gerry, kedua orang tua Gavin.
 
Belum lama ini, medcom.id berbincang dengan Ibunda Gavin. Perempuan yang akrab disapa Lusi itu mengaku tak pernah membayangkan, anak bungsunya bakal menderita gangguan autis. Tujuh belas tahun lalu, istilah autisme memang masih awam di telinga.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


"Gavin itu anak kedua, sehingga kami sudah punya pengalaman (dengan perkembangan anak). Kami melihat, anak ini kok susah bicara. Kalau kata orang Jawa, masih ileran. Kalau diajak bermain, kurang respons," kata Lusi, memulai pembicaraan.
 
Ketegaran Membesarkan 'Si Anak Spesial'
Gavin kecil (Foto: Dokumentasi Gavin)
 
Kemudian, Gavin dibawa ke spesialis tumbuh kembang anak. Sang dokter sebenarnya sudah lama mencatat keterlambatan perkembangan Gavin. Ketika Lusi mengungkapkan keluhan tentang lambatnya perkembangan Gavin, dokter sebenarnya sudah siap memberi jawaban.
 
"Diam-diam dokter memperhatikan juga sejak lama. Dia tulis, bicara hilang, tidak ada kontak mata."
 
Lusi yang kala itu belum paham dengan autisme, tak bereaksi apa-apa usai mendengar penjelasan dokter. "Saya bilang, oh autis. Ya sudah, mau bagaimana lagi," kata perempuan paruh baya itu, enteng.
 
Sejak didiagnosis autis, Gavin ditangani satu dokter anak, satu psikiater, dan rutin menjalani terapi. Saat mengunjungi satu tempat terapi, Lusi baru memahami apa yang sedang dihadapinya.
 
"Saya dihadapkan pada kenyataan seperti apa tentang penyandang autis itu. Saat itu, saya baru menangis," ucap Lusi, mengenang.
 
Bukan hal yang mudah, memang. Selain berkutat menghadapi gejolak batinnya sendiri, Lusi dan suami juga harus memberikan pengertian kepada keluarga dan lingkungan.
 
"Pertama-tama, rasanya seperti mimpi. Dan, seperti orang yang baru pertama kali mendengar autisme, saya masih berpikir itu bisa sembuh. Itu penyakit, mungkin saya kasih obat dan terapi bisa sembuh. Semakin berjalannya waktu, saya dihadapkan pada kenyataan bahwa, autisme bukan penyakit, bukan sesuatu yang bisa disembuhkan. Pelan-pelan saya paham bahwa ini akan menjadi perjalanan yang panjang," kata Lusi, dengan nada suara bergetar.
 

Tegar dan Dukungan
 
Lusi dan suami sepakat menggali sebanyak mungkin informasi tentang autisme. Selain rajin membaca literatur, mereka juga rutin mengikuti berbagai macam diskusi dan bergabung dalam mailing list orang tua penyandang autis.
 
Ketegaran Membesarkan 'Si Anak Spesial'
Lusiana, Ibunda Gavin (Foto: Metrotvnews.com)
 
Perhatian Lusi dan suami tak sebatas pada Gavin, tetapi juga pada anak pertama mereka agar bisa menerima kondisi adiknya. Lusi mengikutsertakan sang kakak ke dalam komunitas sibling support. Pelan tapi pasti, keluarga ini bisa menghadapi tantangan yang datang dari lingkungan sekitar.
 
Harapan Lusi dan suaminya tidak muluk, hanya ingin melihat Gavin berkembang optimal sesuai kemapuan.
 
"Bagi saya, pada akhirnya bukan menjadi ikhlas. Ini adalah bagian hidup yang harus saya jalani. Lama-lama, saya terbiasa dengan keunikannya."
 
Dari putranya, Lusi memetik banyak pelajaran.
 
"Saya menyadari bukan hanya dia yang tumbuh dan berkembang, tetapi saya juga tumbuh dan berkembang bersama dia. Saya belajar banyak, jadi lebih sabar, jadi lebih mengerti, jadi kita tumbuh bersama," ucap Lusi.
 

Ketegaran Membesarkan 'Si Anak Spesial'
Gavin bersama bunda saat menghadiri Talkshow Austism Awareness di Grand Indonesia (Foto: Dokumentasi Gavin)
 
Lusi memiliki harapan supaya penyandang autis bisa memiliki kehidupan yang layak, perlakuan yang baik, dan tidak lagi dilabeli stigma negatif. Hal tersebut penting agar individu autis juga bisa berkembang menjadi individu yang berguna, kelak.
 
"Banyak stigma yang menilai anak autis gampang ngamuk. Padahal, enggak juga, tergantung bagaimana dia ditangani. Kalau tidak, mereka akan jadi beban masyarakat. Saya sebagai orang tua tak mau hal itu terjadi," kata dia.
 
Sebagai orang tua yang sudah belasan tahun mengasuh anak dengan autisme, Lusi juga menyarankan orang tua lainnya agar tidak lupa mengurus diri sendiri.
 
"Sebagai manusia, kita juga butuh waktu untuk mengisi baterai agar segar kembali, agar tidak stres. Hadirnya teman-teman juga baik untuk saling menguatkan," kata dia.
 

Perkembangan Signifikan
 
Gavin mengikuti serangkaian terapi sejak usia 18 bulan hingga usia 13 tahun. Mulai dari terapi perilaku, terapi untuk memperbaiki gerak motorik, hingga diet.
 
Ketegaran Membesarkan 'Si Anak Spesial'
(Foto: Dokumentasi Gavin)
 
Dalam memilih tempat terapi, Lusi memiliki kriteria.
 
"Karena setiap individu berbeda, trial and error pasti ada. Saya sendiri punya kriteria. Kalau dalam tiga bulan enggak ada perubahan, saya stop. Kalau tidak masuk akal, misal, bisa menyembuhkan segala macam penyakit, saya juga menarik batas. Kalau terlalu mahal, saya telusuri dulu," jelasnya.
 
Dr. Melly Budhiman, SpKJ, psikiater anak dari Rumah Sakit MMC menjelaskan, terapi kombinasi memang diperlukan agar anak autis bisa berkembang layaknya anak normal lainnya.
 
Melly yang menangani Gavin sejak kecil menilai, terapi yang diterapkan pada Gavin sudah benar.
 
"Saat melakukan serangkaian pemeriksaan, kita menemukan ada banyak racun merkuri di rambut Gavin. Maka itu dia perlu diet untuk menguras racun tersebut. Dia tidak boleh minum susu sapi, gluten (tepung), soya, dan 13 bahan makanan lain termasuk stroberi dan kacang-kacangan," papar Melly saat ditemui Metrotvnews.com, di ruang prakteknya.
 
Lebih dalam, Melly menekankan bahwa autis bukanlah sebuah penyakit. Autis merupakan gangguan perkembangan yang ditandai tiga hal. Pertama, anak terlambat bicara.
 
"Ada anak umur 3 tahun baru bisa ngomong, ada juga 5 tahun, bahkan ada yang 10 tahun. Kalau umur 3 tahun belum bisa ngomong itu sudah dikategorikan gangguan spektrum autisme," kata Melly, menambahkan.
 
Kedua, gangguan spektrum autisme ditandai dengan ketidakmampuan anak berkomunikasi dua arah. "Mereka suka ngoceh sendiri, tapi tidak menanggapi kalau diajak berbicara. Mereka juga cuek terhadap lingkungan."
 
Ketiga, penyandang autis memiliki perilaku yang sulit diatur. Ada juga gejala tambahan seperti agresif, menyakiti diri sendiri, hiperaktif atau sebaliknya (hipoaktif).
 
"Alergi dan BAB (buang air besar) yang tidak lancar juga harus diperhatikan karena memengaruhi perkembangan otak (para penyandang autisme)," ucap Melly.
 
Hingga kini, belum ada data pasti mengenai jumlah penyandang autisme di Indonesia. Melly memastikan jika jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun.
 
"Dulu, pada tahun 90-an-an, sudah banyak juga. Perbedaannya, kalau dulu 3 pasien setahun, sekarang 3 pasien sehari," katanya.
 
Penyebab autis berasal dari faktor genetis maupun lingkungan, atau bisa kombinasi antara keduanya.
 
"Pada genetis, ibarat pistol sudah ada pelurunya. Tidak menunggu ditembakkan. Misal, anak dari sananya sudah ada gen autis. Kemudian, berkembang menjadi benar-benar autis jika dipicu faktor lingkungan, seperti terpapar zat kimia makanan, merkuri, obat semprot nyamuk, pestisida, timbal, dan sebagainya," urai Melly.
 
Prevalensi penyandang autisme lebih banyak menimpa laki-laki daripada perempuan, dengan perbandingan 4:1.
 
"Untuk gangguan perkembangan mental seperti ADHD dan autisme memang lebih banyak menyerang laki-laki. Ada penelitian, perempuan dilindungi estrogen sehingga jarang ada yang terkena," lanjutnya.
 
Senada dengan Lusi, menurut Melly, dibutuhkan penerimaan serta kepedulian dari keluarga dan lingkungan untuk membantu para penyandang autisme memiliki kehidupan normal layaknya individu lain.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(DEV)


social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif