Bagi pemudik yang melalui jalur selatan, banyak tempat wisata sejarah yang bisa didatangi. Mulai dari Candi Cangkung di Garut, Kampung Naga di Tasikmalaya, hingga ke situs bersejarah peninggalan Kerajaan Galuh.
Salah satunya berlokasi di tepi jalan nasional, antara Kota Ciamis dan Kota Banjar. Situs tersebut bernama Situs Ciungwanara Karangmulyan.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Di situs ini, ada delapan peninggalan Kerajaan Galuh," kata Kang Agus, Juru Pelihara Situs Karangmulyan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya saat berbincang dengan medcom.id.
Bermodalkan Rp3.500, pengunjung dapat melihat dan belajar dari situs berusia hingga ratusan tahun ini. Jalan setapak dari tanah yang dilewati pun diperkirakan telah ada sejak abad ke-13. Jalan dari tanah namun sepadat campuran beton ini merupakan salah satu kearifan leluhur masa lampau.
"Jalan ini kalau malam, disorot sinar seperti menyala. Terus kalau hujan, tidak becek seperti jalan tanah," ujar Kang Agus.
Jalan ini disebut Kang Agus menghubungkan Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Majapahit. Kiri kanan jalan juga dipenuhi rumpun bambu dan beragam tumbuhan. Bahkan ada beberapa jenis pohon yang sudah langka dapat ditemukan di situs ini.
Pengunjung juga dapat melihat aksi kera bergelayutan dari pohon ke pohon. Pengelola mengizinkan warga untuk memberi makan kera yang hidup di kawasan yang juga menjadi cagar alam ini.
Sembilan Situs Sejarah Kerajaan Galuh
Di situs sejarah Karangmulyan ini ada situs Pangcalikan, formasi batu bertingkat berwarna yang jadi singgasana raja di masa lampau. Tak jauh setelahnya ada tempat penyabungan ayam. Di tempat ini, cerita sayembara Ciung Wanara untuk memperebutkan takhta Kerajaan Galuh.
"Jadi memang situs disini bercerita soal Kerajaan Galuh yang melewati tiga era. Era prasejarah, era Hindu dan era Islam," ungkap Kang Agus.
Ciung Wanara adalah legenda di kalangan masyarakat Sunda. Cerita rakyat ini menceritakan legenda Kerajaan Sunda Galuh, asal muasal nama Sungai Pamali serta menggambarkan hubungan budaya antara orang Sunda dan Jawa yang tinggal di ujung timur Jawa Barat.
Di tengah penyabungan ayam berdiri tegak pohon tua yang diperkirakan berusia ribuan tahun. Konon, orang bisa mengetahui apakah keinginannya mudah atau tidak diraih bila mampu berjalan lurus dan memegang udel pohon dalam kondisi mata tertutup.
"Tapi sebelumnya membayangkan keinginan dan berdoa ke Tuhan. Jadi bukan ke pohonnya, tapi ke Sang Pencipta pohon," kata Kang Agus.

(Pohon unik yang berada di tengah penyabungan ayam. Foto: MTVN/Surya Perkasa).
Kemudian ada pula situs Sanghyang Bedil. Situs ini disebutkan sebagai tempat penyimpanan senjata kerajaan. Berjalan sekitar lima menit, ada juga situs yang dahulunya digunakan sebagai tempat mandi permaisuri kerajaan.
"Sayang situs ini direhabilitasi dengan gaya modern. Sumur dan mata airnya jadi tidak bertema sama dengan bangunan tempat pemandian," ucap Kang Agus.
Kemudian ada pula Lambang Peribadatan. Situs ini berupa susunan batu yang digunakan untuk keperluan ibadat era berdirinya Kerajaan Galuh.
Ada pula Pemangkasan, atau batu mengangkat derajat. Batu ini dipercaya dipakai untuk menyeleksi prajurit di era Kerajaan Galuh. Sama seperti pohon uni di penyabung ayam, batu ini juga dipercaya untuk mengukur apakah keinginan dan niat seseorang dapat tercapai dengan mudah atau berat.

(Pemangkasan, batu seleksi pengangkat derajat yang diyakini dipakai untuk menyeleksi prajurit era Kerajaan Galuh. Foto: MTVN/Surya Perkasa).
Caranya, orang yang duduk bersimpuh dan berdoa sebelum mengangkat batu berbentuk mirip kepala gada tersebut. Bila batu terasa ringan, maka keinginan tersebut bisa dicapai. Bila batu terasa berat, berarti ada ketidakmurnian niat atau ada halangan untuk mencapai keinginan.
Lagi-lagi, Kang Agus berkata, ini hanya sebagai media untuk berbicara kepada Yang Khalik. Bukan menyembah batu. "Jadi ada istilah Siloka, mencari makna di balik yang terlihat. Leluhur kita yakin setiap kejadian ada hubungan sebab akibat. Dan itu terkait dengan qolbu kita sebagai manusia," kata dia.
Di tempat ini juga berdiri sebuah kuburan Adipati Panaekan. Kuburan ini menunjukkan bahwa Kerajaan Galuh sempat pula berdiri di era perkembangan Islam.
Terakhir ada Patimuan, pertemuan dua sungai yang mengelilingi pusat Kerajaan Galuh. Seluruh situs ini diyakini sesepuh tersusun bukan tanpa maksud. Setiap situs memiliki makna dan pesan yang coba disampaikan leluhur masyarakat Sunda soal kehidupan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News (HUS)