Dua regulasi di Kementerian PUPR tersebut yakni Undang-undang Nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung dan Undang-undang Nomor 2/2017 tentang Jasa Konstruksi dan Pembinaan Konstruksi. Upaya relaksasi dinilai penting dilakukan setelah menerima masukan dari pelaku usaha.
"Jadi terkait omnibus law ini kami sudah diminta untuk merelaksasi apa yang ada di undang-undang kami, artinya yang mengatur PUPR. Diinisiasi Kementerian PUPR itu UU Bangunan Gedung dan UU Jasa Konstruksi," kata Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR Eko Heripoerwanto ditemui di Auditorium Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis, 14 November 2019.
Terkait pasal mana saja yang bakal dihapuskan saat ini tim Kementerian PUPR masih mengkaji. Proses yang tengah dilakukan ditargetkan rampung pada akhir 2019 untuk diimplementasikan awal 2020.
"Masih dalam kajian mana saja yang prioritas untuk relaksasi, intinya semua mendukung investasi dan yang selama ini dianggap kendala itu harus direlaksasi," ungkapnya.
Eko mencontohkan, kelompok izin yang dianggap menghambat investasi seperti regulasi mendirikan bangunan sederhana. Selain itu, keberatan pelaku usaha untuk memenuhi sertifikasi laik fungsi bangunan juga telah diakomodasi untuk dipermudah.
"Itu turunannya ya, kalau bangunan sederhana dianggap tidak perlu, itu yang dunia usaha itu direlaksasi," ujarnya.
Langkah penyederhanaan regulasi juga sejalan dengan harapan Presiden Joko Widodo yang menginginkan proyek infrastruktur tidak hanya mengandalkan dana APBN. Badan usaha milik negara maupun swasta diberikan prioritas dan porsinya lebih besar dalam proyek infrastruktur skema KPBU.
"Sampai 2024 kebutuhan penyediaan PUPR itu sampai Rp2 ribu triliun, APBN hanya siap sekitar sampai Rp600 triliun, sisanya sekitar Rp1.300 triliun itu harus mendapatkan dukungan dari swasta," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News