Pemukiman kumuh dan ilegal di atas lahan PT KA di Petamburan, Jakarta Barat, seperti ini yang tepat dijadikan rusun TOD. Antara Foto/Yudhi Mahatma
Pemukiman kumuh dan ilegal di atas lahan PT KA di Petamburan, Jakarta Barat, seperti ini yang tepat dijadikan rusun TOD. Antara Foto/Yudhi Mahatma

Kembangkan TOD, Pemda Wajib Siapkan Lahan Hunian

Rizkie Fauzian • 17 Februari 2018 09:19
Jakarta:  Pembangunan kawasan berkonsep Transit Oriented Development (TOD) sedang jadi trend di Indonesia. Sayanganya belum ada aturan main yang jelas untuk pelaksanaanya di lapangan, seperti penyediaan lahan hingga pembagian 'jatah' antara proyek BUMN dengan swasta.
 
"Saya minta kepada pemda Jakarta, Palembang, Surabaya atau kota lain untuk menyediakan lahan membangun TOD dan mengatur pola transportasinya," ujar Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam seminar Infrastructure-led Large Scale Development: TOD, New Town and Affordable Housing, di Hotel Raffles, Jakarta, Rabu (14/2/2018).
 
Pentingnya komitmen pemda dan swasta yang terlibat, juga disampaikan Vice President International Urban Development Association (INTA) Pingki Elka Pangestu. Ini karena pengembangan kawasan TOD akan sangat kompleks, sehingga masalah  perencanaan di satu proyek akan menghambat kemajuan proyek lain sekitarnya.

"Misalnya kawasan di jalur MRT sekarang ini, di situ sudah banyak (pedagang) kaki lima sehingga banyak kegiatan. Kalau tidak direncanakan, terjadi bottleneck dan para penghuni dekat MRT yang malah jadi terdesak," ujarnya di sela-sela seminar.
 
Kembangkan TOD, Pemda Wajib Siapkan Lahan Hunian
Pengerjaan jalur rel LRT di sisi tol JORR ruas Bekasi Timur. Antara Foto/R Andriyanto
 
Dukungan swasta
 
Direktur Ciputra Group, Budiarsa Sastrawinata, menggarisbawahi perluanya aturan main yang jelas antara pemerintah dan swasta dalam pengembangan TOD. "Bagian infrastruktur jelas tugasnya pemerintah, tapi properti biar swasta yang melakukannya karena lebih kompeten," ujarnya.
 
Khusus pengadaan hunian TOD, oleh Senior Director PT Ciputra Residence Agus Surja Widjaja mengatakan bahwa swasta sebenarnya juga tertarik menggarapnya. Tapi perlu dukungan dari pemerintah berupa insentif fiskal seperti pajak yang lebih rendah sebab huniannya ditujukan kepada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
 
Sebagai gambaran, untuk rumah murah saat ini dibanderol Rp130 juta hingga Rp 200 juta per unit. Bila menggunakan skema FLPP harga Rp130 juta dikenakan PPn 0 persen, namun saat harganya Rp150 jutaan, maka PPn yang diberikan menjadi 10 persen.
 
"Rumah MBR itu, kalau lewat plafon FLPP maka pajak yang dikenakann menjadi lebih tinggi. Bisa nggak kalau PPn-nya itu diberikannya lebih rendah? Pemerintah banyak wewenangnya, kitu bisa diajukan untuk memudahkan swasta," katanya.
 

 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LHE)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan