Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menyidangkan
perselisihan hasil pemilihan (PHP) wali kota Surabaya yang diajukan pasangan calon (
paslon) Machfud Arifin-Mujiaman. Paslon nomor urut dua itu dianggap tidak memiliki kedudukan hukum mengajukan permohonan itu.
"Dalam pokok permohonan menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang PHP Pilkada Nomor 88/PHP.KOT-XIX/2021 di Gedung I MK yang disiarkan secara virtual, Selasa, 16 Februari 2021.
Hakim MK Manahan Sitompul menjelaskan ada beberapa alasan gugatan pemohon ditolak. Salah satunya selisih
suara antara pemohon dan paslon peraih suara terbanyak melebihi kententuan.
Hal ini diatur Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU.
Baca:
Pemerintah Soal Aturan Pilkada: Jangan Sedikit-sedikit UU Diubah
Berdasarkan ketentuan, perbedaan perolehan suara antara pemohon dengan paslon peraih suara tertinggi, paling banyak 0,5 persen x 1.049.334 total suara sah, yakni 14.795 suara. Artinya, perbedaan perolehan suara pemohon dengan paslon perasih suara terbanyak tidak boleh lebih dari 14.795 suara.
MK menyebut perolehan suara pemohon 451.794 suara, sedangkan perolehan suara paslon suara terbanyak 597.540. Selisih perolehan suara antara pemohon dan paslon suara terbanyak mencapai 145.746 suara atau 13,89 persen.
"Selisih perolehan suara pemohon dengan peraih suara terbanyak melebihi persentase," jelas Manahan.
MK juga menimbang dalil pemohon atas dugaan tindak kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) oleh paslon terpilih Eri Cahyadi-Armuji. Pemohon menyebut Wali Kota Surabaya kala itu, Tri Rismaharini, dan beberapa jajaran Pemerintah Kota Surabaya memenangkan paslon nomor urut satu itu.
Selanjutnya MK mendalami dugaan tersebut melalui permohonan pemohon, jawaban termohon, kererangan pihak terkait, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Surabaya, dan sejumlah alat bukti. MK menyebut tidak ada larangan kepala daerah berkampanye bagi paslon yang mengikuti pilkada, selama memenuhi syarat yang ditentukan.
MK menemukan fakta Risma mendapat surat tugas dari DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi juru kampanye tim pemenangan paslon Eri-Armuji. Selain itu, ditemukan fakta bila Risma mengajukan izin cuti kampanye kepada Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa sehingga kampanyenya tidak melanggar hukum pemilihan.
"Mahkamah berpendapat dalil dan alat bukti yang diajukan pemohon tidak cukup memberikan keyakinan untuk menyimpangi ketentuan Pasal 158 ayat (2) huruf d UU 10 Tahun 2016 dan meneruskan perkara a quo ke pemeriksaan persidangan lanjutan," tutur Manahan.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((OGI))