Jakarta: Mahkamah Konstusi (MK) sebagai saluran terakhir sengketa pemilihan kepala daerah (
pilkada) harus memeriksa, meneliti, dan menyidangkan sengketa. Sehingga, terbukti ada atau tidaknya kecurangan dan keadilan benar-benar diterapkan.
MK diminta tak mengandalkan pasal kuantitatif saja seperti yang diatur dalam Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Anggota DPR periode 2009-2014, Ahmad Yani, menyebut hal itu membatasi hak penggugat memperoleh keadilan.
“Siapapun yang
dicurangi, harus diberi hak. Pengajuan gugatannya harus diperiksa dan diuji dan dilakukan pembuktian .Bukan dibatasi dan dihentikan, hanya karena sebatas angka-angka seperti disyaratkan dalam Pasal 158 itu. MK jangan jadi ‘Mahkamah Kalkulator’,” ujar Ahmad, Selasa, 9 Februari 2021.
Baca: MK Tak Lanjutkan Enam Perkara Sengketa Pilkada
Ahmad Yani mengatakan kecurangan, apalagi kejahatan dalam setiap kontestasi pemilihan umum tidak boleh diabaikan. Menurut Yani, kecurangan itu bersifat sangat subtansial dan bisa membuat kontestasi menjadi tidak jujur dan tidak adil, sebagaimana asas
pemilihan.
“Kalau kita menginginkan pelaksanaan
pemilihan (pilkada, pileg, dan pilpres) jujur dan adil, tutup semua pintu kecurangan/kejahatan. Kemudian, beri sanksi tegas mereka yang melakukan kecurangan atau kejahatan, sehingga akan membuat jera,” tegas mantan anggota Komisi III itu .
Peran Mahkamah Konstitusi
Yani mengatakan untuk mewujudkan pelaksanaan pemilihan yang jujur dan adil, proses dari awal yakni dari proses penyusunan UU, pembahasan antara pemerintah dan DPR yang serius, pelaksanaan UU itu sendiri, lalu pengawasannya. Ketika kontestasi berlangsung dan ada kecurangan dari hasilnya, MK harus berperan.
“Jadi, MK harus menjadi pintu terakhir mencari keadilan. Maka, jangan abaikan mereka yang dicurangi, MK jangan terpaku pada ‘pasal kuantitatif’ seperti Pasal 158 UU Pilkada itu,” tuturnya.
Seperti diumumkan MK, dalam pilkada serentak lalu, ada sebanyak 136 pasangan calon yang mengajukan gugatan perselisihan hasil. Namun, hanya 25 yang memenuhi syarat diproses di MK.
Menurut Yani, semua yang mengajukan itu mestinya diproses, diperiksa, dan kemudian dibuktikan dalam persidangan. ”Itu hak politik mereka mencari keadilan di MK,” katanya.
Sebelumnya, pakar hukum tata negara Margarito Kamis juga menyampaikan pandangannya agar MK mengabaikan Pasal 158 dalam menangani gugatan perselisihan hasil pilkada.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((ADN))