Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan adanya kebutuhan anggaran biaya politik calon kepala daerah dengan nilai fantastis. Minimal calon mengantongi Rp65 Miliar untuk memenangkan pemilihan kepala daerah (
pilkada).
"Jadi wawancara
indepth interview ada yang juga yang ngomong 'kalau mau ideal pak, menang, jadi bupati, wali kota setidaknya punya uang mengantongi Rp65 miliar'. Mati dah, padahal dia punya uang hanya Rp18 miliar," kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam webinar bertajuk 'Mewujudkan Pimpinan Daerah Berkualitas Melalui Pilkada Serentak yang Jujur dan Berintegritas' yang disiarkan melalui akun
YouTube 'KPK RI', Selasa, 20 Oktober 2020.
Firli mengatakan situasi tersebut bukti adanya gap antara biaya pilkada dan kemampuan calon. Dia juga menemukan adanya ketidakmampuan pasangan calon (paslon) pilkada memenuhi biaya politik.
Baca:
Ketua KPK Imbau Calon Kepala Daerah Tak Gadaikan Kekuasaan
Data itu berdasarkan penelusuran Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Ketidakmampuan biaya itu membuat kejiwaan paslon terguncang.
"Mau nyalon saja sudah minus. Makanya tidak jarang kita temukan setelah
pilkada selesai yang kalah itu ada yang ke rumah sakit jiwa," ujar Firli.
Tak jarang paslon mencari donatur yang justru menjadi beban para peserta pilkada tersebut. Temuan survei
KPK pada 2018 memperlihatkan bahwa 83,8 persen calon berjanji akan memenuhi harapan donatur ketika calon memenangkan pilkada.
"Artinya, (paslon) sudah menggadaikan kuasanya kepada pihak ketiga yang membiayai biaya pilkada. Kalau itu terjadi, sudah tentu akan terjadi korupsi, dan tentu juga akan berhadapan dengan masalah hukum," tegas Firli.
Banyak kepala daerah yang tersangkut tindak pidana korupsi yang ditangani KPK. Hingga Juli 2020, sebanyak 21 gubernur dan 122 bupati/wali kota/wakil terjerat korupsi.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((JMS))